Surat untuk Suamiku
Oleh: Lutfi Rose
Zidni duduk terpekur di sofa ruang tamu. Perlahan dia membuka kotak yang diberikan Bude Parmi sebelum pulang sore ini.
“Ini titipan dari Asri, Zid. Kamu buka sendiri, ya. Dia hanya berpesan agar kamu membuka satu amplop setiap harinya. Dan kuharap kamu memenuhi permintaanya,” ujar Bude Parmi ketika menyerahkan kotak pada lelaki bercambang lebat dan tinggi besar itu.
Sudah tiga hari istrinya meninggalkan rumah, membiarkan anak semata wayang mereka terus bertanya, “Ke mana Bunda, Ayah?” Menjelang tidur, saat bangun tidur, bahkan saat hendak makan. Lelaki itu tidak terbiasa mengurus anaknya, semua keperluan si kecil disiapkan selalu oleh ibunya.
Zidni kembali mengarahkan pandangan pada kotak kayu di pangkuannya. Dia mulai membuka kotak berwarna cokelat itu dengan hati sedikit gusar. Saat telah terbuka, ternyata ada beberapa lembar amplop dan terdapat tulisan di setiap amplopnya. Dia mulai membuka amplop pertama di bagian paling atas yang bertuliskan dengan tinta hitam dengan tulisan tangan istrinya yang rapi.
Hari Pertama
Mas, mungkin kamu akan bertanya-tanya mengapa aku menulis surat ini. Bukan karena apa, aku hanya ingin menyampaikan apa yang tak sanggup aku sampaikan dengan mulutku.
Sering kali saat menjadi sepasang suami istri lebih sulit berbincang dibanding saat masih pacaran. Tapi tak mengapa, kariermu yang makin maju, juga kesibukanku mengurus anak mungkin cukup mempengaruhi kondisi emosi kita, hingga kerap kali setiap obrolan yang diniatkan akan baik menjadi kurang baik.
Sebenarnya ingin sekali aku mendiskusikan masalah ini bersamamu, sambil meminum teh hangat di teras rumah misalnya, atau menyesap secangkir kopi sembari menonton acara televisi yang tak jelas ceritanya. Ya! Seperti saat kita nonton bioskop dulu, yang pada akhir pemutaran kita bahkan tak tahu alur cerita yang disuguhkan, karena kita sibuk main drama sendiri. Ah! Kita nakal sekali kala itu. Apakah pernah kamu merasakan rindu masa-masa itu, Mas? Karena aku sering merindukannya.
Tanganmu sering kali nakal mencuri, menggenggam jemariku tiba-tiba. Dan aku akan dengan malu-malu menolak genggamanmu, meski sebenarnya ada rasa bahagia atas perlakuanmu.
Tak butuh waktu lama, sejak kencan pertama kita yang dadakan itu, orangtuaku langsung memintamu melamar saat melihatku kamu antar pulang terlambat di akhir pekan. Kamu terkaget tapi menyetujuinya. Untung saja orangtuamu menyambut baik permintaan keluargaku. Terima kasih untuk pertanggungjawabanmu yang luar biasa itu, Mas.
Hari Kedua
Mas, andai saja waktu bisa diputar kembali. Mungkin aku akan minta kembali menemukanmu yang berlutut di depanku sambil membuka sekotak merah berisi cincin bermata biru, seusai kita makan malam di sebuah kedai bakso di tengah kota Malang. Kala itu aku merasa bak putri nan jelita, yang dilamar sang pangeran dengan tiba-tiba. Sungguh! Aku bahagia tiada tara. Meski sehari sebelumnya aku sempat berpikir kamu terpaksa menyetujui permintaan bapakku untuk menikahiku, tetapi dengan perlakuanmu aku merasa kamu memang benar-benar mencintaiku. Aku tak pernah menyangka bahwa seorang pemuda sekalem kamu bisa melakukan hal seromantis itu.
Kamu ingat? Bagaimana seisi kantor bersorak-sorai ketika kamu menyampaikan bahwa kita akan segera menikah. Satu per satu mereka memberikan selamat pada kita. Aku bahagia, Mas. Meski berarti aku harus mengajukan surat pengunduran diri sebelum pernikahan dilangsungkan. Bagiku ini hanya sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan—mencintaimu.
Hari Ketiga
Hari ini mungkin makin banyak hal yang ingin kamu ketahui. Bagaimana bisa aku merencanakan menulis surat begini banyak untukmu? Jawabanku tetap sama, ada banyak hal yang tak bisa aku sampaikan secara langsung padamu, Mas.
Suamiku, sebenarnya aku tahu, akhir-akhir ini kamu sering jalan dengan Dinda, teman kita yang masih melajang karena patah hati saat kita menikah. Dia masih cantik, bukan? Apalagi teman sekantormu bercerita bahwa dia sekarang menjabat kepala direksi baru, menggantikan ayahnya yang ternyata adalah pemilik perusahaan rekanan tempatmu bekerja. Dia memang masih semenarik dulu, ya. Itu manusiawi, Mas. Siapa yang tak akan terkesima melihat fannya adalah seorang kaya raya dan masih tampak luar biasa. Apalagi dia mengakui masih menyimpan rasa yang selama ini tak pernah padam di hatinya. Kamu tetap menjadi pengeran impiannya.
Kondisi keuangan kita memang lumayan sulit belakangan ini. Anak kita mulai masuk Sekolah Dasar tahun lalu, terlebih sekolah yang kita pilih membutuhkan banyak dana untuk kegiatan ekstra buah hati kita. Meskipun aku sudah berusaha mengencangkan ikat pinggang, tetap saja kerap kali kita masih pusing membagi uang. Untuk aku kembali bekerja, kamu tak mengizinkan. Kamu tak tega jika si kecil tak ada yang mengantar-jemput pulang sekolah. Belum lagi urusan rumah akan terbengkalai. Kamu tak berani ambil risiko.
Saat berat seperti ini Dinda datang memberi bantuan. Sebagai atasanmu, itu wajar, tapi sebagai orang yang mencintaimu? Wajarkah?
Ya! Semua masih wajar awalnya. Hingga dia mulai menuntut imbal balik dari semua kebaikannya. Dan sebenarnya itu juga wajar, karena memang tak ada yang cuma-cuma dalam dunia ini.
Karena itu aku tak menyalahkanmu jika muncul sebuah wacana untuk berpoligami. Jika aku masih belum memberi jawaban sampai kamu baca surat ini, itu hanya karena aku ingin menguatkan hatiku dan menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Hatiku baik, niatmu baik, dan terpenting kondisi psikologis anak semata wayang kita juga baik.
Selama ini kita melalui banyak kesulitan bertiga, jadi tak adil jika kita mengambil keputusan tanpa persetujuannya. Jadi mintalah pendapatnya setelah membaca surat ini, karena saat kamu membaca surat ini restuku telah menyertaimu.
Hari Keempat
Aku rasa semua perihal yang mengganjal sudah aku sampaikan pada surat-surat sebelumnya. Ini mungkin surat terakhir yang bisa aku tulis untukmu, karena besok semua prosedur rumit akan mulai aku jalani. Aku akan sibuk selama waktu yang tidak bisa kutentukan. Mungkin juga akan ada orang yang memberitahukanmu tentang keberaadaanku atau kamu yang akan mencoba mencari keberadaanku. Tak perlu risau, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah berada di sampingmu atau … entahlah! Aku tak berhak memprediksi apa pun di luar kendaliku.
Selama aku tak di rumah, kuharap si kecil akan baik-baik saja bersamamu. Kurangi keluar malam, biasakan mengajarkannya tidur sebelum jam sembilan malam. Bacakan dongeng sesekali jika kamu senggang. Jangan sampai dia merasa terabaikan, seandainya kamu jadi menikahi Dinda. Aku yakin, kok, jika Dinda bisa menerima kehadiran anak kita. Jika dia mencintaimu tentu dia juga akan menyayangi anakmu dengan tulus, bukan?
Suamiku, terima kasih atas semuanya. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan padaku. Maafkan jika sampai detik ini aku hanya bisa menjadi bebanmu, setelah ini aku janji tak akan membebanimu lagi.
Jika nanti surat ini kamu baca dan keadaanku tak membaik, atau mungkin aku tak pernah kembali, tetaplah hidup seperti biasa. Berjanjilah kamu akan baik-baik saja.
Aku selalu menyayangimu dan akan selalu ingin kamu bahagia.
Â
Istrimu, Hanna.
***
Zidni berjongkok di atas tanah yang masih basah, menatap sebuah gundukan tanah bertabur bunga di hadapannya. Sebuah nama yang selama sepuluh tahun ini mengiringi setiap langkahnya tertulis indah di sebuah nisan putih. Sebuah jawaban atas semua surat dan menghilangnya sang istri seminggu ini, dia dapatkan hari ini.
“Ayah … Ayah … ayo pulang.” Gadis kecil di sampingnya menarik lengan kemeja hitamnya.
Dia berdiri seraya mengangkat gadis itu. “Maafkan Ayah, ya, Nak. Selama ini Ayah terlalu sibuk hingga tak tahu perjuangan ibumu.” (*)
Lutfi Rose. Seorang ibu yang tak kan pernah mau bersahabat dengan rasa malas. Semua pasti bisa dilakukan meski perlahan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata