Masih Ada Rasa Lain yang Bisa Kau Nikmati Lebih Dari Sekadar Aromanya

Masih Ada Rasa Lain yang Bisa Kau Nikmati Lebih Dari Sekadar Aromanya

Masih Ada Rasa Lain yang Bisa Kau Nikmati Lebih Dari Sekadar Aromanya
Oleh: Evamuzy

“Kopi hitam dengan seujung sendok gula. Meja nomor delapan.” Setelah menyebutkan pesanan, gadis itu kembali menuju tempat duduk pilihannya. Meja nomor delapan, tepat di samping jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan jalanan yang tak begitu ramai. Apalagi seperti sore ini, hujan baru saja berhenti. Menyisakan tetes-tetes kecil air dari ujung genting teras kafe. Jalanan juga terlihat lengang dan basah.

“Baik. Tunggu sebentar. Nanti kami antar.” Aku sengaja melempar sebuah senyuman. Namun, lagi-lagi masih sama seperti kemarin, tak mendapat balasan. Mungkin saja dia tipe gadis yang tak suka beramah-tamah dengan orang yang belum begitu dia kenal.

Aku kembali melanjutkan aktivitas meracik kopi dari balik meja barista. Ah, jujur saja aku kurang suka dengan sebutan itu. Panggil saja aku Si Peracik Kopi. Aku akan tersenyum senang jika kalian memanggilku itu. Meskipun memang benar, itu terdengar cukup kuno. Namun, aku suka. Tidak. Tidak ada alasan khusus. Aku hanya lebih suka saja dengan panggilan itu.

Perkenalan? Aku rasa tak perlu. Cukup kenali aku sebagai pria pecinta kopi dengan usia menjelang akhir tiga puluhan. Ya, itu saja. Sebab, ada yang lebih menarik dibandingkan sekadar namaku atau tentang diriku. Kau ingin tahu? Baiklah. Dia. Si gadis itu. Gadis cantik dengan rambut sekelam malam yang bergelombang di ujungnya. Serta warna kulit yang putih bersih. Indah dan menarik. Pengunjung pertama yang telah berhasil mencuri perhatian Si Peracik Kopi yang baru saja seminggu bekerja di kafe bergaya klasik ini. Gadis cantik yang berbeda dengan para gadis yang biasanya terang-terangan mendekatiku di tempat yang dulu.

Kau tahu, selain paras indah nan menarik, yang dengan lancang datang ke dalam mimpi tidur nyenyakku tanpa izin, ada satu hal yang membuatku mengernyit kening saat diam-diam memandanginya. Bahkan, ingin sekali aku hampiri gadis pengganggu pikiran itu, lalu bertanya, “Apa kopi buatanku tak enak? Tak sesuai pesananmu?” Namun, urung kulakukan. Masih bisa kuredam keinginan.

Atau, kita akan melihatnya sore ini. Apakah dia juga akan melakukan kebiasaannya? Seperti biasa, hanya menghirup dalam-dalam aroma kopi hitam yang kuracik sambil sesekali menatap ke arah jalanan. Tatapan yang sepertinya kosong. Itu tak begitu jelas terlihat, sebab aku juga harus kembali fokus pada tugasku meracik kopi untuk pelanggan lain. Lantas, dia akan pergi dengan meninggalkan secangkir kopi yang masih utuh di mejanya.

Sebentar. Lihat! Benar, kan? Sekarang dia meninggalkan secangkir kopi hitam itu setelah dingin, tanpa tersentuh sama sekali, tanpa dicecap barang seujung lidah pun. Sepertinya, hanya aroma kopi itu yang dia inginkan. Dia beranjak ke kasir, membayar pesanannya, kemudian menghilang bersamaan dengan semburat jingga yang mulai menghiasi langit barat. Aku memperhatikan gerak-geriknya. Sungguh, gadis menarik yang misterius.

***

“Kopi hitam dengan seujung sendok gula. Meja nomor delapan.”

Kali ini dress toska sepanjang lutut, riasan yang benar-benar natural, bahkan sepertinya wajah indah itu tak tersapu oleh bedak sama sekali. Hanya bibirnya yang diberi warna peach membuat dia terlihat lebih cantik dan anggun. Sekian detik aku tertegun, terpesona. Namun, buru-buru mengembalikan kesadaran saat dia berdehem kecil.

“Iya, akan segera kami antar. Silakan menunggu.”

Sore ini, tanah dan jalanan kembali basah oleh air yang ditumpahkan langit. Bahkan lebih lebat dari hujan hari-hari kemarin. Hawa menjadi sangat ingin. Membuat para pengunjung betah berlama-lama di dalam kafe bersama secangkir kopi masing-masing dan kudapan kecil yang mereka pesan.

Aku melirik ke arahnya. Meja nomor delapan. Gadis indah itu duduk dengan tenang, dengan sebuah pena dan selembar kertas, dengan wajah yang sulit diartikan: tenang sekaligus sendu, dan senyuman tipis kadang-kadang. Membuat rasa penasaran menggedor hati. Hei, diamlah! Sungguh, aku belum berani mendekati, sekadar menyapa atau menanyakan nama. Aku bukan pria yang semudah itu menggangu seorang wanita, bukan?

Hujan mulai reda, lalu benar-benar berhenti. Menyisakan basah di teras kafe, pohon-pohon rindang di tepi-tepi jalan juga aspal jalanan. Ada pelangi indah membentuk busur di arah timur. Hasil sisa air langit yang bermesraan dengan sinar matahari sebelum tenggelam. Sang Surya memang benar-benar pandai mencuri kesempatan. Aku berdecak kagum saat menatapnya dari atas bangunan kafe setelah mendengar kedatangan panorama alam nan memesona itu dari beberapa pengunjung yang mulai melenggang keluar. Mereka pun saling memandang langit indah sore itu di teras kafe.

Teringat dengan kopi-kopiku, segera kulangkahkan kaki kembali ke ruang utama kafe. Meja-meja pengunjung telah kosong. Meninggalkan cangkir-cangkir dan piring kecil tak berisi lagi. Melihat pelayan sedikit kerepotan, aku berinisiatif membantu. Mengumpulkan cangkir-cangkir dan piring kecil itu, lalu membawanya ke belakang. Sibuk bergerak ke sana kemari, tak sadar aku sedang berdiri di meja nomor delapan. Meja gadis itu. Ah, terlalu asyik melihat pelangi, aku kehilangannya yang keluar dari pintu kafe sore ini. Bodohnya, mengapa ada ruang yang sedikit kosong di dalam di sini saat mendapati dia tak lagi di kursinya?

Jadi, sebenarnya siapa yang merindumu?
Aku, atau pekatnya dia?
Sebab nyatanya, aroma dia masih sama
Serupa aku yang setia menunggu dan menujumu
Maka, sepertinya rindu ini memang milik kami

Aku, dan dia, secangkir kopimu

Goresan pena pada selembar kertas di atas mejanya. Aku yakin ini tulisan dia. Kuputuskan untuk menyimpannya, atau besok mencoba berani menyerahkannya kepada gadis itu. Entahlah. Lihat saja nanti.

***

Tiga bulan yang lalu. Sepasang kekasih duduk bersama di meja nomor delapan. Itu adalah meja favorit mereka. Mereka memang pandai memilih tempat. Sebab pemandangan jalanan, tanaman hijau, bunga aneka jenis dan warna, juga dinding kaca yang ikut basah saat hujan turun menjadi reward cantik yang tak didapat di meja lain.

Keduanya tampak serasi. Pria tinggi nan tampan, wajah bersih berkacamata dengan penampilan rapi khas karyawan kantoran bersanding bersama wanita anggun yang tak pernah kehilangan senyuman indah di wajahnya yang juga menawan. Keduanya membuat banyak pasang mata cemburu. Apalagi melihat mereka yang tidak memiliki selera bermesraan yang berlebihan. Cukup genggaman tangan dan pandangan saling mengasihi dan menjaga.

Kopi hitam dengan seujung sendok gula adalah favorit sang pria. Sementara si wanita anggun lebih senang menghabiskan secangkir cappucinno latte pesanannya dengan kukis keju yang tak begitu manis. Keduanya senang menghabiskan waktu sore sampai senja tiba. Lalu, akan keluar pintu kafe dengan saling menggenggam tangan.

Sore itu, hujan turun sangat lebat. Setelah menerima sebuah panggilan telepon yang entah dari siapa dan apa isinya dengan wajah khawatir, si pria segera mengajak wanitanya untuk beranjak meninggalkan kafe. Mereka buru-buru masuk ke dalam mobil hitam yang dikendarai si pria. Melaju dengan kecepatan cukup tinggi, meski hujan di luar tak bersedia menurunkan intensitas derasnya.

Kaca mobil yang memburam akibat tumpahan air, jalanan licin dan suasana hati yang tak begitu baik, membuat si pria kehilangan keseimbangan menyetir. Sore itu sebuah kejadian disaksikan oleh langit yang muram. Sebuah mobil hitam yang dikendarai seorang pria dan wanita di sampingnya turun ke jurang yang curam. Satu penumpang dinyatakan meninggal dunia di tempat, sementara satunya kritis dan dibawa ke rumah sakit terdekat.

Seorang pelayan pria yang cukup dekat denganku mengakhiri ceritanya. Bahkan masih dari informasi yang dia berikan, kecelakaan sore itu sempat masuk media cetak dengan detail kejadian. Sebuah cerita yang kudengar dengan saksama setelah kutanyakan kepadanya perihal seorang gadis yang suka sekali duduk di meja nomor delapan, memesan kopi hitam dengan seujung sendok gula, menghirup dalam-dalam aromanya, lalu beranjak pergi setelah kopi pesanannya setelah dingin.

“Aku senang melihat gadis itu sehat kembali dari masa kritis. Dan kembali datang kemari,” kalimatnya menutup cerita, lalu bangun dan pamit meninggalkanku. Banyak cangkir kopi dan piring yang harus dia cuci di belakang.

***

“Kopi hitam dengan seujung sendok gula. Meja nomor delapan.”

“Baik. Akan segera diantarkan.” Seperti biasa, jawabanku kusisipkan senyuman. Dia membalasnya meski sekilas, lalu berjalan menuju mejanya. Tunggu! Apa yang barusan itu benar? Sebuah senyuman tipis, tetapi tetap saja manis. Aku tidak sedang berkhayal, kan?

Kopi selesai kuracik, siap diantarkan ke meja si pemesan.

Tak menunggu lama, meja nomor delapan telah terisi pesanan gadis ini. Namun, wajahnya kini mendongak, heran. Menatapku? Betul sekali. Entah dorongan keberanian dari mana, kali ini kuputuskan mengantarkan sendiri kopi pesanannya.

“Apa ini? Aku tak memesannya.” Gadis cantik di depanku mengerutkan kening. Aku tersenyum.

Satu cangkir kopi hitam dengan seujung sendok gula sesuai pesanannya seperti biasa, dan satu cangkir lagi dengan isi yang berbeda.

“Kopi hitam pesananmu memang nikmat rasa dan aromanya. Aku sepakat. Tapi rasanya terlalu pahit untukmu. Ada rasa lain yang lebih manis yang bisa kau nikmati di sini. Aku tambahkan sedikit susu dan kremer. Cobalah. Setelahnya, kau pun masih bisa menikmati aroma kopi hitam itu.” Aku sangat berusaha mengucapkannya dengan sopan.

Gadis itu diam. Jujur, aku pun sedikit takut dengan sikapku yang tiba-tiba dan terlalu berani ini. Takut dia akan marah atau menganggapku pria kurang ajar. Ah, namun aku tak mau gila karena harus memendam rasa. Aku seorang pria. Harus segera bertindak atau akan kehilangan kesempatan selamanya. Yang paling penting, caraku. Benar, kan?

Dia masih diam, aku berusaha tenang. Menetralisir detak jantung yang berubah cepat tiba-tiba. Kuperhatikan dia, dengan ragu-ragu tangannya pelan-pelan terulur. Lalu, lebih pelan lagi saat meraih cangkir berisikan kopi yang kumaksudkan untuknya.

Perlahan tepian cangkir mendekat ke bibirnya. Lalu, kopi itu pun akhirnya tercecap sedikit. Senyum tipis terlihat saat kopi yang barusan dia minum kembali ke atas meja.

“Aku Sean. Bisakah mulai hari ini kita berteman?” Kuulurkan tangan kepadanya.

Dia kembali diam.

“Jangan khawatir. Aku bukan orang jahat. Percayalah. Coba saja buktikan sekarang. Pukul tanganku, pasti aku tak akan membalasmu.” Entah ide gila dari mana, bisa-bisanya aku keluarkan lelucon garing itu. Namun, sepertinya kekonyolanku cukup membantu. Dia tersenyum lebih lama juga lebih lebar dari sebelumnya. Aku pun senang.

“Iya, kita bisa berteman.” Senyumannya, jabatan tangannya, dan kesediannya menjadi teman berhasil memindahkan pelangi di sore itu ke dalam dadaku sore ini. Mengobati kekecewaan tak melihat sosoknya keluar pintu kafe sore itu. Boleh aku berteriak, Teman? Aku senang sekali saat ini.

Ya, teman. Kuharap cerita indah kita akan berawal dari menjadi temannya menikmati rasa dan aroma lain dari kopi hitam yang biasa dia pesan. Semoga. (*)

 

Evamuzy, penulis amatir dari kota Brebes. Penyuka warna cokelat muda dan es krim rasa cokelat.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata