Tak Ada Surat Ketujuh untuk Az
Oleh: Nurul Istiawati
Mungkin arwah seorang pujangga tersesat masuk ke tubuhku. Terkadang aku bisa merangkai kata yang dapat dibilang “indah”. Tetapi tak jarang pula, aku hanya diam dan kaku selama berjam-jam, seperti pujangga yang terkepung sepi.
Aku pernah menulis enam surat yang sayangnya tak pernah kukirim kepada dia yang kutuju. Aku malu jika harus menatap mata hitamnya, merasakan detak di dadaku sedikit mengencang bersama desir-desir halus yang tak dapat kutahan. Aku malu untuk sekadar menyodorkan tangan, berharap dia menyambutku baik, lalu membaca suratku pelan-pelan. Lantas kalian pasti bertanya kenapa tidak kirim lewat pos saja? Kalian tahu, aku adalah perempuan. Aku malu untuk menyatakan perasaan duluan. Maka memendam rasa adalah pilihan terakhir yang kupunya.
Rasa yang terpendam itu seperti sel. Semula hanya satu kemudian berkembang memecah diri menjadi ribuan bahkan jutaan. Sel ini terus bertambah, merambah, dan membelah hingga aku harus menyimpannya dalam cinta yang diam-diam. Namun sekarang, aku bosan diam. Ingin rasanya aku berteriak lantang. Menembus segenap celah dan lubang seperti angin. Melesat merasuk ke setiap gendang telinga. Mengatakan kepada semesta bahwa aku mencintai dia.
***
Aku menemukan mereka di antara tumpukan buku roman di laci paling atas lemariku. Enam surat yang utuh. Tak dilipat. Karena aku tak ingin surat-suratku pucat dengan bekas lipatan. Kulihat mereka sekilas. Dan seolah dikuasai kerinduan, aku menyengajakan diri duduk di samping jendela dengan matahari senja dan awan jingga, membacanya satu per satu.
(1)
: Az
Kau tahu, bukan? Perihnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang tak sempat terukir menjadi aksara, cinta yang tak sempat terucap melalui kata-kata. Aku hanya mampu merawat rasa ini dalam bungkam. Memang benar, cinta harusnya diungkapkan, bukan dipeluk dalam diam. Tetapi … aku tak punya pilihan.
(2)
: Az
Pada hari pertama kali aku melihatmu, senja kala itu. Aku merasa bahwa aku perempuan paling beruntung karena menjadi saksi keindahan yang pernah Tuhan ciptakan. Detik itu juga hatiku berkata: Kau adalah lelaki yang pantas diperjuangkan. Untuk pertama kalinya, hidupku tak hanya mengalir. Karena sekarang aku punya tujuan. Aku punya cita-cita yang harus diraih, yaitu kau! Aku tahu, perjuangan mencapai hatimu tidaklah mudah. Perlu aksi menempuh perjalanan panjang dan melampaui waktu demi sampai di pintu hatimu. Aku akan tetap berusaha, Az.
(3)
: Az
Aku melihatmu hari ini, seperti biasa, kau sangat mengagumkan. Aku mencintaimu. Kurasa begitu. Tanpa keraguan. Dan penuh keyakinan aku menjatuhkan pilihan padamu. Mereka bilang, mustahil aku bisa mendapatkanmu. Mereka hanya belum tahu, bahwa aku adalah perempuan yang tak kenal mundur meski kau adalah lelaki yang sulit ditaklukkan. Waktu berlalu sangat cepat, seperti peluru yang melesat. Harus kuakui, kau masih menjadi alasan mengapa aku mampu berdiri hingga saat ini.
Dalam diam, harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu saat matahari terbit. Dalam bungkam, impian kusulam. Aku akan tetap di sisimu saat matahari tenggelam. Itulah harapanku, Az.
(4)
: Az
Kukira penantian adalah hal yang sangat mudah. Semudah mencelupkan jari-jari tangan ke dalam sungai. Tetapi aku salah. Setelah mencelupkan jari ke dalam sungai, dingin menjalar ke seluruh tubuh, menimbulkan kegundahan yang membuatku rapuh. Begitulah hari-hariku, kulalui dalam penantian yang menggelisahkan. Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan.
Pernah sekali aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Tuhan pilihkan untukku. Kupejamkan mataku lalu kubayangkan wajahmu. Aku menyadari bahwa kau juga keajaiban yang diciptakan oleh-Nya. Untuk anugerah sebesar dirimu aku hanya perlu bersabar dalam penantian.
(5)
: Az
Tadinya kertas ini kosong. Tapi setelah bertemu denganmu, aku ingin menulis semua tentangmu. Entahlah, aku hanya ingin menegaskan pada dunia, bahwa kau bukan hanya lelaki yang layak diperjuangkan tetapi harus dipertahankan.
Percayalah, perasaanku tetap dalam ketulusan, meski bagaimana pun pilunya sebuah perjuangan yang—bisa dikatakan—tak punya harapan untuk menang dan penuh kesia-siaan. Ini adalah bagian proses panjang yang harus kulalui karena telah memilihmu sebagai tujuan.
Kutulis semua ini agar suatu saat kau membacanya. Aku tahu, mungkin kelak kau akan menertawakan caraku mencintaimu. Ah, sudahlah.
(6)
: Az
Mungkin ini adalah surat terakhirku untukmu. Terakhir dan terpanjang. Aku tak tahu betul apa yang akan terjadi esok hari. Cinta dalam diam ini, tak pernah kusesali. Sebab bisa memiliki angan-angan hidup bersamamu, itu lebih dari cukup bagiku.
Sungguh aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam dari cinta yang pernah dirasakan manusia. Sudah kubuktikan kepadamu. Walaupun aku tahu, semua pembuktian dan perjuanganku takkan kau hiraukan sama sekali.
Beberapa puisi telah kutulis, sebagian dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi inspirasiku. Kuharap kau tak keberatan sebab aku selalu menulis namamu di setiap karyaku. Hanya dengan cara itu, aku bisa bertahan mencintaimu tanpa berkata.
Dari jauh aku melihatmu bahagia dengan kehidupanmu. Itu membuatku senang, meski jujur saja di sisi lain membuatku terluka. Bersama perempuan itu aku melihatmu bahagia. Kau tampak mencintainya lebih dari apa pun di dunia. Dia perempuan yang sangat cantik, wajar saja bila kau jatuh hati padanya. Di balik semua itu, aku menemukan sebuah kenyataan getir bahwa kau lebih menghargai kecantikan dibanding ketulusan. Matamu dibutakan oleh cinta berlandaskan kecantikan fisik. Sedang pintu hatimu selalu kau tutup untuk cinta berlandaskan ketulusan.
Tapi tak apa. Cinta tak pernah egois. Aku ikhlas membiarkanmu bahagia bersama orang lain. Sebab kebahagiaanmulah letak kebahagiaanku.
***
Tak ada surat ketujuh. Hanya enam. Dan cukup enam. Enam surat yang cukup membuat mataku berair. Satu per satu dari surat itu adalah kenangan, dan juga perjalanan.
Kini aku telah memulai hari baru. Dengan semangat baru meski perasaan pilu. Luka yang kubuat karena memendam rasa memang telah sembuh. Tetapi, mau sembuh atau tidak, yang namanya luka pasti memiliki bekas. Bekas yang akan diingat sebagai kenangan kegagalanku atas perjalanan cinta. (*)
Pemalang, 13 Mei 2019
Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobinya dengerin musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata