Rumah Tangga yang Sempurna
Oleh: Lutfi Rose
Brak!
Suara barang dibanting terdengar dari dapur. Seorang wanita muda mengenakan daster bunga-bunga dengan rambut dikucir asal-asalan sedang mencuci peralatan makan: piring, gelas, sendok, garbu dan beberapa macam yang lain. Wajahnya muram, bibirnya maju dua senti dan matanya tampak berkaca-kaca.
“Kukira semua seperti janjinya, aku akan bantu kamu, Sayang … jangan sampai ini tangan halus jadi kasar. Duh … rambutmu yang bagus ini, harus selalu dirawat ya …. Pret! Sekarang mana sempat merawat rambut, mau pakai baju bersih dikit saja sudah cemong digandolin bocah. Terus kerjaan seabrek, santai saja dia, ditinggal keluar entah ke mana. Dasar! Janji di mulut doang!” cerocos wanita itu dengan tangannya terus mengusap spon penuh busa pada semua perkakas rumah tangga. Sesekali dia mengusap peluh yang mulai merangkak menuruni dahinya yang putih kepucatan dengan punggung tangan kanannya.
“Mama … Mama … Mik! Mik!” Gadis kecil berusia dua tahunan menarik-narik daster wanita itu sambil menyodorkan sebuah cangkir plastik putih bermoncong di bagian atas. Dia mengetak-ngetipkan mata bulatnya, menyungging senyum penuh harapan pada wanita di depannya. Si wanita hanya menoleh sekilas, tetap melanjutkan pekerjaanya, tangan kirinya memberi isyarat agar si gadis kecil menyisih menjauh. Gadis kecil manyun, matanya langsung berkabut, dan … satu, dua, tiga ….
“Huwa …,” suaranya nyaring memekakan telinga. Dia meraung sekuat tenaga karena kemauannya tak terpenuhi.
Si wanita menarik napas kesal. Dengan wajah ditekuk dia mencuci tangan yang penuh busa lalu jongkok di depan gadis kecil.
“Tunggu sebentar dong, Nak. Mama masih mencuci piring. Kamu benar-benar persis papamu, gak sabaran. Terus Mama harus bagaimana kalau kamu sama Papa seperti ini?”
Wanita itu meraih cangkir plastik di tangan gadis kecil, mengambil sendok kecil lalu menuang beberapa sendok susu bubuk. Setelah memastikan air panas dan dingin dengan komposisi yang pas, diserahkannya cangkir tersebut pada gadis yang menguntit di sampingnya.
“Nih! Mana bayarannya?” kata wanita muda tersenyum.
Si gadis kecil mendekat, mencium pipi wanita yang dipaggilnya mama itu. Senyum mereka merekah, sebuah pelukan ibu dan anak yang mendamaikan sebagai penutup drama kasih sayang pagi itu.
***
Kukira menikah itu semudah makan es krim. Lembut, manis dan nikmat. Perkenalan yang cukup lama, sejak awal masuk kuliah, membuat aku merasa cukup mengenalnya. Semua keseharian yang dia lakukan aku tahu, teman bermain bahkan keluarganya aku kenal baik. Ya, mengawali hubungan dari sahabat kukira akan sangat mudah. Nyatanya waktu empat tahun tak cukup menjamin dua orang sahabat langsung klik saat meningkatkan status menjadi pasangan suami istri.
Tahun pertama semua baik-baik saja, tak banyak yang berbeda. Dia suka mancing, suka futsal, aku maklumi semua. Toh, teman-temannya hampir semua temanku juga. Masalah mulai datang ketika aku mulai hamil kala memasuki tahun kedua. Jika biasanya aku selalu sigap menyelesaikan semua urusan rumah, aku mulai terjangkit morning sickness. Setiap pagi mual, lemas, hampir tak bisa melakukan aktivitas. Aku mulai sebal dengan kegiatannya di luar kantor yang sekarang terasa menyita waktu. Rasanya seperti hamil bukan hasil kerja sama, akulah yang harus menanggung sendiri susahnya.
Rumah mulai berantakan, handuk yang biasanya selalu nangkring di tempatnya, sekarang teronggok dengan indah di samping televisi. Sepatu suamiku yang baru pulang kerja juga tergeletak tak beraturan di depan pintu. Puyeng! Nyut-nyut kepalaku melihat rumah bak kapal pecah. Namun badan benar-benar tak mau bekerja sama: lemas, letih, lunglai dan mulut rajin sekali menguap. Apalagi mata ini, seakan-akan ada lem poksi yang lengketnya kelewat kuat. Setiap aku protes, setiap itu pula dengan enteng suamiku menjawab, “Sudahlah, gak papa sesekali berantakan.”
Ketika anggota keluarga kami bertambah satu, kukira semua akan lebih mudah, setidaknya yang rewel di dalam perut sudah keluar. Ternyata semua di luar dugaan, merawat bayi tak semudah teori yang kubaca. Bagi pikiran, bagi badan, bagi perhatian, itu harus dilakukan dengan tanpa ada waktu pikir panjang. Rasanya benar-benar jadi pekerja dua puluh empat jam nonstop. Dalam tidur pun harus tetap terjaga.
Suamiku mulai dipromosikan jadi kepala divisi ketika si kecil berusia satu tahun. Dia jadi makin jarang di rumah, banyak lembur, pulang selalu malam. Datang langsung ngorok, tak sempat menyapaku yang seharian ini tak sempat istirahat. Janji yang dia ucapkan dulu, kini benar-benar hanya janji semu dan makin tak ada harapan bakal terealisasi.
Aku lelah, aku ingin menyerah. Aku sadar, setelah melahirkan badanku makin tak berbentuk, gurat-gurat di perutku persis sisik ular pasti bikin illfeel, belum lagi timbunan lemak yang tak mau ikut keluar bersama keluarnya bayi dalam perutku. Lengkaplah sudah! Muka yang tak tersentuh make-up, rambut yang acak-acakan, semua ini sudah cukup menjadi alasan dia tak betah di rumah. Dan alasannya tepat, promosi jabatan, menemui kolega, menghabiskan waktu yang katanya menemani klien baru. Haruskah aku percaya?
***
Ah! Ini meeting mengapa lama sekali. Kasihan kan istriku, sudah berbulan-bulan aku pulang selalu malam. Aku harus menjelaskan bagaimana? Aku akan mengajukan cuti akhir pekan ini. Aku akan menolak semua lembur akhir pekan, apa pun alasannya.
Pak Direktur tak tahu saja, kalau promosi ini tak begitu penting bagiku. Buat apa coba bekerja keras tak tahu waktu, hingga tak sempat bercengkerama dengan anak istri. Rugi benar hidupku.
Mungkin perlu juga meminta dia istirahat. Besok aku akan coba hubungi Bulek—adik ibu—untuk titip si cantik barang sehari saja, biar istriku pergi ke salon sebentar. Kasihan penampilannya sampai mirip pembantu rumah tangga sebelah rumah saja.
“Pak! Akhir pekan ini saya izin gak ikut lembur ya,” ucapku ketika sudah duduk di depan meja Pak Direktur.
Lelaki yang senyumnya mahal itu, mengernyitkan dahi. Mengetuk-ngetuk bolpoin di atas meja kayu. Tatapannya serius.
“Kenapa?”
“Saya ingin sejenak bersama keluarga, Pak.”
Lelaki itu diam. Dahinya kembali mengerut. Tangan kanannya melepas kacamata lalu memijat pelipisnya dengan telunjuk dan ibu jari ke arah alis. Beberapa menit aku harus menunggu dia memberi jawaban. Dalam hati aku terus berdoa, semoga pria di depanku ini dapat hidayah, lalu aku dapat libur barang seminggu.
“Baiklah! Sudah setahun ini kerja kamu bagus. Mungkin sesekali memberimu cuti akan membuatmu makin berprestasi.”
Seperti disiram air es segalon di tengah terik mentari. Nyes!
Hampir saja aku berjingkrak kegirangan, kalau saja tak ingat aku sedang di ruang direksi.
***
Dengan penuh semangat pria itu memasuki teras rumah. Dipegangnya gagang pintu dan menariknya ke bawah. Tumben si kecil tak berlari menyambutnya. Apa karena dia belakangan ini pulang malam, saat si kecil sudah tidur? Dia bergegas menuju kamar setelah meletakkan sepasang sepatunya di rak dan tas kerja di atas meja ruang tengah.
“Lho, Ma! Lagi ngapain?” Mata pria itu melotot kaget, melihat anak istrinya sudah rapi dan seperti siap bepergian jauh serta dua koper besar berdiri di depan lemari pakaian.
“Aku mau pulang ke Klaten, Pa. Cita ikut aku.”
“Bapak sakit? Atau Ibu? Kenapa mendadak sekali?”
“Gak! Gak ada apa-apa. Mama hanya ingin istirahat. Jadi Papa bisa fokus sama pekerjaan,” ulas si perempuan dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Wah! Kebetulan, Ma. Papa ikut ya. Kita sekalian liburan. Papa sudah mengajukan cuti, lho, dan di-acc.”
Si pria melonggarkan dasinya. Melepas satu per satu kancing kemejanya, melepas dan menukarnya dengan kaus oblong yang tergantung di belakang pintu.
“Maksud, Papa?”
“Iya, Sayang. Setahun ini aku terlalu sibuk. Makanya mungkin Mama dan Cita terabaikan. Rencananya aku mau minta Bulek ke sini buat gantiin Mama momong, biar Mama libur barang sehari. Kalau kita ke Klaten, ya kebetulan, di sana kan banyak yang bakal bantuin momong. Jadi gak perlu minta Bulek segala.”
“Maksud, Papa?”
Pria itu mendekati istrinya. Memegang kedua bahunya sambil menatap lurus wajahnya. Dia memang sudah lama tak sempat menatap wajah itu. Wajah yang dulu membuatnya terpesona pada pandangan pertama.
“Maafkan Papa, ya.” Sebuah kecupan mendarat di kening.
“Mama yang minta maaf ….” Bulir bening perlahan keluar dari kedua mata wanita itu, kemudian tersedu dalam pelukan suaminya.
“Papa … Papa ….” Cita menaiki dipan di samping mereka dan menyusup di antara pelukan keduanya.
“Kita gak jadi ke Klaten ya, Cita. Di rumah saja asal ada Papa,” ucap si wanita.
“Lho, kok?” Si pria heran sambil memandang kedua kesayangan di hadapannya. (*)
Lutfi Rose. Seorang ibu yang tak kan pernah mau bersahabat dengan rasa malas. Semua pasti bisa dilakukan meski perlahan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata