Chrysanthemum
Oleh: Reza Agustin
Aku tak pernah menyukai warna itu. Putih. Bagi sebagian orang, putih adalah perwujudan dari kesucian. Namun bagiku, putih selalu identik dengan kematian. Seperti bunga krisan putih yang dipersembahkan pada altar kematian. Bunga yang tak aku suka dan warna yang aku benci. Namun, kau tidak kesal mendengar opiniku tentang bunga krisan putih dan kematian. Kendati secara tak langsung mencemooh budaya negaramu. Senyuman adalah caramu menghadapi segala sesuatu. Selalu cerah, seperti namamu.
Apa hubungan kita sebenarnya? Kita tak berpacaran, kau bahkan sudah bertunangan. Aku tak bisa melupakanmu. Bahkan setelah lima tahun kepergianku dari Korea Selatan, aku masih bisa melihat sepotong wajahmu. Di sudut-sudut flat milikku, atau di bawah selimut yang hangat, atau bahkan di dalam lemari. Aku tidak gila. Hanya saja, memang aku masih bisa melihat wajahmu di mana-mana.
“Jadi, namamu Yeorum? Musim panas, hah?”
Aku heran berapa kira-kira tinggimu. Mungkin 187 sentimeter dan masih bisa tambah tinggi. Usiamu baru sembilan belas dalam perhitungan internasional, satu tahun di bawahku.
“Park Yeorum tepatnya. Aku sering melihatmu di kampus. Omong-omong, kita masih satu angkatan,” imbuh dirimu sembari menatap cakrawala yang membentang sepanjang langit Seoul. “Aku belum pernah tahu namamu, keberatan untuk mengatakannya padaku?”
“Eliza Rodriguez, Miami, Amerika Serikat.” Aku menyambut uluran tanganmu, terasa hangat.
“Keluargamu pendatang? Wow, tanganmu dingin sekali,” ujarmu sambil mengangguk-anggun. Namun jabatan tanganmu hanya terasa sekilas. Kau dengan segera melepasnya, lantas menggosok-gosokkan telapak tangan.
“Ya, aku generasi ketiga. Di sini memang dingin, aku menyesal tak bawa sarung tangan.”
“Kalau begitu, kau seharusnya bersyukur karena bertemu denganku di cuaca sedingin ini.” Kau meraih tanganku, memasangkan sepasang sarung tangan yang kedodoran itu padaku.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanyaku khawatir.
“Aku bisa seperti ini.” Kedua tanganmu dibenamkan ke dalam saku jaket.
“Lalu apa yang menjadi cita-citamu?” tanyaku penasaran.
“Aku? Jangan tertawa, ya. Sebenarnya aku ingin menjadi ‘florist’, begini-begini aku suka bunga, lho.”
“Yeorum, kau sama sekali tak cocok jadi ‘florist‘. Kalau kuli panggul, mungkin cocok,” ledekku jahil
“Kau menyebalkan, Eliza. Jadi orang asing sepertimu menyenangkan tahu! Orang-orang asing biasanya lebih senang menghargai pendapat orang dan memberikan banyak kebebasan bagi orang lain untuk memiliki pendapat sendiri. Aku ingin hidup seperti itu.” Tatapanmu meredup, akan tetapi senyum masih terulas tipis.
“Kau tahu, Yeorum? Terkadang memberikan kebebasan dan tidak peduli itu hanya seperti garis tipis. Aku hidup di keluarga yang seperti itu,” tuturku sendu. Pikiranku melayang pada masa-masa tak menyenangkan itu. Saat Ayah dan Ibu lebih perhatian pada pasangan baru mereka daripada diriku, anak kandung mereka sendiri. Ketika aku meminta pendapat mereka tentang universitas mana yang harus kupilih, hanya satu jawaban. Terserah. Maka, aku pilih universitas paling jauh, sambil berharap mereka akan memberikanku sedikit saja perhatian. Nyatanya tidak. Tanpa sadar aku bercerita tentang betapa abainya mereka. Yeorum menatapku iba.
Kau tahu, Yeorum? Keluargamu adalah keluarga paling hangat yang pernah aku temui. Tak heran mengapa kau selalu hangat. Bahkan “panas” di beberapa kesempatan. Namun, mungkin hanya saat itulah aku bisa menggenggam “panas” itu dengan tanganku sendiri.
***
Pertengahan musim gugur, kau kehilangan ibumu. Wanita paling ramah dan hangat yang pernah aku temui. Serangan Jantung. Penyakit yang telah turun-temurun mengambil nyawa orang-orang terdahulu dari keluargamu—itu pula diceritakan oleh mendiang ibumu. Ada gelenyar menyakitkan saat aku meletakkan setangkai krisan putih itu di altar. Aku akan selalu membenci warna putih dan bunga krisan.
“Kau baik-baik saja, Yeorum?”
Kau sama sekali tak bereaksi, akan tetapi ketika ayahmu menyodorkan segelas soju, kau segera menenggaknya tanpa banyak pikir. Ah, aku terlupa bahwa kau terlahir dari keluarga patriarki. Ayah selalu berada di puncak, kata-katanya adalah absolut. Padahal toleransimu terhadap minuman beralkohol sangat payah, satu kaleng bir saja sudah membuatmu mabuk. Lalu sekarang kau sudah habis satu botol soju. Meracau, mengumpat, memaki, dan tubuhmu panas. Lebih panas dari apa pun. Telapak tanganmu yang menggenggam pinggangku gelisah. Aroma napasmu yang menyentuh kulit tubuhku. Sungguh, sudah sejak dulu aku ingin menggenggam panas tubuhmu dengan tanganku sendiri.
***
“Eliza, Park Yeorum meninggal. Serangan jantung.” Panggilan itu, meruntuhkan duniaku.
“Mama!” pekikan kecil itu berasal dari putri kecilku.
Hanya karena dirinya, Yeorum. Aku bisa melihat potongan wajahmu di mana pun di setiap sudut rumah. Saat kami bermain petak umpet dan dia bersembunyi di dalam lemari. Ketika aku sakit dan dia menyusulku masuk ke dalam selimut. Putri kecilku, putri kita.
“Ke mana kita pergi, Mama?” Ia bertanya dengan wajah polosnya yang untuk seketika melenyapkan gelenyar sakit itu.
“Kita akan menemui Papa.”
Cintaku tak pernah berlabuh padamu, Yeorum. Seperti lima tahun silam, saat kau mengatakan bahwa kau telah ditunangkan dengan putri salah seorang teman ayahmu. Di usiamu yang masih terlalu muda untuk membina rumah tangga. Usia perempuan itu tujuh tahun lebih tua darimu. Sorot matamu sayu. Hukum keluarga patriarki selalu berlaku. Mengunci erat-erat pintu bagiku menuju kehidupanmu. Kuliah di Korea tak aku selesaikan, aku mengemasi barang-barang, lantas kembali ke Miami dengan berbadan dua. Aku pikir akan ditolak kedua kalinya di keluarga yang telah terpisah selama bertahun-tahun. Namun, aku salah. Setidaknya dengan keadaanku saat itu dapat memaksa Ayah dan Ibu untuk kembali padaku. Saling menguatkan satu sama lain.
***
Setangkai krisan putih aku letakkan pada altar, lalu setangkai lagi punya Hana menyusul. Setelah memberikan penghormatan terakhir padamu, aku hendak undur diri. Lantas menghilang dari kehidupanmu selamanya bersama Hana.
“Eliza, sudah lama tak bertemu,” sapa pria tua itu, ayah Yeorum, “ada titipan terakhir dari Yeorum untukmu. Maaf, aku baru menyampaikannya sekarang.”
Bersamaan dengan ucapannya, sebuah pot berisi bunga krisan putih terjulur untukku. Sebuah surat dengan tanggal lima tahun yang lalu lebih menarik perhatianku.
Teruntuk Eliza, sebenarnya aku agak terganggu ketika kau mengatakan bahwa kau tak suka bunga krisan dan warna putih. Kau harus belajar mencintainya sekarang, seperti aku yang juga belajar untuk mencintai calon istriku. Walau sebenarnya jauh sebelum bertemu dengannya, aku sudah jatuh cinta pada seseorang. Yaitu kau, Eliza. Dengan cinta, Musim Panas.
Hana menggenggam jemariku erat, enggan melepasnya. Hana, kau adalah satu. Satu-satunya yang tersisa dari Yeorum untukku sekarang. Matamu berbinar menatap bunga krisan yang mekar sempurna pada pot tersebut.
“Apa Mama suka bunga krisan putih?” tanya Hana pelan.
“Iya, Sayang. Mama suka.”
[P.S. cerpen ini pernah dipublikasikan di akun Facebook Reza Agustin dengan pengubahan seperlunya.]
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata