Kesalahan Kecil dari Takjil

Kesalahan Kecil dari Takjil

Kesalahan Kecil dari Takjil
Oleh: Ayu Candra Giniarti

Suara azan Magrib berkumandang merdu menenangkan. Aku berdoa dan meneguk sedikit demi sedikit teh manis hangat yang sudah tersaji di pelataran masjid. Alhamdulillah, nikmatnya berbuka. Tiga buah kurma habis kumakan. Manisnya, membuatku semakin rindu hadir di mana pohon itu ditanam dan berbuah.

“Assalamualaikum, Dik Ari!” Seseorang menyapaku, suara yang sangat kukenal.

“Waalaikumsalam, Mas Febri! Wah, lama sekali nggak ketemu, ya. Bagaimana kabarnya? Sehat?” jawabku sambil menjabat tangannya.

“Alhamdulillah, baik. Ini kok tumben ada di sini. Ada acara?” tanyanya.

“Kita salat dulu. Nanti kita ngobrol lagi ya,” jawabku dibalas dengan anggukan Mas Febri.

Aku berwudu, air suci mengalir membasahi sela-sela jari tanganku, kakiku, membersihkan setiap lekuk wajah hingga rambutku. Ada rasa haru dan syukur setiap berwudu. Aku merasa Allah memberikanku kesempatan lagi dan lagi untuk selalu mengingat-Nya. Menjagaku di jalan yang diridai. Insyaallah.

Barisan dirapatkan, menunduk menghadap kiblat. Semua sedang khusyuk berdoa. Mungkin tidak semua, ketika ada suara ponsel berdering dan suara sigap menghentikan lengkingan nada itu. Aku kembali menata hati dan fokus pada Sang Pencipta.

Seusai salam, alam seakan menyambut dengan pelukan. Angin berembus dingin, mengusap lembut lenganku.

“Dik Ari ….”

Uluran tangan Mas Febri membentang di hadapanku. Aku menyambutnya dengan hangat, seperti sahabat yang lama sekali tak bertemu.

“Apa kabar?”

“Baik, Mas Febri. Pasti kaget saya di sini.”

Mas Febri tersenyum, mengiyakan tapi seperti ada rasa sungkan bertanya lebih lanjut. Mas Febri sudah seperti saudaraku sendiri. Saat aku masih kecil, berlarian berebut takjil yang dibagikan di jalanan sudah menjadi kegiatan menyenangkan kami sehari-hari setiap bulan Ramadan.

Hingga ia memutuskan sejenak menjauh dariku. Ingatanku berlari menyaksikan masa kelam itu, Ramadan tiga tahun yang lalu.

“Kita ambil dua, yuk!” ajakku.

“Kan udah dibilangin! Satu orang satuu!”

“Emang dia kenal kita? Nggak bakal ketahuan! Yuk, ah! Kapan lagi coba?”

“Ogah! Sana kalau mau ambil sendiri.”

“Ya udah! Awas lo kalau ikutan! Sok nggak butuh lo!”

“Ri! Allah tetap lihat kita. Lo mau ambil dua atau satu Allah ngerti meskipun mba-mba mas-mas yang bagi takjil nggak ngerti! Kita hidup melarat boleh, tapi jangan jadi orang nggak jujur, Ri!”

“Sok suci lo! Perasaan puasa nggak puasa kita melarat. Lebaran nggak lebaran juga gini-gini aja kita!”

Mas Febri diam, mungkin ia memperhatikan aku yang sedang berlari merebut hak orang lain. Meski hanya satu-dua bungkus, tapi ada orang lain yang seharusnya lebih berhak mendapatkannya.

Saatnya berbuka, perutku kenyang tapi hatiku gersang. Biasanya aku dan Mas Febri menghabiskan satu bungkus takjil bersama, karena satu lagi kami bagikan pada Bapak yang sudah tak sanggup berjalan. Satu botol air minum kami habiskan berdua. Uang yang aku dapatkan dari hasil memadukan suara cempreng dengan percikan tutup botol minuman, aku berikan pada Emak. Tak seberapa, tapi Emak masih bisa memasak nasi dengan lauk seadanya. Entah itu tempe dengan kuah yang dimasak tanpa sayur, atau kerupuk dengan kecap. Dalam kondisi perut lapar, lauk itu rasanya sudah sangat istimewa bagi kami. Tapi setelah berhasil mendapatkan takjil gratis lebih dari satu, aku lupa nikmatnya masakan Emak. Aku selalu berusaha mendapatkan takjil hak orang lain dari hari ke hari hingga Ramadan berlalu dengan keserakahanku.

Mas Febri, aku melihat dia selalu mengumpulkan receh dalam kaleng yang dilubangi. Padahal pendapatannya lebih sedikit dariku. Dia hanya mengelap kaca mobil orang yang berhenti di lampu merah. Tak jarang orang hanya memberikan lambaian tangan padanya. Ia adalah anak Bude dari Emak. Tapi Bude sudah meninggal, sedangkan Pakde entah ke mana. Sejak Bude meninggal, Mas Febri tinggal bersama kami.

“Hh … maaf, Mas. Saya dulu keras kepala,” aku mengawali pembicaraan dengan Mas Febri usai salat.

Kami duduk di pinggir masjid, menikmati suara lantunan ayat suci Alquran. Ia menepuk pundakku.

“Kalau boleh tahu, bagaimana perjalananmu sampai ke masjid ini?” tanya Mas Febri.

“Banyak perjuangan, Mas. Sejak Mas Febri memutuskan menjadi kuli panggul di toko bangunan Pak Slamet, aku seperti kehilangan saudara, kehilangan teman. Ditambah lagi, Pak Slamet sangat baik, meminta Mas Febri tinggal di rumahnya. Aku iri sebenarnya. Pak Slamet sering memberi takjil pada Mas Febri. Bahkan hidangan buka puasa juga diberikan pada semua pegawainya di toko. Rasanya aku pengen naik kelas, nggak jadi pengamen terus!” jawabku panjang lebar.

“Kamu sudah sampai di masjid ini, Allah sudah memanggilmu, Dik.”

“Iya, Mas. Dulu, aku marah sama Allah. Jangankan salat, dengar suara azan saja aku abaikan. Yang penting perutku kenyang habis itu ngamen lagi biar punya banyak duit. Kadang Emak-Bapak melarang juga aku tetap saja berangkat. Akhirnya, aku mengenal minuman keras lewat teman-teman baruku. Kadang mereka mengejekku saat aku puasa. Tapi aku tetap puasa, Mas.”

“Ya, aku dulu nangis, Dik, kalau dengar Emak nangis kangen sama kamu yang dulu sering ikut jagain Bapak di rumah,” ujar Mas Febri.

“Lho, emang Mas Febri pernah ke rumah?”

“Sering, Dik. Kalau malam habis tarawih, aku mampir ke rumah. Lihat keadaan Emak sama Bapak. Tapi kamu pasti nggak ada di rumah.”

Aku menunduk, mengalir deras air mataku. Sulit rasanya menerima kebodohan yang aku miliki selama ini. Sikap brutal, tak tahu diri, egois dan iri menyelimutiku dulu. Bodoh!

“Kesalahan kecil menjadi besar ketika kau terus memupuknya dengan kesalahan kecil lainnya, Dik,” ucap Mas Febri sembari menepuk-nepuk pundakku.

Aku mengangguk. “Kita jadi manggil Mas dan Dik, ya.”

“Begini lebih enak, lebih akrab. Kan kita saudara,” jawabnya.

Senyum Mas Febri merekah, kelembutan hatinya melunakkan watakku yang keras. (*)

 

Pemalang, 22 Mei 2019

Ayu Candra Giniarti. Seorang ibu dan penikmat udara pagi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata