Koin Jailangkung

Koin Jailangkung

Koin Jailangkung
Oleh: Eda Erfauzan

Awalnya adalah Lies yang mengenalkan permainan itu dan Ning terlihat tak tertarik. Pikirnya, itu hanya akal-akalan Lies untuk melepas suntuk selesai tes.

“Mau coba, Ning?” Lies menawari.

Ning menggeleng dengan mata menatap lurus pada koin yang berputar di atas kertas. Koin itu mengitari huruf demi huruf yang tertulis di sana. Membentuk kata yang terangkai menjadi kalimat yang mudah dipahami.

“Permainan apa ini, Lies?” tanya Fida tak dapat menyembunyikan rasa ingin tahu.

“Jailangkung.”

“Jailangkung?”

“Itu kan mainan pakai boneka yang sudah diberi mantra, waktu mainnya juga hanya saat bulan purnama.” Kali ini Indah yang bersuara.

“Habis apa, dong? Mau dibilang panggil arwah? Ntar pada serem.”

“Lies, udahan, nih. Gimana mengembalikannya?” Dewi yang sejak awal asyik bertanya macam-macam layaknya konsultasi dengan paranormal mencoba menghentikan koin yang berputar di tangannya.

“Pejamkan mata, konsentrasi. Bilang Jailangkung sudah waktunya pulang dan lepas koinnya, Wi.”

Dewi melakukan apa yang dikatakan Lies. Putaran koin itu melemah kemudian berhenti pada lingkaran bertuliskan rumah. Dewi menarik napas, lega.

Ning menatap heran, bagaimana mungkin teman-temannya dapat memanggil arwah dan memasukkannya dalam koin yang kemudian akan bergerak, berputar, merangkai huruf-huruf yang telah disiapkan menjadi kata dan kalimat yang mudah dipahami? Naluri ingin tahu Ning tergelitik. Jika mereka bisa kenapa aku tidak?

Lies tampak sedang mulai lagi. Kali ini pasangan bermainnya Indah. Kedua gadis itu memejamkan mata dengan mulut komar-kamit. Ning mengikuti setiap gerak Lies dengan penuh minat.

“Jailangkung, Jailangkung datanglah. Jailangkung, mainlah bersama kami.”

Lies dan Indah mengulang kalimat itu berkali-kali dan ajaib koin yang berada dalam lingkaran bergerak, pelan dan mulai berputar.

“Kami main dengan siapa?” tanya Lies.

Koin itu berputar, sejenak berhenti pada huruf N, A, R dan A.

“Nara? Saya Lies dan yang di depan saya, Indah.” Lies mengenalkan diri pada sesuatu yang tak tampak, tetapi terasa kehadirannya.

“Nara, mau main dengan kami?”

Koin itu berputar mengitari huruf Y dan A. Itu berarti permainan sudah dimulai.

“Mau? Terima kasih, Nara. Sekarang Indah punya banyak pertanyaan yang harus Nara jawab. Ayo, Ndah!”

Indah tampak bingung. Rasanya aneh bertanya pada koin.

“Tanyain tentang Igun aja, Ndah,” Fida memberi usul.

“Igun, sudah punya pacar apa belum?” Fida kembali bersuara.

Koin berputar merangkai lima huruf menjadi kata sudah.

“Siapa pacarnya Igun, Ra?”

Koin membuat gerakan melingkar di huruf I, N dan A.

“Ina? Indah kali?” Dewi ikut bersuara sembari menyikut Fida yang tengah menatap Indah.

Indah merasa dadanya gemuruh.

“Indah yang duduk di depan saya pacarnya Igun, Ra.” Lies menjelaskan pada sesuatu yang tengah menguasai koin.

Koin kembali berputar, melingkari huruf dan membentuk kata bukan. Berputar kembali membentuk kata Ina. Lies menatap Indah.

“Ina mantannya Igun,” jawab Indah pelan.

“Kok, bener, ya? Tanya lagi, Ndah!” Dewi tampak bersemangat dari awal gadis itu memang terlihat percaya jika permainan ini serius dan info dari alam gaib itu layak mendapat perhatian. Dewi merasa semua jawaban yang telah didapatnya persis seperti apa yang dialami.

“Igun suka enggak sama Indah?”

“Suka? Hm … sayang enggak?”

“Enggak? Enggak sayang Indah? Terus sayangnya sama siapa?”

“Ina? Igun sayang Ina? Ina teman Igun yang satu kompleks?”

“Bukan. Oh, teman SMA. Mereka bakal jadi sampai menikah enggak?”

Indah mulai terlihat resah apalagi ketika koin itu kembali berputar membentuk kata ‘ya’.

“Pertanyaannya ganti, deh. Kasihan, entar Indah enggak bisa tidur lagi,” ujar Lies menyadari wajah sendu Indah.

“Udah, enggak usah dipikirin, Ndah. Ini kan cuma main-main.”

“Buatmu mungkin, Da. Tetapi Igun beneran pernah punya pacar, namanya Ina, teman SMA-nya. Berarti bener, kan?” Indah ngotot.

“Ini kan kayak sugesti jadinya, bisa benar kalo diyakini, bisa juga keliru kalo kita enggak terbawa terlalu dalam.” Fida menatap Indah. Masa sih, hanya karena hal ini Indah jadi ribut sama Igun?

“Lies, emang enggak berbahaya main seperti ini? Gimana kalo sesuatu yang udah dipanggil itu enggak mau balik ke dunianya?”

“Balik ke kitanya juga, Wi. Kalo enggak menahan mereka terlalu lama, enggak akan terjadi apa-apa. Makanya kalo main usahain enggak sendiri, supaya jika terjadi sesuatu ada yang nolong. Paling enggak ada yang ngebimbing untuk mengingat Tuhan.”

“Memang, pernah kejadian?” Fida merinding.

“Pernah,” Lies menjawab datar seraya menatap wajah temannya satu per satu.

Ning melempar buku yang tengah dibacanya. Gadis itu merasa kejenuhan begitu pekat menyelimuti. Ia melangkah ke kamar sebelah, tempat indekosnya adalah rumah petak yang dibagi menjadi tiga kamar. Kamarnya paling depan bersama Dewi, kamar tengah Fida dengan Ayu dan kamar terakhir Indah dan Lies.

Ayu dan Fida tampak tertelungkup di atas buku. Kasihan, niatnya baca buku malah dibaca sama buku. Ning tersenyum dan berniat kembali ke kamar ketika matanya menangkap lembaran kertas dan koin yang tadi digunakan Lies. Baru disadarinya jika mereka tak sempat merapikan lagi usai permainan yang membuat Indah menangis.

Ning berjongkok, diambilnya kertas itu dan diamatinya huruf-huruf yang tercetak dalam lingkaran sebesar koin ukuran seribu rupiah. Lingkaran teratas bertulis “rumah”, letaknya tepat di tengah atas. Di bawahnya berderet angka 0 sampai 9 lalu lebih ke bawah berjajar abjad dari A sampai Z. Semuanya berada dalam lingkaran-lingkaran sebesar koin.

Ning menimang koin di tangan. Pandangannya bergant-ganti antara lembaran kertas di tangan kanan dan koin di tangan kiri. Ada dorongan kuat untuk mencoba apa yang telah dilakukan teman-temannya.

Ia menimbang sejenak. Mengingat kata pembuka yang diajar Lies, lalu kertas itu dihamparkan di depannya. Koin diletakkan tepat di tengah menutup tulisan “rumah”. Ning mengatur napas, diingatnya apa yang dilakukan Lies. Kosongkan pikiran dan panggil. Ning merasa ada yang membimbing, tubuhnya terasa ringan dan tanpa sadar disentuhnya koin itu dengan ucapan yang dilafalkan bagai mantra.

“Jailangkung, Jailangkung datanglah. Jailangkung, mainlah bersamaku.” Ning terus melafal sampai dirasa koin di tangannya bergerak pelan. Udara dingin mendadak terasa menyungkup kamar.

Seperti dilakukan Lies, Ning pun bertanya nama, umur, dan penyebab kematian. Tamu pertama Ning adalah seorang anak bernama Ho, umur delapan tahun, dan meninggal karena tenggelam di sungai. Mereka bercakap-cakap lewat putaran koin yang bergerak melingkari huruf dan Ning merangkainya menjadi kata dan kalimat yang ia pahami. Puas dengan Ho, Ning mengembalikannya.

“Jailangkung, pulanglah. Pesta telah usai.” Koin itu pun melemah kemudian berhenti berputar.

Ning belum ingin berhenti. Dicobanya lagi proses pemanggilan dan ketika koin itu bergerak ada rasa senang yang Ning tak mengerti. Ia semakin tenggelam, semua hal yang terasa mengganggu dan membuatnya tak nyaman tanpa malu dan ragu diceritakan serta ditanyakan jawabannya pada koin itu. Padahal Ning dikenal sebagai gadis pendiam dan cenderung tertutup. Gadis itu seakan-akan lebur dalam permainan. Putaran koin dan kata hatinya seolah-olah jadi satu. Semua tanya terpendam selama ini terjawab, juga tentang asanya pada Yo—rahasia terdalam di lubuk hatinya.

Ini kali keempat Ning mulai prosesi pemanggilan. Hawa dingin yang menyungkup kamar tak lagi terasa. Ning terlena, putaran koin di tangannya mulai bergerak cepat. Ada rasa panas di ujung jarinya, tetapi Ning tak kuasa untuk menghentikan koin yang terus bergerak, mengenalkan diri tanpa ditanya lewat rangkaian huruf yang diputarinya.

“Sudah tua,” Ning membatin begitu koin berputar di atas angka 5 dan 8. Ning merasa mata dan tangannya panas ketika koin itu bergerak semakin cepat. Ujung telunjuk Ning yang menempel pada koin terasa terbakar. Jantungnya berdetak ketika menangkap rangkaian huruf-huruf yang dikitari koin.

“Jahat!”

Ning terbelalak. Koin yang berputar cepat seakan-akan lekat di jarinya lalu terbaca “kecelakaan” dan Ning seperti melihat ceceran darah merembes di antara huruf-huruf dalam lembaran kertas di depannya, membuat jarinya terasa basah. Ning ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat.

“Kau telah memanggilku. Aku tak akan kembali tanpa membawamu. Permainan ini menyakiti kami. Sekarang tengoklah, aku berada di dekatmu. Kau harus ikut dan bermain di dunia kami.”

Sebuah suara yang diiringi embusan udara dingin membuat Ning merasa kaku. Ada kengerian yang tak dapat dicairkannya. Ning menoleh karena terpaan udara dingin dari sudut kamar. Di sana, dekat lemari, ada sosok yang menyeringai menatapnya dengan mata merah. Luka-luka di tubuhnya mengeluarkan darah, membuatnya seperti tersepuh warna merah berseling bercak kehitaman.

Ning menggigil, makhluk mengerikan itu menggapainya. Ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Makhluk itu seperti memakunya lewat tatap dingin dan seringai aneh dari wajah yang nyaris tak berbentuk.

Makhluk merah itu mendekat, tangannya yang terulur menebarkan anyir dan bau busuk. Ning menatap tanpa kedip. Ketika udara dingin serasa kian membekukan dan jemari separuh hancur nyaris menyentuh lehernya, Ning memejamkan kata. Tuhanku, tolonglah hamba-Mu. Sebait doa melintas, menyapa hatinya yang sempat kosong.

Gerakan sosok menyeramkan itu terhenti. Menatap Ning dengan aneh, hawa dingin perlahan menguap. Makhluk itu mengibaskan tangan. Ning menjerit, tubuhnya seperti dilempar, melayang, dan terhempas.

Suara jeritan membangunkan Fida dan Ayu. Kedua gadis itu berpandangan, menunggu lalu seperti tersentak Fida melompat.

“Ning, Yu!” serunya dan memburu ke kamar Ning.

Fida menangkap tubuh Ning yang terhuyung. Tangan Ning masih menggenggam koin. Ayu melepaskan koin itu dengan hati-hati.

“Ning, istigfar. Ada apa?”

Fida menepuk-nepuk pipi Ning. Pandangannya menangkap kertas dan koin yang baru saja diletakkan Ayu. Fida menarik napas.

“Yu, tolong singkirkan barang itu.”

“Ning, buka matamu. Istigfar. Ikutin aku ya ….” Fida mengguncang tubuh Ning. Gadis itu membuka mata dan menatap Fida dengan tatapan kosong. “Ning …!”

Ning mengerjap. “Aku ….”

“Ikutin aku, Ning. Kamu enggak apa-apa.”

Fida menuntun Ning beristigfar. Ning mengikuti dan perlahan kesadarannya kembali.

“Da, aku takut.” Ning merangkul Fida. Gadis itu menangis dengan tubuh menggigil.

“Baca doa yang kamu bisa, Ning.” Fida menguatkan.

Sementara di sudut kamar, dekat lemari ada uap merah yang perlahan bergerak, menyusup keluar melalui jendela yang masih terbuka.

 

Eda Erfauzan, penikmat aksara, penyuka dongeng klasik dunia

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata