Cerita Mudik
Oleh: Uzwah Anna
Dari awal aku memang sengaja tak puasa. Sebab alasanku tepat: musafir—perjalanan dari Bekasi ke Malang cukup jauh. Pun juga dari kemarin sore aku tak makan apa pun. Sibuk dan juga tak enak badan. Jadi, siang begini perut menuntut haknya. Kuambil sebungkus roti dari ransel, lantas aku mengangguk pada pemuda di sampingku—izin makan. Dia mempersilakanku dengan sebuah anggukan dan senyum mengembang. Aih … manisnya. Astagfirullah.
Namun, bapak-bapak yang duduk di seberang bangku di dalam bus menatap sinis ke arahku. Sorot matanya seolah berkata, “Nggak puasa?”
Aku mencoba mengabaikannya. Namun, akhirnya timbul juga celetukan dari istrinya, “Anak muda zaman sekarang tak paham unggah-ungguh. Masak iya, makan di tengah-tengah orang puasa. Mestinya hormati orang yang berpuasa, dong.”
Aduh, ini emak-emak mulutnya ngeselin banget! Setahuku orang puasa itu juga harus menghormati yang tidak berpuasa. Bukannya selalu minta dihormati, lantas melontarkan sebuah kalimat yang nyelekit! Kalau dia lapar, ya, tinggal makan saja, beres! Tak perlu ngomel-ngomel dan menuntut orang lain yang tak berpuasa ikutan lapar. Toh, setiap orang kondisi badannya berbeda-beda, ‘kan? Lagi pula cara makanku biasa saja. Bukan yang sengaja ngimin-ngimin. Duh, repot deh, berurusan dengan orang berpola pikir kaku macam mereka.
Pemuda di sampingku tiba-tiba menawarkan agar aku bertukar posisi dengannya. Aku duduk di dekat jendela lantas dia duduk di kursiku yang berseberangan dengan bapak dan ibu yang usil itu. Lalu dia bilang, “Lanjutkan saja makannya.”
Serius, melihat sikapnya, aku agak sungkan untuk kembali menyuapkan roti ke mulut. Dan sepertinya pemuda itu tahu bahwa aku sedang tak enak hati.
“Nggak papa, jika memang niat puasa, sekalipun ada hidangan istimewa di depan mata, pasti tak akan terpengaruh,” ucapnya kalem. Duh, perangainya membuatku meleleh.
***
Tiba waktu magrib, sopir menghentikan bus di sebuah rumah makan, memberikan kesempatan pada yang puasa untuk berbuka dan melaksanakan salat Magrib.
Semua penumpang turun, termasuk aku dan pemuda di sampingku. “Magriban nggak? Atau lagi nggak sembahyang?” tanyanya seraya menyejajarkan langkah di sebelah kananku.
“Magriban,” jawabku singkat. “Sampean nggak buka dulu, toh?”
“Ntar aja abis sembahyang.”
“Lhoh, udah minum belum?” Kuulurkan sebotol teh yang belum kubuka. Dia menolak. Dia bilang baru saja sudah meneguk air putih di dalam bus.
Lantas kami berpisah menuju tempat wudu masing-masing. Selesai salat Magrib dia menungguku di depan musala.
“Belum makan, toh?” tebaknya. Aku menggeleng. Meski dapat tiket makan gratis dari agen bus, tapi kami memilih menuju warung bakso yang tak jauh dari tempat bus parkir. Sebenarnya aku sih, yang berkeinginan makan bakso. Sebab dalam perjalan begini aku malas makan nasi.
Di warung bakso kami berbasa-basi seraya menunggu Isya. Beberapa penumpang terlihat sedang goleran di teras masjid, meluruskan punggung. Mungkin juga mereka merasakan hal yang sama denganku, bokong kebas!
Sejam setelah azan isya berkumandang, bus kembali melaju. Baru beberapa menit, mataku seperti sedang diganduli sesuatu. Berat sekali untuk tetap terjaga. Beberapa kali kepalaku terantuk di bahu kanan pemuda yang sampai saat ini belum kuketahui namanya. Semenjak duduk berdampingan tadi siang, aku lebih banyak memejamkan mata di bus. Sebab pengaruh obat anti mabuk membuatku terus-menerus mengantuk. Saking parahnya, sampai ketika kepala terbentur kaca jendela, hanya kuusap sedikit lantas kembali tidur. Aku benar-benar teler. Sementara di warung bakso tadi kami terlalu asyik basa-basi hingga lupa memperkenalkan nama masing-masing.
Ini bukan drama Korea, sehingga ada adegan aku tak sadar atau bahkan sengaja menyandarkan kepala di bahu seorang lelaki asing. Meski sepertinya dia tak keberatan, tetapi aku akan tetap menghindarinya. Ini adalah dunia nyata. Sengantuk apa pun, aku selalu berusaha untuk tidak membiarkan kepalaku bersandar semaunya. Selagi masih sadar, kuambil masker untuk menutupi setengah wajahku, lantas kukaitkan kedua talinya di daun telinga. Jadi, jika nanti mulutku terngaga atau bahkan sampai ngiler, orang lain tak akan tahu sebab tertutup masker.
Tengah malam, aku terbangun ketika ponsel berdering nyaring. Segera kukecilkan suaranya sebab kulihat para penumpang sedang pulas. Begitu pula dengan pemuda di sampingku. Cakepnya … astagfirullah. Segera kugelengkan kepala. Menghentikan pikiran liar.
Aku sengaja tak mengangkat telepon dari Bapak. Melalui chat, beliau menanyakan kabar sekaligus perjalananku sudah sampai mana. Aku sendiri tak tahu sudah sampai mana. Namun yang pasti, bus berhenti cukup lama karena macet luar biasa.
***
Biasanya jika pulang ke Malang, perjalanan bisa ditempuh dalam sehari semalam. Namun, Kali ini benar-benar macet parah. Bus sama sekali tak bergerak. Ternyata aku salah pilih waktu mudik. Sebab tanggal merah kemarin, seluruh pabrik dan perusahaan libur serentak. Banyak orang yang memilih hari itu untuk mudik. Akibatnya kendaraan membeludak di sepanjang jalan.
Kuembuskan napas panjang seraya berdecak berkali-kali. Kesal!
“Kenapa? Bosen?” tanya lelaki di sampingku.
Aku mengangguk. Lantas mengeluarkan semua keluhan. Dia hanya mendengarkan dengan wajah yang sangat tenang. Setenang air di danau. “Hari ini kamu puasa?”
Entah mengapa tiba-tiba aku kepo dengan urusan orang lain. Mungkin karena jenuh. Jadi, mulutku asal ngejeplak. Aku selalu berprinsip tidak akan pernah ikut campur urusan orang lain. Karena aku sendiri malas jika ada orang yang sok ikut campur tentangku, kecuali aku mengizinkannya atau justru meminta bantuannya. “Ah, sorry. Nggak usah dijawab juga nggak papa,” ujarku seraya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.
Pria di sampingku hanya menunjukkan ekspresi bertanya-tanya yang menggemaskan. Tanganku gatal, ingin rasanya kutepuk-tepuk pipinya. Duh, Gusti ….
Lantas aku menyandarkan punggung dengan kepala menghadap ke luar jendela. Para pedagang buah berderet di sepanjang jalan. Bus merayap bagai seekor siput melewati perkotaan, pasar tradisional, jembatan dan persawahan. Kusumpal kedua telinga menggunakan earphone. Mendengarkan lagu-lagu favorit, menghilangkan kejenuhan. Kulihat orang di sampingku tertidur dengan mulut terngaga. Untung aku tidur selalu menggunakan masker. Kalau tidak, pasti aku akan seperti dia.
Tiga orang pengamen menaiki bus. Mereka lantas bernyanyi dengan gaya komedi. Otomatis hal tersebut sejenak mampu mengalihkan kebosanan yang melanda akibat macet. Pemuda di sampingku terbangun akibat suara berisik dari para pengamen, gelak tawa penumpang dan beberapa penjual asongan yang naik turun bus, bergantian.
Aku membeli serenteng kacang bawang. Namun, mas-mas penjualnya tak memiliki uang kecil sebagai kembalian. Pemuda di sampingku mengeluarkan pecahan sepuluh ribuan dua lembar dan mengembalikan uangku.
“Ntar uangnya kuganti, Mas,” ucapku tak enak hati.
“Nggak usah. Nyatai aja, sih.”
“Tapi …,” kalimatku menggantung. Urung kulanjutkan. Karena dia memberi tanda seakan tak ingin berdebat.
Kuletakkan serenteng kacang bawang itu pada kantung yang berbentuk jaring-jaring di depanku—yang menempel pada belakang kursi penumpang di depanku.
“Kok nggak dimakan?” tanyanya. “Kamu kan nggak puasa?”
“Kita makan bareng aja pas kamu buka nanti,” usulku. Sepertinya dia tak hendak mendebatku. Ekspresinya datar. Dia hanya mengangkat alisnya. Seolah bilang: Terserah kamu aja.
Setelah saling berdiam diri beberapa saat, lantas dia membuka percakapan, “Dari kemarin kita duduk berdampingan. Tapi kayaknya kamu tak ingin tau namaku.”
“Pengen kenalan?” Kutolehkan wajah padanya.
“Yuda Sasmito.” Dia mengulurkan tangannya. Aku hanya tersenyum. Geli melihat tingkahnya yang sangat formal.
“Mesti salaman, ya?”
“Mau jambak-jambakan?” Aih … ternyata dia juga bisa humor.
Malu-malu kuulurkan tanganku seraya menyebut nama, “Anita. Panggil aja Anita. Nggak pake embel-embel ‘Mbak’ karena kuyakin usiaku lebih muda darimu.”
“Deal!”
Di hari kedua ini sepertinya tubuhku sudah mulai terbiasa dengan bus. Aku tak perlu mengkonsumsi obat anti mabuk. Jadi, aku juga tak teler. Sepanjang perjalan Yuda banyak bercerita. Tadi sudah berkali-kali dia melarangku memanggilnya denga sebutan ‘Mas’. Dia lebih suka dipangil namanya secara langsung: Yuda.
***
Untung ada Yuda. Jadi, aku punya teman ngobrol untuk menyelimurkan kebosanan. Sudah dua hari dua malam kami di perjalanan. Ini adalah malam takbir. Seharusnya besok aku bisa ikut salat Id. Namun, apa boleh buat. Bus masih merayap di sepanjang jalan Kota Semarang.
Dari beberapa ceritanya, Aku mengetahui bahwa Yuda merupakan leader QC di salah satu pabrik Jepang yang berada di Indonesia. Tentu gaji dan uang kesejahteraan kerja jauh lebih besar dibandingkan dengan pabrik tempatku bekerja.
“Wuih … lama juga, ya. Berarti jika ujian tes bulan depan lulus, kamu bisa menjadi karyawan tetap, dong,” ujarku, turut bangga.
Dia menggeleng. “Tiga bulan lagi kontrakku habis. Setelah itu aku tak akan memperpanjang kontrak lagi.”
“Kenapa?” Tentu aku terkejut. Karena berjibun orang yang menginginkan masuk ke pabrik tersebut. Giliran dia yang diberikan jalan mulus malah dilepas begitu saja. Sayang, ‘kan?
“Aku mesti pulang kampung.”
Yuda bilang dia hanya dua bersaudara. Kakak perempuannya telah menikah dan ikut suaminya ke Blitar. Sementara bapak-ibunya sudah semakin renta. Tentu saja gerakannya tak segesit dulu. Jika bukan dirinya yang meneruskan pertanian dan peternakan kambing orangtuanya, lantas siapa lagi?
Aku cukup tertegun oleh penjelasannya. Karena pada umumnya anak muda cenderung memilih kota untuk melanjutkan kehidupan. Namun dia, yang jelas-jelas sudah mapan dalam pekerjaan justru berniat meninggalkannya demi merawat orangtua, pertanian sekaligus peternakan keluarganya. Luar biasa!
Tiba-tiba aku merasa malu pada diri sendiri. Aku selalu saja mengutamakan kepentinganku tanpa memedulikan Bapak, Ibu di kampung. Padahal penghasilanku juga tak seberapa. Hanya cukup untuk kebutuhan pribadi.
***
Kubuka sisa kacang bawang yang tinggal beberapa bungkus dan kuhabiskan seketika itu juga—karena tadi Yuda kutawari tak mau. Bus berhenti di sebuah pom bensin. Beberapa penumpang turun. Aku turut turun untuk buang air kecil. Yuda masih di dalam bus.
Tiba-tiba saja ada seorang pria berambut ikal gondrong mendekatiku. Tampangnya awut-awutan. Dari aromanya, aku tahu bahwa dia sedang mabuk. Bau alkohol menyengat. Aku tak ingin cari masalah. Perjalanan ke Jawa Timur masih jauh. Daripada berdebat, lebih baik aku menghindar. Kucari jalan lain untuk menjauhinya. Namun, berkali-kali dia menghadangku. Dia tertawa terbahak-bahak seolah-olah ada sesuatu yang lucu.
“Sayang, kemarilah. Temani Abang. Haha ….” Dia berdiri sempoyongan. Dasar sinting! Dia kira aku perempuan murahan? Dasar, Begundal Busuk!
Dia menggenggam lengan kananku. Kurang ajar! Aku meronta. Namun, cengkeramannya terlalu kuat. Aku tak paham ilmu bela diri. Akan tetapi kakiku refleks menendang kemaluannya. Begundal itu jatuh seraya meringis kesakitan. Bukannya menyerah dia justru ingin berbuat lebih brutal. Beruntung Yuda segera datang dan melayangkan pukulan ke tengkuknya. Begundal itu roboh.
***
Pagi ini langit bersahabat. Cerah tetapi juga tak terik. Angin bersemilir. Alam seolah sedang bersukacita menyambut Idul Fitri. Bus kami masih terjebak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Karena kejadian di pom bensin kemarin malam, setiap kali aku turun bus, Yuda selalu mengekor. Sebenarnya aku sudah berkali-kali melarangnya karena merasa canggung. Namun, sepertinya pemuda dari Kediri ini agak keras kepala.
“Kamu mau nangis karena tak bisa salat Id di kampung?” Yuda meledekku ketika aku termenung menatap nanar ke luar jendela. Sedari semalam sepertinya dia senang sekali karena sempat melihatku menitikkan air mata sebab tak bisa ikut takbir keliling di kampung. Beberapa kali kulihat dia senyam-senyum. “Butuh kantong plastik buat mewadahi air mata, Nona? Kali aja bisa jadi mutiara.”
Kurang ajar!
***
Sekitar jam dua siang, kami memasuki daerah Kediri. Ketika bus mendekati Terminal Tamanan di Kediri, Yuda membeli lima renteng kacang bawang.
Aku merasa heran. “Buat apa kamu beli sebanyak itu?”
Dia lantas memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya padaku, “Buat kamu.”
“Sebanyak ini?”
“Kurang?” Lantas Yuda memanggil kembali mas-mas pedagang cangcimen seraya mengangkat tangan kanannya. “Mas, nambah, Mas ….”
Kutarik tangan kanannya agar segera turun. “Nggak usah, Mas. Ini cukup,” ucapku pada mas-mas cangcimen dengan senyum yang kubuat-buat.
“Kamu beli kacang bawang sebanyak ini buatku. Kamu nggak beliin buat ibumu?”
“Setiap lebaran, di rumahku nggak pernah telat dengan kacang bawang. Lebih gurih sebab buatan sendiri,” ujarnya, bangga.
“Di rumahku juga nggak pernah telat kacang bawang, buatan tangan ibuku sendiri.” Aku tak mau kalah.
“Kacangnya panen sendiri, nggak?”
“Beli, sih.” Aku kalah. Yuda tersenyum atas kemenangannya.
Bus berhenti di Terminal Tamanan. Sebelum turun Yuda bilang, “Ntar kalo ada waktu luang aku bakal ngelencer ke rumahmu.”
“Nggak usah. Ntar Bapak, Ibu salah paham.”
Yuda menatapku tajam. Aku menunduk. Entah kenapa seakan aku tak kuat beradu pandang dengannya. Dia tersenyum. “Entar kalo ada cowok yang gangguin kamu kayak kemarin malam, teriak aja ama pak sopirnya.”
“Halah … jangan berlebihan, deh. Kediri-Malang mungkin cuma butuh dua jam-an. Apalagi ini pake bus, pasti lebih cepet.”
Lantas dia menunduk mendekatiku. Refleks aku langsung memiringkan badan, menjauh. Dia berbisik, “Aku mau menitipkanmu pada pak sopir.”
“Ih, jangan norak, deh!” bisikku sedikit tegas.
Namun, dasar lelaki keras kepala, semakin dilarang semakin menjadi. “Pak Sopir, tolong jaga calon bojo-ku sampai tujuan, ya?” pintanya lantang. Teriakannya disambut oleh kernet dan beberapa penumpang yang tersisa.
Kurang ajar, sejak kapan aku jadi calon bojo-nya?
“Beres, Bos!” jawab pak sopir seraya mengacungkan jempol.
Duh, rasanya aku ingin membungkus wajah menggunakan koran saking malunya.
***
Dari Kediri ke Malang perjalanan lancar. Tak ada macet. Jadi, Bus bisa melaju kencang tanpa hambatan berarti. Jam empat sore bus tiba di Terminal Karang Kates. Bapak sudah sejak setengah jam lalu memarkir motornya di sana. Begitu melihatku turun, beliau langsung memelukku. Lama sekali. Lalu, lelaki pertamaku ini memboncengku pulang untuk bertemu Ibu dan keluarga yang lain di rumah.(*)
Uzwah Anna, lahir, tumbuh dan besar di sebuah pelosok kampung, di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit!
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata