Setengah Abad dalam Rahasia
Oleh: Nurul Istiawati
Sebelah Barat Taman Tabebuya, Februari yang basah, dan senja yang hampir purna.
“Jadi, kapan aku mati, Shafina?” tanyaku.
“Apa maksudmu?”
“Kurasa seseorang sedang menantikan kematianku.”
Shafina menghela napas panjang. “Tak perlu memikirkan sesuatu yang pasti datang. Hari ini sidang perceraian putra bungsu kita. Kau ingat, bukan?”
Ah, lihatlah caranya mengubah arah pembicaraan ini.
Dia menutup buku bersampul biru yang telah berulang kali dibacanya. Buku berjudul Shanaldi karya Antonio Renaldi tak pernah ia tinggalkan. Aku tak diizinkan menyentuh buku itu meski berulang kali kucoba membujuknya. Sejak dulu, aku curiga Shafina menyembunyikan sesuatu dalam buku tersebut. Namun segera kutepis prasangka buruk itu dari kepala.
“Ya, aku ingat. Entahlah, Shafina. Mungkin putra kita tak mewarisi seni dalam pernikahan dari kita.”
Shafina mengernyitkan dahi ketika mendengar kalimatku sebelum akhirnya tertawa kecil.
“Apa maksudmu pernikahan sekadar untuk bersenang-senang?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Bukan. Bukan itu maksudku, Shafina. Seni tak hanya tentang kesenangan. Cinta dan kesetiaan adalah seni dalam pernikahan, kau tahu itu. Seharusnya dia mewarisinya.”
“Kau tak jenuh-jenuhnya membicarakan cinta. Padahal usiamu lebih tua dari senja.”
“Kupikir, aku telah melewati semua fase sepasang manusia yang saling jatuh cinta. Aku menikah denganmu, punya anak, bahkan sudah punya cucu. Seharusnya aku tak perlu jatuh hati lagi kepadamu.”
Shafina terdiam. Matanya menerawang langit seolah-olah di atas sana lembaran kenanganku dengannya tengah berhamburan.
“Kenapa sampai sekarang aku masih tergila-gila padamu? Hampir setengah abad kulewati hari denganmu, Shafina. Kita saling berbagi fajar dan malam, berbagi ranjang dan selimut, berbagi semua yang kita punya—handuk, sabun, sikat gigi, piring, sendok, garpu. Selama itu aku tak pernah bosan. Setengah abad aku bersamamu. Aku telah mencicipi semua jenis masakanmu. Mulai dari masakan buatanmu yang bercita rasa tinggi sampai masakanmu yang rasanya … entahlah, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Ribuan pertengkaran, teriakan, tangisan, pecahan gelas yang mengundang tetangga telah kita lalui. Namun kita tidak sampai bercerai. Bahkan setelah pertarungan hebat kita, justru aku semakin jatuh cinta kepadamu. Bukankah ini keajaiban, Shafina? Seharusnya cinta kita ikut memudar seiring semakin tuanya usia kita.”
Usiaku 70 tahun sedangkan Shafina 3 tahun lebih muda dariku. Bertahan selama setengah abad dalam ikatan suci pernikahan adalah keajaiban, setidaknya bagiku.
“Memang cinta itu tak masuk akal.”
“Ya, memang benar. Namun ketahuilah, Shafina, tak sedikit pun bagian dari cintaku yang mulai pudar. Utuh, meskipun kau tak secantik dulu. Ya, meski kutahu, kau sudah tua, renta pula.”
Mata Shafina mendelik. Aku tertawa kecil menatapnya.
“Musim mekarnya keromantisan kita, seharusnya telah berakhir. Lalu apa kau tak mencoba berselingkuh dariku?”
Aku terbatuk mendengarnya. “Sudah kucoba, Shafina. Sudah. Sewaktu aku masih segar dulu, aku sering melirik perempuan lain. Bahkan berkenalan dengan mereka. Aku pernah mengelana ke kelab malam, tempat karaoke, dan kafe. Tetapi semua itu hanya sebentar, Shafina. Bayanganmu selalu memenuhi kepalaku ketika aku bersama wanita lain. Wangi tubuhmu selalu tercium. Itu membuatku menjadi sangat mudah merindukanmu. Aku ingin segera pulang untuk memelukmu.”
Aku menarik tubuh Shafina serapat mungkin, mengingat udara semakin beku menjelang senja usai. Tangan kananku merangkul pundaknya. Tak ada celah di antara kami. Takkan kubiarkan angin memasuki sela-sela. Aku takut angin akan membawa cinta Shafina pergi. Terbang jauh.
Aku membisikkan sesuatu padanya, “Kau tahu, sejak kejadian puluhan tahun lalu di bulan Januari, hingga kini aku tak memiliki niat untuk mengkhianatimu.”
***
Puluhan tahun lalu, Januari yang merona, dan senja yang masih segar.
Shafina tertawa cekikikan. Aku menurunkan telapak tangan yang menutup mata. Kini mataku melayang ke arah tawanya berasal.
“Ketemu!” Aku mendekap tubuh Shafina dari belakang saat menemukan dirinya bersembunyi di balik tirai.
Ia masih tertawa dan berusaha meronta agar aku melepas pelukan. Aku membopong tubuh ringannya kemudian melemparnya lembut ke ranjang. Kami berbaring bersebelahan, Shafina menoleh ke arahku.
“Kenapa kau selalu bisa menemukanku?” tanyanya.
Aku mencubit pipi Shafina. “Karena aku hafal betul wangi tubuh istriku.”
“Kalau aku bersembunyi sangat jauh, apa kau masih bisa menemukanku?”
“Di mana pun dirimu.” Aku tersenyum.
“Sebab aku mencintaimu dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Saat kau mencintai dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, kau tak membutuhkan indra apa pun untuk menemukannya,” lanjutku.
Shafina mengangkat kepalanya ke bahuku. Kemudian terlelap saat cahaya rembulan menembus jendela kamar ini. Aku menatap wajahnya yang disepuh cahaya itu bersama semilir angin yang menggelitik di telinga. Aku menikmatinya di setiap detik bergulir dengan memandangi wajah istriku dan bersenandung bersama desir angin.
Suara gaduh dari dapur membangunkanku. Shafina selalu bangun sepagi ini memulai hari dengan membereskan kamar dan memasak sarapan. Biasanya, aroma masakan Shafina selalu tercium sampai ke penjuru ruangan. Tetapi aneh, hari ini tak sedikit pun tercium aromanya.
Aku menghampirinya lalu merengkuh pinggangnya dari belakang. Kukecup ujung kepala Shafina.
“Masak apa?” tanyaku lalu mencium lehernya.
Bahkan saat aku mencium lehernya, aku tak bisa menghirup wangi tubuhnya. Aku mendekat ke kuali mencoba menghirup aroma masakannya. Tetapi sia-sia, aku tak bisa merasakan aroma apa pun.
“Shafina, kenapa tak ada aroma apa pun pada masakanmu?”
Shafina mendekatkan piring berisi makanan ke hadapanku. Asapnya mengepul, masih hangat, seharusnya makanan itu beraroma. Namun, tak tercium apa pun! Aku mulai panik. Lalu kulihat Shafina menatapku dengan gelisah.
Kami pergi ke dokter untuk memastikan apa yang terjadi pada indra penciumanku.
“Jangan khawatir, kata dokter kau akan baik-baik saja. Beberapa hari lagi mungkin sembuh. Ini hanya alergi, Kak,” ucap Shafina.
Tentu saja ini tidak baik-baik saja. Bagaimana aku bisa melewati beberapa hari ke depan tanpa mencium wangi tubuh istriku? Aku akan sangat merindukan itu.
“Shafina, berhentilah memanggilku kakak. Kita sepasang suami istri,” tegurku.
“Itu adalah wujud rasa hormatku padamu.”
“Apakah rasa hormat termasuk bagian dari besarnya cintamu padaku, Shafina?”
Sejenak Shafina terdiam. Bibirnya bergetar. “Iya.”
Tiba-tiba semuanya berubah menjadi sunyi. Tak ada suara apa pun. Kulihat bibir Shafina bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Aku tak bisa mendengar!
Aku memanggil Shafina dengan lantang, suaraku juga sama sekali tak terdengar. Shafina menutup telinga dan mengatakan sesuatu berulang kali. Dengan susah payah, aku memperhatikan gerak bibirnya hingga bisa benar-benar memahami apa yang ia katakan.
“Bicara pelan-pelan, Kak! Aku mendengarmu.”
Mungkin seperti itulah yang Shafina katakan. Lututku lemas dan tenggorokanku tercekat. Seketika aku diam kemudian saat itu pula Shafina menghambur ke dalam pelukanku. Sunyi.
Dalam sehari, aku kehilangan dua indraku. Ini seperti kehilangan bagian penting dari hidup. Tak bisa mencium wangi Shafina sekaligus tak dapat mendengar suaranya.
Di tepi ranjang aku termenung. Shafina mendekat lalu duduk di sampingku, menyandarkan kepalanya di pundak. Lewat binar matanya, dia menyemangatiku. Aku tersenyum sebagai ucapan terima kasih dan maaf karena telah menyakiti telinganya pagi tadi.
Malam ini, kami tidur dengan saling bergenggaman tangan. Aku mencium keningnya. Shafina mengusap pipiku berusaha menguatkanku. Kulihat, air matanya menetes, tetapi isaknya tak terdengar. Aku tahu, ia sangat takut, begitu juga denganku. Itulah mengapa kami saling menggenggam.
Aku terjaga. Selain sunyi, ruangan ini juga gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang terlihat. Kupikir ini masih larut malam dan listrik padam, ternyata tidak.
Aku mengucek mata berkali-kali. Menutup lalu membukanya kembali. Dan pandangan ini tetap saja gelap. Aku yakin, hari sudah pagi sebab kurasakan tubuh Shafina beranjak, kemudian kugenggam tangannya.
Kenapa semuanya gelap, Shafina?
Aku tak bisa melihat!
Aku sudah menduga hal ini akan terjadi padaku. Kini, aku benar-benar kehilangan bagian paling penting dalam hidupku … melihat wajah Shafina.
Shafina menuntunku ke ruang makan. Ia menyuapiku dengan tangannya sedikit demi sedikit. Hambar, sunyi, dan gelap. Hanya itu yang dapat kurasa. Hanya itu.
Tanganku meraba sofa, tadi Shafina duduk di sini. Tetapi sekarang entah menghilang ke mana. Aku mencari Shafina. Meraba-raba tembok.
Tak tahu arah. Aku mematung cukup lama. Sendiri, sunyi, dan gelap gulita.
Kemudian kurasakan detak jantung yang tak asing lagi bagiku. Berdegup. Semakin lama semakin nyata detaknya.
Aku memutar badan ke arah detak jantung itu. Detaknya semakin nyata. Dan aku yakin itu … detak jantung Shafina.
Tanganku terus meraba-raba. Lalu kutarik tubuhnya, kudekap erat-erat. Bahu Shafina berguncang. Dadaku mulai basah oleh air matanya.
Aku membelai rambutnya. “Sudah kubilang, aku tak memerlukan indra apa pun untuk menemukanmu, Shafina.”
Dua tahun aku kehilangan indra. Shafina tetap setia menemani dan merawatku hingga aku sembuh. Penglihatan, pendengaran, dan penciumanku kembali normal.
“Terima kasih, Shafina. Kau telah menemaniku di saat-saat tersulit.”
***
Pemakaman, Maret yang sendu, dan senja yang murung.
Tubuhku bergetar, perlahan tanganku bergerak. Menyusuri lekuk gundukan tanah di hadapanku. Dadaku sesak ketika menabur bebungaan di atas gundukan itu. Kupandangi nisan bagian kepala lalu membisikkan sesuatu di sana. Kupelankan suara tatkala membendung air yang hampir melabrak kelopak mata.
“Kupikir, aku masih punya banyak waktu untuk mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Tetapi aku salah. Kau pergi terlalu cepat, Shafina. Terima kasih untuk setengah abad yang berharga ini.”
Badanku kembali bergetar. Kali ini lebih hebat. Mataku mulai basah. Aku menangis. Tetapi hanya tangisan lirih yang hampir tak terdengar di antara angin senja yang cukup kencang.
Aku mengangkat kepala, terdiam beberapa saat untuk mengatur napas. Perlahan terdengar langkah kaki. Sayup-sayup seorang pria sedang bicara. Aku menoleh. Pria itu terlihat seusia denganku.
“Aku turut sedih atas kematian Shafina,” ucapnya.
Pria itu mengusap ujung matanya. “Aku ingin menyampaikan pesan terakhir Shafina sebelum ia meninggal.”
“Apa?”
“Shafina ingin agar di hari kematiannya, semua rahasianya dibongkar.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Selama ini, Shafina bersandiwara. Ia berpura-pura mencintaimu. Tak ada rasa cinta di hatinya untukmu. Dia hanya menghormatimu karena kau telah menyelamatkan keluarganya dari lilitan utang. Itulah sebabnya Shafina selalu memanggilmu kakak.”
Aku terdiam. Mematung cukup lama. Aku teringat, Shafina memang tak pernah memanggilku dengan panggilan sayang—selayaknya suami istri. Bibir Shafina selalu bergetar saat kutanya perihal cintanya padaku. Aku menduga-duga bahwa bibirnya bergetar adalah tanda ia berdusta. Benar! Selama ini Shafina berbohong.
“Lalu siapa pria yang dicintai Shafina?” tanyaku.
“Aku, Antonio Renaldi. Aku menulis buku Shanaldi sebagai bukti cintaku pada Shafina. Namun kemudian kau datang menyelamatkan keluarganya dari cekikan utang. Kau meyakinkan orangtuanya untuk menikahi Shafina. Karena dirimu, aku tak bisa bersama dengannya. Dia masih menyimpan buku itu, bukan? Itu adalah caranya mencintaiku. Shafina lebih mencintaiku dibanding dirimu. Anggap saja ia menemani masa sulitmu atas dasar rasa kasihan,” jawabnya lantas berlalu pergi.
Kata-kata pria itu sangat keras menamparku. Mendengar hal itu, kurasakan ada bagian dari tubuhku yang remuk, di sebelah dada tepatnya. Jantungku kebas karena kegetiran yang ia katakan. Lututku ngilu dan badanku lemas. Kepahitan telah mendera batinku. Barangkali inilah yang namanya sakit, tetapi tak berdarah.
Aku membalikkan badan menatap kembali nisan Shafina. Mataku kembali basah. Kenyataannya, setengah abad ini aku hidup di bawah sandiwara dan belas kasihan Shafina. Bukan cinta. Biar kuulangi lagi, di bawah sandiwara dan belas kasihan Shafina, bukan cinta!
Aku bangkit hendak pergi. Tetapi langkahku terhenti sebab mendengar suara di sekitar sini. Aku celingukan mencari arah suara itu. Kemudian kutengadahkan wajah ke langit, kupejamkan mata. Ya, suaranya berasal dari atas sana. Dan itu seperti … suara Shafina.
Maaf karena aku telah berpura-pura selama ini.
Aku kembali menunduk. “Bahkan sebelum Antonio datang ke sini, aku sudah menduga itu. Tapi, tidak apa-apa, Shafina. Sungguh … tidak apa-apa.” [*]
Pemalang, 24 Februari 2019
Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobi mendengarkan musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata