Monolog Hitam Putih

Monolog Hitam Putih

Monolog Hitam Putih
Oleh : Mila Athar

Aku suka dia. Tidak, aku menyayanginya. Bukan, aku mencintainya, sangat mencintainya, bahkan lebih. Entah apa jadinya jika dia tidak berada dalam hidupku.

Setiap hari, dia selalu menemaniku di ruang serba putih ini. Ruangan yang tidak aku suka sebenarnya. Bau busuk di mana-mana. Namun, ketika dia datang setiap senja hampir menghilang, ruangan pengap ini tiba-tiba menjadi semerbak mewangi.

“Kau cantik hari ini.”

Setiap hari sebagai pembuka kedatangannya, dia akan mengatakan bahwa aku cantik. Walau sering dengan rambut acak-acakan atau pakaianku begini-begini saja warnanya. Setidaknya dia selalu memujiku.

Kadang ketika dia datang rambutku begitu rapi. Bajuku juga tak begitu kusut. Asal para penjahat itu tak mengusik tidur siangku. Mereka selalu melakukan hal yang tak kusukai. Seenaknya saja, meraba-raba tubuhku. Jika aku meronta dan menjerit, mereka akan mengeluarkan ilmu hitam mereka sehingga aku pingsan.

Mereka juga mengurungku, tak memberiku ruang untuk bergerak. Lagi-lagi hanya sosok lelaki dengan postur tinggi tegap itu yang menguatkanku. Membelai kepalaku dengan mesra serta membawakanku makanan lezat.

Seperti kali ini, sosoknya yang semerbak menyamarkan bau amis yang membuatku ingin muntah sejak pagi. Dia melengkungkan bibir yang membuatnya semakin menawan. Kubalas dengan senyuman terbaik yang bisa kulakukan. Hatiku berbunga ketika memandang wajahnya. Lantunan simfoni lembut seolah mengiringi langkahnya.

“Kau, semakin cantik saja.”

Ucapannya seperti biasa membuatku tersipu. Kurapikan sedikit—ah, tidak, cukup banyak, pakaianku yang kusut. Hem, kurasa aku harus membeli pakaian baru. Aku bosan dengan pakaian warna ini terus-terusan.

“Kau sudah makan?”

Aku segera menggelengkan kepalaku. Kulihat sekeliling. Tak ada apa-apa. Mengapa para penjahat itu belum mengirimiku makanan. Mungkin mereka mengharapkanku mati. Pemikiran tersebut membuatku terhenyak.

“Apa jika aku mati, kau masih mau menemaniku?”serta-merta aku menanyakan pertanyaan itu kepadanya.

Wajahnya tiba-tiba berubah datar. Ia hanya memandangiku lekat selama beberapa saat. Dan tiba-tiba tawanya yang menggelegar menusuk gendang telingaku. Refleks, aku menutup telingaku. Tawanya seolah menyerap jiwaku. Aku mengeleng-gelengkan kepala. Namun, tetap saja ia masih dengan tawanya yang membahana.

Panik, aku melemparnya dengan gelas kosong yang ada di sampingku. Bunyi benda pecah menemani tawanya yang semakin membuat tubuhku menggigil. Tubuhnya tiba-tiba juga lenyap dari pandanganku.

Air mata telah membasahi seluruh sudut wajahku. Tiba-tiba salah satu wanita jahat masuk. Pakaian putihnya membuatku semakin muak. Melihat wajahnya aku menjadi geram. Dengan sedikit kasar dia mencengkeram tanganku, berusaha menyakitiku dengan benda yang cukup tajam.

Aku kalap, kucakar wajah dan kujambak rambutnya. Biar saja, aku muak dengan semua yang ia lakukan terhadap tubuhku selama ini. Benda yang ingin menyakitiku itu juga terlepas. Dia berusaha menghalauku, namun aku masih menyerangnya dengan membabi buta.

Perempuan ini harus merasakan, bagaimana rasanya sakit. Aku masih memegang rambutnya, ketika temannya datang dan memisahkan kami. Tiba-tiba saja benda yang tadi terjatuh telah menancap di lengan kiriku. Tiba-tiba aku merasa lemas, pandanganku berkunang-kunang dan semua hitam.

***

“Suster, kau baik-baik saja?”

Sambil merapikan rambut dan baju, suster tersebut mengangguk. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ada sedikit air yang menggenang di pelupuk mata. Beberapa luka cakaran tampak di lengannya. Kurasa ia sedikit syok. Ia suster magang yang baru dua bulan bekerja di sini.

“Sebaiknya Suster kembali ke ruang piket. Biar saya hubungi Suster Dewi untuk mengobati luka-luka Suster.”

“Baik, Dok.”

Suster tersebut mengangguk dan segera beranjak dari ruangan ini.

Pandanganku kembali tertuju pada sosok perempuan yang tertidur di brankar. Rambut legamnya sedikit tak beraturan. Baju dari rumah sakit itu juga sedikit kusut. Dia tertidur dengan damai setelah tadi dengan paksa aku menyuntiknya dengan obat penenang.

Aluna, nama perempuan tersebut. Menurut riwayat, dia mengalami gangguan jiwa sejak kecelakaan yang merenggut suaminya. Entah hal apa yang dia temui. Setiap senja, dia selalu tampak bahagia dan sering bercakap-cakap sendiri.  Entah apa yang dilihatnya. Beberapa minggu aku sering mengamatinya dari ruang kaca sebelah.

Setiap senja, aku merasa dia menjadi sosok lain. Tampak bahagia dan begitu hidup. Senyumnya yang sering terbit kala senja datang, sering membuat dadaku berdebar. Namun, aku selalu menampiknya. Aku bertekad, akan membuatnya kembali menemukan pijakannnya.

Sedikit ragu, aku merapikan rambut yang menutupi matanya. Tangan dan kakinya terikat oleh tali yang agak longgar. Tiba-tiba mataku tertuju pada laci meja yang sedikit terbuka. Aku melihat ada sebuah buku yang cukup usang di dalamnya. Aku agak heran mengapa buku tersebut ada di laci meja tersebut. Tanpa pikir panjang, aku segera mengambilnya dan memutuskan segera beranjak dari ruangan.

***

Malam ini aku memacu mobilku. Jalanan tampak lenggang. Tentu saja, ini tengah malam. Hanya ada satu dua mobil yang berhasil menyalip. Aku terus memacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku sedikit menyesal tiga hari ini tak bisa berkunjung ke rumah sakit. Entah mengapa di tengah kepenatanku sehabis  workshop yang menguras energi, hatiku tergerak untuk membuka buku milik Aluna.

Aku terhenyak, fakta-fakta yang membuatku tercengang. Semua kisah pelik di dalam hidupnya, tertuang di situ. Maka aku memutuskan untuk segera menemuinya di rumah sakit. Sebelum semua terlambat. Lampu merah, hal yang membuatku sedikit jengkel. Satu belokan lagi aku akan tiba di rumah sakit. Aku harus bersabar. Aku menarik napas beberapa kali untuk menenangkan hatiku.

Tanpa memakirkan mobil secara benar, aku segera berlari ke lantai tiga tempat Aluna dirawat. Ruang piket tampak sepi malam ini. Dua orang suster yang terkantuk-kantuk tampak terperanjat melihat kedatanganku. Tanpa menyapa, aku segera mengambil kunci.

Dengan setengah berlari aku menuju brankar. Aku membuka pintu 203 dengan tangan gemetar. Aluna, kuharap kau tak melakukan hal bodoh yang kutakutkan.

Ruangan gelap menyambutku. Mataku tak bisa menangkap apa pun karena tak ada seberkas sinar yang masuk. Ruangan tampak senyap. Sambil meraba tembok, aku mencari sakelar terdekat.

Kuambil ponsel dan berniat menghidupkan senter. Namun, sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram leherku. Aku berusaha menghalau tangan tersebut. Pegangan tangan tersebut cukup kuat. Tiba-tiba tangan itu berganti dengan sebuah tali yang menjerat leherku. Pandanganku mulai memburam dan napasku tinggal satu-dua.

“Kau harus membayar semua, nyawa dibalas nyawa.”

Suara lirih disertai kikikan membuatku terhenyak. Dengan sisa-sisa tenaga aku berusaha memukul tangan yang memegang tali. Namun, tali itu semakin erat menjeratku. Kesadaranku mulai menghilang. Aku pasrah menyambut kematian. Mungkin ini harga yang harus kubayar untuk menebus kematian suami Aluna.(*)

 

Mila Athar. Gadis yang masih terus belajar merangkai aksara yang tersebar di semesta.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata