Patah Hati Terindah

Patah Hati Terindah

Patah Hati Terindah
Oleh: Vianda Alshafaq

Ketika aku berhasil menerjemahkan kasih sayang-Mu di balik kata patah itu, saat itu aku merasa bahwa ini adalah patah hati terindah yang pernah ada.

~Vianda Alshafaq

***

“Jangan bicara soal patah hati kepadaku karena kamu tidak tahu seberapa hancur hatiku ketika patah kala itu. Patah hati yang kini tengah kamu rasakan hanya sepersekian dari patah hatiku.” Aku hanya mampu berkata begitu. Terasa pelik ketika ingatanku kembali melayang pada kenangan itu. Harusnya sudah lupa setelah sekian lama, tetapi kenyataannya tak begitu. Aku masih mengingatnya. Adegan demi adegan, peristiwa demi peristiwa dan canda tawa itu masih berbekas dalam ingatanku. Aku takkan pernah lupa pada bukti kasih sayang-Nya padaku.

“Tapi kamu tidak tahu bagaimana hancurnya hatiku saat ini, Aisya,” ujar gadis berwajah oval yang kerap kupanggil Sonya itu.

“Katakan padaku, seberapa hancur hatimu saat ini? Kamu hanya patah hati gara-gara laki-laki, Sonya. Bahkan jika boleh, aku bahagia saat melihatmu seperti ini. Aku akan bahagia, Sonya. Aku akan jadi orang paling bahagia hari ini karena sahabatku telah jauh dari hal-hal yang mendekati zina. Namun sayangnya, aku tak bisa. Karena bagaimanapun, kamu adalah sahabatku dan aku tak mungkin bahagia melihatmu menangis seperti ini.

“Sonya, berbahagialah karena Allah telah menjauhkanmu dari hal bodoh itu. Berbahagialah karena Allah masih bersedia menjagamu dari hal buruk semacam itu. Seseorang pernah mengatakan kepadaku, bahwa Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Dan, menurut Allah kamu tak butuh laki-laki seperti dia. Apalagi di usia muda seperti ini. Tak ada gunanya patah hatimu itu, Sonya.”

“Kamu berbicara seperti itu karena kamu tak tahu bagaimana rasanya patah hati, Sya.”

“Bukankah sudah kukatakan bahwa patah hatiku jauh lebih parah daripada patah hatimu?”

“Memangnya bagaimana patah hatimu hingga lebih parah dari ini?”

***

Sepiring nasi goreng dengan taburan bawang menjadi menu sarapanku pagi ini. Ditambah segelas air putih hangat yang akan membasahi kerongkonganku. Tak jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Sudah hampir lima menit sejak aku duduk di meja ini, tetapi aku masih tidak berminat untuk melahapnya. Makanan itu mungkin akan terlihat lebih menggoda jika saat ini perasaanku sedang baik. Namun sayang, aku sedang tidak baik-baik saja. Semuanya terlalu menyayat jantungku.

“Sarapan itu untuk dimakan, Sya. Bukan hanya untuk ditatap seperi itu,” tukas wanita keriput yang memegang kunci surgaku.

Kutatap mata cokelat yang kini mulai menjalari pikiranku. Senyuman tipis di bibir itu jelas sekali mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Senyum itu seakan-akan mengajakku untuk percaya bahwa semua ini pasti berlalu dan aku sanggup untuk itu.

Ibu memelukku sangat erat. Dia wanita terhebat yang pernah ada. Hanya dengan melihat mataku, dia tahu aku tidak baik-baik saja. Hanya dengan diamku, dia tahu aku tengah terluka. Kurasakan usapan lembut yang ia berikan. Kurasakan kecupan lembut di puncak kepalaku yang menyalurkan kekuatan.

“Sudah, sekarang sudah setengah tujuh lewat. Sudah saatnya pergi ke sekolah sekarang. Nanti kamu telat. Sarapannya Ibu bungkus saja.” Ibu melepaskan dekapannya dan beralih membungkus sarapanku.

Aku berangkat ke sekolah diantar oleh kakakku. Sebenarnya dia ingin mengajariku membawa motor, tetapi aku terlalu takut untuk itu. Melihat semakin banyaknya terjadi kecelakaan lalu lintas membuat nyaliku semakin menciut. Oleh karena itu, kakakku terpaksa mengantarku ke sekolah setiap hari.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 saat aku sampai di sekolah.

“Bang, Sya ke kelas dulu, ya. Assalamualaikum,” ujarku seraya mengambil alih tangan kanannya.

***

Lima hari sudah berlalu semenjak pagi itu. tak ada perubahan yang terjadi padaku. Semua masih seperti itu. Tumpukan tugas masih tak mampu mengambil alih perhatianku. Ketertinggalanku atas beberapa mata pelajaran belum juga kuselesaikan. Kurasa satu minggu adalah waktu yang cukup banyak untuk membuatku tertinggal pelajaran.

Ainun menghampiriku. Rasanya aku tak melihatnya di dalam kelas ini saat aku masuk. Entah kenapa tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Apa mungkin dia berteleportasi? Namun bukankah teleportasi itu hanya ada di cerita-cerita fantasi?

“Sya, udah siap tugas kimia, belum?” tanyanya saat berada tepat di depanku.

“Belum.”

“Kayaknya aku salah tanya deh sama kamu, Sya,” Ainun menatapku tajam. Ah, dia selalu seperti itu. Dia paling tidak suka jika aku tak membuat tugas. Sungguh teman yang baik, bukan?

“Sya, sampai kapan sih kamu mau kayak gini? Nggak capek apa melamun mulu? Kamu enggak capek mikirin masa lalu kamu itu? Udahlah, Sya. Semua itu udah lewat. Kamu selalu seperti ini, mudah banget putus asa. Masih banyak mimpi lain yang bisa kamu kejar. Kenapa harus seperti ini, Sya? Kamu siswa yang pinter, Sya. Kamu bisa menggapai mimpi yang lain, Sya. Percayalah!” lanjut Ainun yang tak mampu kubalas karena semua itu benar adanya. Aku memang tengah putus asa, aku tengah patah hati dan terluka sangat dalam. Bahkan jika ada kata yang lebih dari putus asa, maka aku akan menggunakan kata itu.

Aku hanya bungkam. Tak sedikit pun membuka suara. Kubiarkan dia berbicara apa yang dia inginkan. Tanpa kusadari ucapannya terus saja terngiang di kepalaku. Kata-kata gadis berkulit sawo matang itu mulai mengambil alih pikiranku.

Apa benar masih ada harapan untuk merajut mimpi baru?

Impian, siapa yang tak pernah punya mimpi. Semua orang pasti punya mimpi. Namun tak semua orang mau berjuang untuk mimpinya. Tak semua orang benar-benar percaya pada mimpinya. Terkadang sebagian dari mereka hanya menganggap mimpi sebagai sebuah lelucon yang patut ditertawakan. Terkadang sebagian dari mereka hanya mampu meremehkan perjuangan orang lain tanpa tahu bagaimana lika-liku perjalanan untuk mendapatkan mimpi itu. Mereka akan semakin terbahak-bahak ketika takdir tak berpihak pada para pejuang itu. Setidaknya seperti itulah yang kusaksikan.

“Nun, jika kamu berpikir aku bisa membuat harapan baru, apa yang harus kulakukan untuk harapan itu, Nun? Kamu tahu, Nun, pikiran dan perasaanku masih dijajah oleh mimpi itu. Telingaku masih digerogoti tertawaan mereka yang tak tahu bagaimana perihnya hatiku. Hatiku patah, Nun. Sungguh, inilah patah hati terhebat yang pernah kurasakan. Kamu benar, aku tengah putus asa. Aku tak tahu harus melangkah seperti apa. Bahkan untuk merangkak saja, aku sudah tak tahu caranya.”

Kaca-kaca bening melapisi mataku. Sekejap kemudian pipiku telah basah. Air jernih itu kini mengungkap kepedihan hatiku, meraba pori-pori pipi seakan menyampaikan sembilu. Aku menangis tanpa isakan. Aku menangis tanpa suara. Kutatap wajah Ainun yang tampak sendu itu. Kubiarkan dia menikmati mataku yang memerah.

“Sya, kamu percaya pada Allah, ‘kan?” tanyanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Kamu percaya pada janji Allah, Sya? Kamu percaya takdir Allah adalah yang terbaik? Apa kamu percaya semua itu, Sya?”

“Jika kamu percaya, jangan pernah putus asa dari rahmat-Nya, Sya. Dia menyayangimu. Mungkin akan banyak keburukan jika Dia memberimu apa yang kamu inginkan itu, Sya. Sya, ingatlah! Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.”

Lagi-lagi aku hanya bungkam. Ainun tak memberiku celah untuk membantah meski sedikit saja.

“Sya, katakan padaku seberapa yakin kamu bahwa kamu tak pernah melakukan kesalahan dalam memperjuangkan mimpimu itu? Seberapa yakin kamu bahwa perjuanganmu itu pantas untuk hasil yang kamu inginkan? Seberapa yakin kamu bahwa setiap yang kamu lakukan itu benar? Katakan, Sya. Katakan sekarang.”

Aku menatapnya tak percaya. Apa dia baru saja mengatakan bahwa aku telah salah dalam perjuangan ini. Selama ini aku berpikir bahwa dia mengerti perjuangan yang telah kulakukan. Namun, hari ini, bolehkah aku mengatakan bahwa dia tak jauh berbeda dari orang-orang di luar sana?

“Nun, kamu mempertanyakan seberapa yakin aku pada perjuanganku? Begitukah? Kamu tidak paham dengan perjuanganku selama ini, Nun? Apa waktu dua tahun itu menurutmu bukan sebuah persiapan yang matang untuk sebuah kemenangan? Apakah berlatih setiap hari itu bukan sebuah perjuangan? Apakah memusingkan kepala dengan Undang-Undang Dasar dan lainnya itu masih juga membuatku belum pantas untuk menang? Apa waktu selama itu masih tak cukup untuk memperoleh sebuah kemenangan, Nun? Dua tahun, Nun, aku mengabaikan kicauan orang-orang di luar sana. Dua tahun pula aku menyiapkan diri untuk perlombaan itu. Tapi semua itu sia-sia. Semuanya hanya menyakitiku. Dan, kamu berpikir dalam semua itu terdapat kesalahan? Aku berpikir kamu paham akan diriku, Nun. Tapi ternyata aku salah.”

Aku tak sanggup lagi menatap wajahnya. Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Bahkan aku baru sadar bahwa kelas kami sedang jam kosong. Dan, aku juga baru sadar bahwa kami menjadi pusat perhatian sejak tadi.

“Lantas, apakah cukup waktu dua tahun itu menjadi alasan kamu mengatakan bahwa Allah itu tidak adil? Kurasa kamu masih ingat bahwa kamu pernah mengatakan padaku bahwa Allah itu tidak adil. Sungguh, Sya, itu adalah hal paling salah dan hal paling bodoh yang pernah kudengar darimu.”

“Bukankah memang begitu?”

“Aku tak habis pikir bagaimana cara kamu berpikir, Sya. Hari ini kukatakan padamu, Sya. Apa pun yang Allah berikan pasti ada alasannya. Pikirkan baik-baik, Sya, apa kesalahanmu hingga Allah tak memberikan apa yang kamu perjuangkan. Pikirkan dengan baik apa pantas kamu mengatakan bahwa Allah itu tidak adil. Aku akan meninggalkanmu sejenak, Sya. Setelah kamu selesai dan berhasil menemukan jawabanmu, kita akan bicara lagi. Namun, sebelum kamu menemukannya, kita tidak akan bicara. Aku tidak mau kamu seperti ini, Sya. Kamu sahabatku dan aku tahu kamu akan menemukan kesalahanmu.”

Ainun berjalan meninggalkanku yang terperangah mendengar perkatannya. Dia meninggalkanku? Benarkah? Aku tidak sedang bermimpi, ‘kan? Aku memandangnya yang semakin menjauh. Kurasa lukaku semakin menganga saat ini. Tak cukup dengan mimpi yang sudah hancur, kini sahabatku juga sudah pergi meninggalkanku.

***

Sudah satu minggu aku tak berbicara dengan Ainun. Sudah seminggu pula aku memikirkan apa yang dia katakan. Dan, sudah satu minggu pula aku mengingat kembali apa yang terjadi dari awal hingga akhir.

Hari ini, aku paham apa yang Ainun maksud. Sungguh, aku malu pada diriku sendiri. Aku malu pada Allah. Dan, aku juga malu pada Ainun. Dia benar, tak seharusnya aku mengatakan bahwa Allah iu tidak adil. Aku merasa menjadi makhluk paling hina saaat ini karena telah berani mempertanyakan keadilan dan kasih sayang Allah.

Aku mengambil buku berwarna hitam yang menjadi temanku setiap hari. Jika biasanya orang-orang memiliki diari berwarna cerah atau putih, maka aku memilih yang berwarna hitam. Lalu menulisnya bagaimana? Aku menulis menggunakan pena berwarna abu-abu atau emas. Ya, memang lain dari yang lain. Dalam buku itu, aku kerap kali menulis puisi-puisi yang mewakili isi hatiku. Seperti yang kulakukan saat ini. Menuliskan sebuah puisi kontemporer berjenis Haibun.

Tuhan, Aku Ingin Pulang

Terpampang, jalan nan menyimpang merayu, tampakkan angan-angan penuh kenistaan, meraba sudut-sudut kalbu melawan iman. Sungguh cerdik setan merangkul tangan-tangan bimbang, tak mampu menjauh dari godaan berhadiah jahanam. Telah rusak hati berpoles intan, tertancap emas-emas kehancuran. Akhirat ‘kan datang, takkan sanggup menahan kebenaran dalam ingatan.

Malam gulita
Mega menggumpal kelam
Tersekat angan

Memilah kadang sulit dilakukan, tak semudah merangkai diksi berlebihan. Terkoyak ingatan sejak belasan tahun silam, kebodohan tak pernah terbayangkan. Kaki menapaki jalan nan janjikan buaian angan, kufur sudah jiwa dari nikmat Tuhan. Sedikit ujian lantas mengalihkan, hilangkan syukur nan tak lagi bisa kusenandungkan. Tangan terulur pada rangkaian firman Tuhan, Ar Rahman terbentang menatap mata, meraba batu nan membeku dalam lara. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?” Terdiam. Seribu kata hilang, menguap bersama embun penyesalan.

Embun menguap
Batu terkikis pelan
Sesal menentang

Kulepas setiap sekat nan mengikat. Berderai sudah tangis sesal tanpa isak, menggema sudah teriakan hati terpenjara perih. Lama tak jumpa, seakan bagian putih jiwa mulai meraih kemenangan. Kutatap burung-burung terbang bebas di cakrawala biru. “Akankah diampuni?” Kembali dada terkoyak berlapis sembilu. Pantas sudah kalah kusandang. Harapan terbesar tak tertancap pada Tuhan, kala itu terbias pada pengalaman insan. Sakit. Perih. Keringat mengucur melepas angan lalu, kugenggam luka akibat kufurnya jiwa, semoga menjadi alarm penjaga atma. Aku ingin kembali, dipeluk Kekasih nan pernah lepas karena mimpi, dirayu bumbu manis nan pernah memudar akibat eksistensi. “Tuhan, aku ingin pulang.”

Bayu bertiup
Jangkrik berlagu sopan
Dekaplah, Tuhan

Tak puas sampai di situ, aku juga menulis sebuah sajak bebas. Ah, entahlah. Aku benar-benar ingin melepaskan semuanya dalam puisi-puisiku.

Secawan Tangis

Sejenak mendekap sunyi
Diam menatap kabut di langit siang tadi
Kucoba menjamah perihnya sembilu
Lantas waktu bergerak merampas gurat ayu

Kunang-kunang berpendar dalam temaram
Lintah menggigit kulit ari
Sepi meraung menggenggam jemari
Terkulai tubuh sebab ambisi

Tampak samar
Pepohonan rindang nan lindungi sukma
Terkias dalam daun kecokelatan
Merampas keindahan

Sekilas tangis mengaum
Betapa perih luka tanpa arti
Tanpa secawan penawar rintih
Tanpa segelas pereda tangis

***

Keesokan harinya kondisiku sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Hari ini aku juga datang ke sekolah lebih pagi. Aku ingin menunggu Ainun dan berbicara dengannya. Aku menunggunya di depan kelas yang langsung mengarah pada gerbang sekolah.

Aku memicingkan mataku, memastikan bahwa siswa yang kulihat itu benar-benar Ainun. Dan, benar, itu dia. Aku tersenyum ke arahnya. Kulihat dia juga tersenyum. Ainun memang orang yang sangat peka. Aku yakin saat ini dia sudah tahu bahwa aku sudah menemukan jawabanku.

Aku melihat dia mempercepat langkahnya. Lengkungan kecil tak henti-hentinya terbit di bibir ranum itu. Ah, dia terlihat sangat cantik. Dia benar-benar ciptaan Allah yang sangat dekat dengan kata sempurna.

“Terima kasih, Ainun. Terima kasih banyak. Kamu benar. Tak seharusnya aku mempertanyakan keadilan Allah. Aku sudah menemukan kesalahanku, Nun. Sungguh, aku merasa seperti makhluk yang paling hina.”

“Kamu sudah menemukannya? Sungguh?”

Aku tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Kulihat dia juga tersenyum. Senyuman itu sangat tulus dan manis. Kurasa dia benar-benar bahagia saat aku menemukan jawabanku.

“Katakan padaku apa kesalahanmu?”

“Nun, aku pernah mendengar bahwa hal paling menyakitkan dan mengecewakan di dunia ini adalah bergantung pada ciptaan-Nya, terlalu berharap dan percaya pada manusia sehingga lupa bahwa sebenarnya tempat bergantung dan berharap itu cuma satu. Dan, itu adalah Allah. Aku pantas mendapatkan kekalahan ini, Nun. Bahkan seharusnya aku bersyukur karena Allah masih mau mengingatkanku pada-Nya. Dia masih mau membawaku kembali ke jalan-Nya.”

“Alhamdulillah, kamu sudah menemukan kesalahanmu, Sya. Mulai sekarang lupakan semua itu dan jadikan pelajaran saja. Kamu harus memulai memintal mimpi baru. Aku yakin kamu pasti bisa mendapatkan apa yang lebih baik lagi. Aku sangat yakin, Sya.”

***

Aku menatap Sonya yang bungkam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca. Aku tak tahu dia kenapa.

“Sonya? Kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanyaku pelan seraya mengibaskan tanganku di depan matanya.

Tiba-tiba dia memelukku. Aku yang kebingungan hanya mampu membalas pelukkannya. Ia terus saja mengutarakan maaf.

“Sonya, tenanglah. Ada apa? Kenapa minta maaf?”

“Kamu benar, patah hatiku hanya sepersekian dari patah hatimu. Dan, kamu juga benar, aku tak harus menangis seperti ini gara-gara laki-laki itu. Aku sungguh bodoh, Sya.”

“Sudahlah, semuanya juga sudah terjadi. Sekarang lebih baik kita memperbaiki diri kita saja, Sonya.”

Aku benar-benar merindukan Ainun saat ini. Dia pasti menjadi mahasiswa terbaik di kampusnya. Jika dia bersamaku dan Sonya hari ini, dia pasti akan mengoceh pada Sonya sampai Sonya berhenti menangis gara-gara laki-laki. (*)

 

Vianda Alshafaq, wanita yang lahir delapan belas tahun silam di Agam, salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Wanita yang sangat menyukai dunia pena bisa dihubungi melalui akun berikut.
Email: viandaalshafaq@gmail.com
Facebook: Vianda Alshafaq
Instagram: @vianda_alshafaq

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata