Lelaki Metropolitan

Lelaki Metropolitan

Lelaki Metropolitan
Oleh: Evamuzy

MINGGU LALU, aku diajaknya makan malam. Sebenarnya bukan hal yang istimewa pula. Lelakiku itu memang gemar sekali menyenangkan hati kekasihnya dengan hal-hal mewah. Seperti malam itu, kami bersantap di sebuah restoran ternama di pusat kota. Namaaz Dining daerah Senopati, Jakarta. Yang kutahu dari searching lewat internet, harga makan di restaurant bintang lima itu sekitar delapan juta rupiah untuk dua orang saja. Dengan menu makanan yang unik dan khas. Misalnya, ada roti dan selai yang sebenarnya selai-selai itu adalah isi dari gudeg Jogja yang sudah diolah sedemikian rupa, sehingga berubah bentuk serupa selai. Selai cokelat yang sebenarnya adalah gudeg, selai warna kuning adalah telur, selai warna hijau adalah sayur seledri dan keju yang digunakan sebenarnya adalah olahan daging ayam. Unik, bukan? Aku saja dibuatnya terkagum-kagum oleh menu yang disediakan. Apalagi saat koki menyajikan hidangan lain lewat aksi-aksi memukau.

“Apa kau senang, Sayang?” Pria manis di depanku meremas lembut jemari tangan. Ini bukan kali pertamanya membawaku ke tempat-tempat mahal. Saat aku protes dengan kebiasaannya yang berlebihan itu, dia hanya menjawab bahwa itu tak seberapa, asal bisa membahagiakanku. Aku bahagia tanpa ini. Sungguh, asal dia ada di sampingku, aku sudah sangat bahagia. Namun, ya sudahlah, sepertinya dia kurang suka ketika mendengar wanitanya ini banyak bicara.

“Kau tahu, perusahaan besar ayahku berhasil bekerja sama dengan banyak perusahaan bertaraf internasional. Jadi, sudah sepatutnya aku mengajakmu pergi ke tempat-tempat yang sebanding dengan keadaanku.”

Aku hanya tersenyum. Tak ingin mendebatnya. Tak bisa menafikan juga, bahwa aku cukup menikmatinya. Siapa tidak senang memiliki pacar seseorang yang punya harta berlebih.

Setelah selesai menyantap menu-menu istimewa yang disajikan, lelakiku mengajak kami pulang setelah sebelumnya membayar biaya santap malam itu.

“Mobilmu baru lagi?” Aku mengernyit heran. Dua hari sebelumnya dia datang menjemputku di gerbang kampus dengan Fortuner warna hitam mengilap. Namun, malam itu dia mengendarai sebuah mobil sport warna merah menyala. Aku memang baru melihatnya. Kebetulan saat datang, aku meminta bertemu saja di tempat yang sudah kita janjikan itu. Aku datang menggunakan jasa taksi online.

“Aku bosan dengan yang itu. Ingin suasana baru. Mobil baru. Apa kau menyukainya?”

Takut-takut salah berkata, aku kembali melayangkan aksi diam dan tersenyum saja. Meskipun batin teramat ingin berkata, Aku menyukaimu yang sederhana saja. Ini berlebihan.

KEESOKKAN HARINYA. Mengantar dan menjemputku kuliah adalah kesenangannya. Padahal, aku sudah sering berkata bahwa aku bisa melakukannya sendiri.

“Kau pasti sibuk di kantor. Aku bisa berangkat dan pulang kuliah sendiri.” Aku mencoba menawar keinginanku kepadanya. Tak ingin terlalu bergantung, meskipun dia memang kekasihku.

“Kau lupa, aku manajer di perusahaanku. Aku bebas keluar kantor kapan saja. Ada sekretaris pribadi dan banyak karyawan yang bisa aku andalkan.”

Baiklah, lagi-lagi aku memilih mengalah saja. Lalu, saat kami sudah berada di dalam mobil mewahnya, kulihat dia mengambilnya sesuatu dari kursi belakang. Sebuah tote bag kecil berwarna ungu muda. Diserahkannya benda itu kepadaku disertai dengan senyuman indah. Senyuman yang selalu berhasil membuatku terpesona olehnya.

“Apa ini?”

“Buka saja.”

Kubuka tote bag yang ternyata berisi kotak berukuran sedang. Perlahan kuraih dan kubuka kotak itu. Sebuah jam tangan merek ternama dengan model terbaru terlihat begitu indah di dalam kotaknya. Mataku terbelalak seketika. Ini jam tangan yang sedang menjadi bahan perbincangan di kalangan anak kampus kelas atas. Aku tahu kisaran harganya. Sebanding dengan biaya kuliahku tiga semester. Makanya, aku bahkan sama sekali tak berharap memiliknya. Realistis saja.

“Ini untukku? Tapi ini terlalu mahal. Kau berlebihan.”

“Tak ada yang berlebihan untuk orang yang aku sayang. Pakailah. Itu akan semakin indah di tanganmu.”

Saat bertanya kenapa dia sangat senang memberiku hal-hal yang istimewa, dia berkata, “Karena kau istimewa. Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Kau manis dan baik.”

Baiklah, aku anggap itu sanjungan dari seorang kekasih. Terima kasih.

DUA HARI LALU. Terhitung sudah 2×24 jam dia tak ada kabar. Bisa dibayangkan bagaimana resahnya aku, saat seseorang yang hampir setiap saat memberi kabar dan menanyakan keberadaanku, kini dia hilang bak ditelan bumi. Aku mengkhawatirkannya. Teleponnya tidak aktif. Pesanku pun hanya centang satu, tanda tak terkirim sama sekali. Mengunjungi rumahnya? Selama ini, aku belum pernah sekali pun dibawa ke rumahnya.

Tak mau tersiksa oleh rasa tak nyaman, akhirnya aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Kucari kartu nama yang pernah dia berikan saat pertama kali kita bertemu. Kuharap, semoga mencari alamat rumahnya tak sesulit mencari harta karun di zaman batu.

HARI INI. Semalaman, Jakarta diguyur hujan lebat dan panjang. Menyisakan hawa dingin keesokan harinya, juga genangan air di mana-mana. Menggunakan jasa taksi online, aku putuskan menemuinya dengan bekal sebuah alamat di tangan. Semalam, dia membalas pesanku. Mengabarkan bahwa dua hari ini dia demam tinggi sampai-sampai tak bisa masuk kantor. Membayangkan, sungguh aku merasa kasihan. Oh, kekasihku.

Mobil berjalan menyusuri jalanan ibu kota, lalu berhenti di alamat yang kusebutkan. Namun, aku merasa sedikit kesal ketika sang sopir membawaku ke sebuah daerah yang sepertinya tidak sesuai bayanganku. Aku yakin, alamat yang ada di tangan ini adalah sebuah kompleks perumahan elit. Layaknya daerah tempat tinggal para konglomerat. Bukan sebuah daerah kumuh yang terlihat di depan mata ini.

Berkali-kali aku mengungkap ragu dan menyangkal, berkali-kali itu pula sang sopir meyakinkan bahwa dia tak sedang mengerjaiku. Bahkan, untuk memastikannya, aku turun dan bertanya kepada orang-orang sekitar. Saat kusebut nama kekasihku, mereka dengan mantap menunjuk sebuah gang yang katanya itu adalah alamat rumahnya. Mereka sama-sama yakinnya dengan sang sopir. Ragu, aku mulai melangkah kaki menuju sebuah gang yang ditunjuk mereka.

Tikus-tikus ceking dan kotor saling berkejaran. Keluar dari got-got yang memuntahkan isinya: cairan hitam berbau busuk menusuk indra penciuman. Lalat hinggap di sana sini, terutama pada tong-tong berisikan sampah basah. Jalanan aspal tertutup genangan air sisa hujan semalam.

Aku mematung merasakan hati setengah dongkol menatap ujung rok panjangku. Penuh noda oleh cipratan lumpur sepanjang jalan yang kulalui menuju ujung gang di mana lelaki tampanku katanya tinggal. Hati beberapa kali ingin mengumpatnya. Ah, kau … jika benar ini alamat rumahmu, untuk apa kau membohongiku? Dan dari mana kau dapatkan semua benda-benda mahal dan uang untuk beberapa kali makan malam di restaurant mahal?

Kemudian, dari tempatku berdiri, kulihat sosok yang kucari. Dia mengeluarkan motor butut dari pintu sebuah rumah kecil khas masyarakat pinggiran. Aku ingin marah, ingin sekali, tetapi melihat keadaannya sedikit berantakan khas orang yang sedang sakit, aku tak tega. Mungkin aku kasihan, atau memang benar karena sayang. Sampai akhirnya dia menyadari kehadiranku dan … mata kami saling bertemu.

Aku ingin sekali berkata, “Hai, lelakiku. Lelaki metropolitan. Apa semua ini?” (*)

 

Evamuzy, penulis amatir dari kota Brebes. Penyuka warna cokelat muda dan es krim rasa cokelat.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata