Gadis Taurus
Oleh: Karna Jaya Tarigan
“Apa yang harus kamu lakukan setelah kehilangan pacar? Kata orang, hidup harus terus move on. Begitukah?”
SAYA tahu, bahwa hidup harus bekerja keras, bahkan dalam hal apa pun. Tak ada yang gratis di muka bumi ini, kecuali hujan yang ditumpahkan dari langit. Saya tidak selalu bisa mengandalkan diri pada keberuntungan yang tak terduga atau menjauh dan berlari agar terhindar dari beberapa kesialan. Namun kamu juga pasti tahu. Bukankah kebahagiaan dan kesedihan hanya dipisahkan oleh satu garis tipis pemisah. Jadi nikmati saja manis-getirnya kehidupan.
Seperti beberapa waktu yang lalu. Belum lama saya berpacaran dengan kekasih saya dan sedang berasyik-masyuk dengan pelukan penuh kerinduan, dan menikmati kata-kata sarat rayuan yang selalu saya lemparkan:
“Halo Beb, halo Sayang, halo Cinta, aku kangen kamu.” Dan biasanya ia juga selalu menjawab dengan kata-kata manis serupa, “Iya Beb, iya sayangku, iya cintaku, aku kangen kamu juga ….”
Kini semua telah berakhir dan hanya menyisakan penyesalan, juga tumpukan kenangan tentang malam-malam penuh kecupan.
Itu pun jika tidak menghilang tersapu angin.
Sebenarnya saya sungguh patah hati ketika cinta tidak berakhir di pelaminan dan saya merasa ada yang salah dengan nasib saya.”Tentu tidak,” begitu kata kakak ipar saya pada sebuah curhat di suatu sore. “Cinta tidak pernah salah, hanya datang pada waktu yang tidak tepat!” Oh, begitu … saya baru tahu, bahwa cinta bisa salah mampir dan berada di satu dimensi waktu yang juga salah. Jadi kesimpulan saya adalah, sering-sering cari pacar lagi. Barangkali cinta datang pada waktu yang tepat dengan gadis yang juga tepat.
Ini cuma masalah probabilitas atau kemungkinan-kemungkinan.
***
Satu-dua tahun berlalu. Ternyata mencari kekasih tidaklah mudah. Saya masih tetap dengan kesendirian saya. Dan masalahnya, ketika masa-masa menjomlo sudah terlalu lama dan melihat teman-teman yang lain telah menikah atau mempunyai pasangan, lama-kelamaan saya merasa bahwa menjadi jomlo adalah sebuah kejahatan. Tidak percaya? Coba tengok, di mana-mana jika ada sebuah acara pernikahan, pasti selalu terdengar satu candaan paling menyebalkan yang mampir di telinga pejuang cinta.
“Kapan nih nyusul? Yang lain udah mulai nyebar undangan lho ….”
Dan biasanya si Jomlo cuma tertunduk malu karena menjadi objek pem-bully-an massal. Seperti saya misalnya, mencoba memisahkan diri di satu pojokan aman sambil mengambil sepiring penuh makanan. Pura-pura mencari kesibukan sendiri, seperti seorang terdakwa yang punya kesalahan dan berusaha menghindarinya.
Karena saya sudah terlalu sering mendapatkan pertanyaan seperti itu, saya cuma diam dan menjawab lantang dari dalam hati,“EMBER …. ”
Memangnya jodoh bisa mudah didapatkan di supermarket!
***
Pada suatu sore yang penuh hikmah. Saya tak sengaja menemukan sebuah dompet cantik berwarna biru muda yang tergeletak manis di tepi jalan. Memang keberuntungan tidak akan pergi ke mana-mana. Saya menyimpannya hati-hati ke dalam bagasi motor dan nanti saja dibuka di rumah.
Ssst, tidak enak! Nanti ada orang lain yang tahu. Barangkali ada tersisa selembar identitas diri pemiliknya, dan ia pasti merasa kehilangan ….
Saya membukanya perlahan. Ehm, ada lima lembar uang seratus ribuan, dua kartu kredit, kartu BPJS, dan ini dia! Sebuah KTP yang bernamakan Wina, tempat dan tanggal lahir: Malang 20 Mei 1994, status: belum menikah, Alamat: Jl. Jatimayung 4 kelurahan Jatimulya, Tambun-selatan, Bekasi.
Asyik, saya punya kesempatan ….
Namun saya harus memastikan dulu wajah pemiliknya, kan bisa saja sang pemilik tidak bertempat-tinggal sesuai alamat. Dan … oh, Tuhan. Dia cantik juga. Berarti saya harus mengembalikannya segera. Barangkali saja ia jodoh saya ….
***
Sangat mudah menemukan alamat rumahnya, meskipun saya jadi berpikir, kok tidak semudah menemukan cinta ya …. Kami akhirnya berkenalan dan berjabat tangan, setelah satu perempuan cantik yang ternyata dirinya, keluar dari balik pintu rumah dan mengucapkan satu sapaan ramah. Ia mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan saya. Bahkan nyaris saja ia memberi selembar uang sebagai pengganti ongkos bensin dan jelas-jelas saja saya menolak mentah-mentah.
“Jangan, nggak usah repot-repot. Minta nomor WhatsApp-nya aja deh, itu pun kalau kamu nggak keberatan,” itu pinta saya dengan senyum malu-malu. Seperti seekor kucing yang lupa mengenakan celana. Lalu ia menyebutkan beberapa nomor dengan keikhlasan hatinya yang terlihat dari senyum simpulnya yang menawan. Saya buru-buru menyimpan nomornya di layar gawai sebelum ia mengubah pikiran.
Ah, saya jangan berharap dulu. Ini baru awal perjuangan. Cerita selanjutnya tentu saya tidak tahu. Mungkin bisa saja kembali pada kebetulan-kebetulan. Bukankah itulah sebenarnya esensi hidup. Takdir, nasib, dan jodoh ada di tangan Allah.
***
Apa yang kamu lakukan jika mendapatkan nomor WhatsApp dari seseorang yang kamu suka: menahan diri dan sok jual mahal, terburu-buru dan langsung menghubunginya, atau mencari seorang dukun pelet terkemuka. Oke, abaikan dua opsi terakhir, apalagi memakai pelet. Musyrik!
Saya justru lebih memilih opsi pertama, menahan diri dan sok jual mahal. Itu cara handal yang paling sering saya gunakan. Selain lebih efektif tentu saja saya tidak terlihat murahan. Saya ingat akan satu pepatah lama, jinak-jinak merpati. Dikejar-kejar menjauh; dicuekin penasaran. Begitulah sifat perempuan. Lagi pula siapa saya, enggak keren–keren amat.
Namun tidak ada salahnya mencoba. Go with the flow, begitu kata orang. Hidup biarkan mengalir. So, lihat saja. Siapa tahu nanti ada keberuntungan yang berikutnya. Lalu saya mencoba melihat foto profil dan statusnya: gadis Taurus. Hmmh, ia memakai nama samaran, jadi saya bisa mempelajari sedikit banyak beberapa sifat-sifat dari zodiak dirinya.
Taurus:
Suka damai, bisa diandalkan, cerdas, keras kepala, pemalas, setia, dan posesif.
Saya tertarik dengan kata setia dan posesif. Hari gini, setia … namun itulah yang seharusnya kita dapatkan dari sosok seorang perempuan. Penuh dengan cinta.
Saya harus memperjuangkan cinta saya.
***
“Assalamualaikum. Hai, apa kabar?”
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, baik.”
“Lagi ngapain?”
“Nunggu buka.”
“Sama. Kok sehati ya, bisa barengan gitu.”
“Iyalah! Ini kan bulan puasa ….”
“Sorry, efek laper. Halusinasi. Hihihi.”
“Kamu puasa juga?”
“Nggak, mogok makan!”
“Hahaha, kamu bisa aja ….”
“Ya udah. Met buka ya.”
“Sama-sama.”
“Awas! Jangan khilaf ….”
“Maksudnya?”
“Kekenyangan. Entar nggak kuat salat Magrib.”
“Hihihi. Dasar.”
Ini percakapan pertama yang kami lakukan. Kesan pertama jangan terlalu agresif, harus lebih banyak bercanda. Pada dasarnya perempuan lebih menyukai lelaki humoris. Saya rasa cukup sedikit saja pendekatan di hari ini. Biar dia penasaran, kesan selanjutnya tentu di satu kesempatan berikutnya ….
***
Tidak perlu banyak gombal, apalagi pencitraan. Itu prinsip saya. Seorang lelaki dan perempuan yang sama-sama masih sendiri hanya membutuhkan rasa nyaman dan saling percaya untuk bisa menjalin kedekatan. Saya percaya, seorang lelaki baik pasti akan mendapatkan seorang perempuan yang baik-baik dan saya rasa ia juga percaya akan hal itu. Buktinya, dalam beberapa minggu kami telah menjadi dekat satu sama lain. Perlahan-lahan tiada hari tanpa percakapan menyenangkan di antara kami. Saya rasa kami berdua telah mencecap satu racun paling memabukkan di dunia. Satu racun yang bernama cinta.
Kami mulai mabuk kepayang dan mulai berencana untuk pergi bersama. Gadis Taurus sekarang mulai masuk perangkap saya. Atau sebaliknya, saya yang terjerat dalam sebuah perangkap yang disiapkan olehnya? Saya jelas tidak tahu dan tidak mau tahu. Seperti biasa, saya mulai menyenandungkan lagu-lagu cinta setiap mandi pagi. Satu lagu cinta yang entah saya lupa siapa penyanyinya: I can’t stop loving you.
Astaga! Saya sedang jatuh cinta….
***
Pada satu malam Minggu yang cerah, akhirnya kami bertemu dalam kencan pertama. Dia sungguh terlihat luar biasa. Saya tidak tahu mengapa bulan yang sedang bersinar penuh dan sempurna, bisa dikalahkan hanya dengan binar cerah di kedua bola matanya. Ini jelas bukan keajaiban alam, melainkan keajaiban cinta. Sekali lagi cinta bisa membuat segalanya terlihat luar biasa. Tetapi yang membuat hari ini terasa menjadi lebih luar biasa, saat lidah saya seperti terkunci. Seolah bibir saya dikatupkan oleh sebuah gembok besar yang kasat mata.
Saya seperti mengalami cinta monyet yang biasa diderita anak lelaki yang baru saja mengenal cinta. Saya demam panggung, saya gugup, saya mengeluarkan keringat dingin, dan saya cemas sebab saya tak mampu mengatasi keadaan. Lalu saya menghirup napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Barangkali keberanian ini bisa berangsur-angsur pulih dan kecemasan segera menghilang.
***
Apa yang harus saya lakukan untuk mendobrak kebuntuan ini. Pandangan mata dan pikiran saya sama-sama berlomba mencari satu peluang untuk menghalau kecemasan ini segera.Pada satu kesempatan yang sungguh tak terduga, kala kami harus menyeberang jalan dengan menaiki jembatan penyeberangan, raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi pucat, dan terlihat sedikit panik. Rupanya ia agak phobia dengan ketinggian. Dan saya langsung saja tidak menyia-nyiakan peluang tersebut. Ini adalah peluang yang saya tunggu-tunggu sejak tadi. Momen yang mengubah segalanya. From zero to hero.
Saya menggenggam tangannya dan memandu langkah-langkahnya pelan-pelan.
“Jangan memandang ke bawah, ya. Lihat saja ke depan.” Saya berusaha membangun keberaniannya.
“Biar saya yang berjalan lebih dulu. Nggak usah khawatir, jembatan ini cukup kukuh, kok,” sambil menuntun tangannya.
Ucapan saya cukup menenangkan hatinya, meski nyatanya genggaman tangannya malah semakin erat. Saya membayangkan sebuah kemenangan meski hanya untuk sementara waktu. Sejenak saya bisa tersenyum, walau cukup di dalam hati.
Perlahan-lahan saya menuntunnya hingga tak terasa kami telah menyongsong anak tangga turun. Sekilas ia terlihat menarik napas lega, dan rasa takutnya beranjak sirna. Wajahnya kembali cerah.
“Kamu kok nggak ngomong kalau takut ketinggian?” tanya saya.
Ia tidak menjawab, hanya mencubit lengan saya dengan gemas sebagai jawaban atas pertanyaan saya.
“Auw ….”
Saya mengaduh dengan lantang sebab rasa sakit yang sangat, hingga membuat orang-orang di sekitar menoleh ke arah kami. Dan ia tertawa hingga dua belah lesung pipitnya terlihat jelas. Dan saya baru menyadari bahwa seluruh kecemasan dan kegundahan saya telah menghilang jauh-jauh. Gembok besar yang mengunci bibir saya mungkin telah terjatuh di anak tangga penyeberangan tadi. Saya membalas kejahilannya barusan dengan cara tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia tersipu malu tetapi tak mampu menepis tangan saya yang justru semakin menjadi lebih genit.
Hari ini sepertinya saya dan gadis Taurus jadian lebih cepat dan jelas itu tanpa disengaja. Sungguh peristiwa tadi sebuah kebetulan yang ajaib namun ternyata cukup menyenangkan.
***
Saya sedang menikmati istirahat makan siang. Sepiring nasi rames dengan secuil sambal pedas membuat lidah dan bibir saya menjadi bergetar kepanasan luar biasa. Baru saja mencecap segelas es teh manis yang menyegarkan, gawai milik saya tiba-tiba berdering nyaring.
“Beb, lagi ngapain?”
“Beb …. ”
“Beb, kok lama sih balas WhatsApp-nya …. ”
“Beb!”
“Bebep, sebel, deh.”
“Beb … ke mana aja sih kamu?”
“Beb, oh, Beb.”
“Kamu pacaran lagi, ya?”
“Beb … awas ya!”
Saya tersedak dan mulut ini tak sengaja memuntahkan es teh manis yang baru saja saya minum hingga membasahi kemeja.
Saya lupa, gadis Taurus tetap saja memiliki sifat posesif abadinya meski baru sebulan lalu saya menikahinya. Sekarang ia telah berubah status menjadi seorang emak-emak Taurus. Lebih gawat lagi … ini sebuah hal yang lupa saya perhitungkan. Tetapi yang terpenting, saya harus belajar menerima dan membalas pesan-pesannya kapan saja. Atau dia akan menanduk saya dengan pertanyaan-pertanyaan njelimet penuh selidik setiba di rumah. ©
Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula yang numpang ngetop di laman Facebook-nya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata