Kadar Kemanusiaan
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Silla ingat, ibunya adalah seorang penggemar buku klasik—dia bahkan punya buku terbit dari Anna Karenina dan serial Narnia, yang tentu saja sudah langka ditemukan—dan sering membacakannya sebagai dongeng sebelum tidur. Salah satu penggalan cerita yang Silla ingat betul adalah cuplikan dari The Ones Who Walks Away-nya Ursula Le Guinn: Tempat tujuan mereka adalah sebuah tempat yang bahkan lebih sulit diimajinasikan oleh kebanyakan dari kita daripada untuk membayangkan kota kebahagiaan[1]. Orang-orang Omelas, demikian Silla menyebutnya, adalah bukti bahwa manusia sanggup melakukan apa pun demi sesuatu bernama kepentingan umum, dan di saat bersamaan, dapat meninggalkan semua hal berharga ketika mesti dihadapkan dengan kemanusiaan. Omelas merupakan realitas-fiksi bahwa seburuk-buruknya manusia, mereka masih memiliki rasa kemanusiaan, dan itulah yang Silla pegang selama bekerja di Departemen Kesehatan.
Itu sebelum Silla merasakan kiamat.
Setelah perang nuklir terjadi, dunia diselimuti oleh ketakutan akan dampak radiasi. Bunga matahari dibudidayakan, banker-banker dibuat, pemeriksaan barang yang berpotensi terkena dampak radiasi diperketat. Sepuluh hari setelah kiamat, negara-negara yang selamat menerbitkan undang-undang kontroversial perihal suntik mati atas korban paparan radiasi tingkat menengah hingga atas. Kebijakan tersebut diambil untuk meminimalisir pasokan makanan korban selamat—selamat yang cukup “sehat” untuk memperbaiki kehidupan yang terlanjur porak poranda—dan membebankan tugas genosida itu pada Departemen Kesehatan.
Iya, departemen yang sering diasosiasikan sebagai departemen kemanusiaan.
Silla menolak paling keras, tentu. Ia bahkan mesti dipegangi beberapa orang lantaran mengamuk setelah mendengar penjelasan Menteri Kesehatan. Ia, mereka, diajari kemanusiaan sejak kecil, dan kini diminta untuk menghapuskan hal tersebut guna bertahan hidup. Bah! Bukankah itu sama saja menghapus kemanusiaan di muka bumi ini?
Silla memikirkan ini siang malam. Merenung sembari mendengarkan siaran tentang konferensi darurat para pemimpin negara mengenai persediaan makanan yang kian menipis. Ia mengunjungi ruang sterilisasi berisi para korban radiasi tingkat lanjut yang mengerang kesakitan. Ia tertegun ketika seorang rekannya datang, berkata bahwa bila tidak berguna, ia akan dibuang dan diganti orang lain.
Silla diam amat lama, lalu bangkit menuju apa yang seharusnya ia tuju sejak awal: menjadi eksekutor atas nyawa-nyawa sekarat tiap harinya. Baju anti-radiasinya pengap, tetapi pikirannya sesak oleh pertanyaan monoton: apa itu kemanusiaan di era rasionalitas seperti ini?
Dalam pandangan kemanusiaan klasik, tindakan semacam ini sangat amoral dan dapat dikenai sanksi HAM. Namun, melihat kelaparan yang menjadi-jadi, perang yang bisa saja meletus untuk memperebutkan bahan pangan, serta para korban yang mengerang seperti itu … membiarkannya sama saja memutus kemanusiaan pelan-pelan, ‘kan?
Silla masih berpikir.
Lantas, ketika wanita yang terpapar radiasi 3 Gy[2] itu datang, Silla tidak kuasa menahan gemetar. Rambut wanita itu rontok dan epidermis kulitnya tidak berhenti mengeluarkan darah—tetapi bukan keadaan mengerikan itu yang menjatuhkan pertahanan Silla, melainkan fakta bahwa tanpa bertatap pun, Silla dapat membayangkan senyuman wanita tersebut.
Waktu itu, sambil memperhatikan wajah merah yang matanya ditutupi kain hitam, Silla bertanya: Apa itu kemanusiaan? Kisah orang-orang Omelas bergaung membabi buta, bercampur dengan pernyataan gila dari dua negara adikuasa yang melantakkan mimpinya, mimpi banyak orang, mimpi umat manusia, dan lagi-lagi Silla berpikir: Apa itu manusia?
Silla menahan napas, tidak kuasa menatap wanita di hadapannya.
Ia bertanya dalam hati, ‘Ibu, pantaskah kita—aku—disebut manusia?’
Butuh banyak waktu untuk menjawab pertanyaan kosmik tersebut, tetapi hanya sedetik bagi Silla untuk menyadari, mengingat, betapa manusia di ruangan itu dipenuhi oleh derita, rasa sakit oleh dampak permanen nuklir, serta keputusasaan … yang menghantui, menyakiti, sampai mati.
Mereka yang terpapar radiasi menengah hingga lanjut normalnya akan meninggal dalam kurun waktu tiga puluh hari. Namun, semisal masa itu terlewati dan mereka berhasil hidup dengan membawa partikel radioaktif dalam tubuh mereka, penyiksaan mental—hinaan serta fakta mereka hanya akan hidup di atas ranjang ruang isolasi seumur hidup—tetap menghantui. Fakta itu kembali membuat Silla bertanya: Apakah membiarkan seseorang menderita selama sisa hidupnya… adalah hal manusiawi?
Silla terdiam. Pikirannya bermutasi. Ia melanggar prosedur suntik mati dan membisikkan sesuatu ke telinga yang tidak berhenti mengeluarkan darah tersebut, “Ibu,” Tubuh wanita itu menegang, “aku menyayangimu. Aku tidak akan membiarkanmu kesakitan. Aku harus mengakhiri semua ini.” Hening untuk waktu yang lama. “Ibu mengerti, ‘kan?” Ibu menarik bibirnya; dan langkah-langkah itu terdengar jelas di telinga.
Silla menyuntikkan potasium klorida pada lengan ruam ibunya. Atas nama kebejatan negara tetangga, atas nama dunia yang tidak lagi ramah, atas nama kemanusiaan yang diperjuangkan orang-orang Omelas … bahwa kemanusiaan masih ada di dunia.
***
Beberapa sesepuh idealis berkata bahwa inilah zaman rasionalitas, di mana kemanusiaan dibuang untuk membentuk “keturunan yang bebas dari paparan radiasi”; tetapi, Silla, dengan tegas menyatakan bahwa kadar kemanusiaan mereka bukan berkurang, melainkan mengalami resistensi … sebuah evolusi.
Kemanusiaan adalah hal yang dilakukan untuk membahagiakan orang-orang—membebaskan mereka dari rasa sakit duniawi—’kan? Jadi, apa salahnya membebaskan jiwa-jiwa sekarat dari rasa sakit tersebut? (*)
Catatan:
[1] Dikutip dari cerpen The Ones Who Walks Away from Omelas karya Ursula Le Guinn
[2] Banyak radiasi pengion yang terserap per satuan massa, misalnya tubuh manusia.
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata