Di Bawah Ranting Kemboja

Di Bawah Ranting Kemboja

Di Bawah Ranting Kemboja
Oleh: Vianda Alshafaq

Kau lihat, siang masih jua benderang. Mentari tampaknya ingin aku menatapmu lebih lama. Mungkin selama aku menatapmu kala itu, ketika kau tak sadar ada harap yang tersembunyi di balik mata. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Sebab, kisah ini terlalu panjang untuk sekadar diceritakan seorang diri. Aku ingin betul-betul menyingkap tirai yang kututup rapat selama ini. Tapi sungguh aku hanya mampu mendekam sembari menikmati sepoinya angin yang mengelus kulitku.

“Kau sungguh jahat, Dev,” ujarku memulai perbincangan ini.

Kau tidak akan pernah bisa menjawabku, bukan? Kau hanya seperti ilusi yang masih jua menjajah pikiranku. Kau hanya mampu bungkam, bahkan ‘tuk sekadar membalas tatapku tak jua bisa.

Aku menutup mata sejenak, mencoba meredam rasa yang menggebu-gebu. Rasanya aku ingin mati menahan semua ini. Kupikir lebih baik tertidur pulas dibanding memendam rasa yang berhias perih.

“Kau benar-benar tidak mampu melihatku, Dev. Yang kau tahu aku hanya Anya, gadis kecil yang kau lindungi semenjak kita belajar mengaji bersama. Kau hanya mengenalku sebatas teman kecil yang memiliki senyum meski aku tengah terluka. Kau tak tahu bahwa aku adalah seorang wanita yang memandangmu sebagai seorang pria.”

Puyuh-puyuh mulai bercicit mendengar kisah ini. Di ranting kemboja mereka menanti kalimat berikutnya. Cakar kecil itu tampaknya mencengkeram ranting dengan kuat. Tak peduli pada angin yang mulai berembus kencang, mereka masih di sana. Mereka seolah dikirim Tuhan untuk menemaniku mengingatkanmu pada cerita yang tak pernah kau ingat.

“Dev, aku ingat betul hari itu, ketika kau memintaku memberikan amplop merah jambu pada Zulya, teman baikku. Kau ingat hari itu apa yang kulakukan? Kurasa tidak. Tapi aku ingin kau ingat. Jadi biarkan aku mereka ulang cerita itu dan memberimu sebuah kejutan.”

***

Hari itu semuanya seperti sembilu beruntun untukku. Pagi hari, ketika mentari tergelincir setinggi galah, aku kehilangan dirimu. Ah, ralat. Aku kehilangan kesempatan untuk menganggapmu sebagai seorang pria. Tepat pukul 09.00 WIB, kau meminta bertemu. Kupikir hanya sebatas bertemu untuk mengurai canda, ternyata tidak begitu.

“Anya, bisakah kau memberikan amplop ini pada Zulya?” pintamu kala itu.

Tak tahu kenapa, jantungku berdetak begitu kencang. Ada suara kecil yang memintaku untuk tidak menerima amplop merah jambu itu. Tetapi, akalku tak sesuai dengan suara itu. Aku mengangguk, menjulurkan tangan untuk merebut amplop itu.

Setelahnya, tak sampai lima menit, kau berlalu dari hadapanku. Sepatu cokelat yang kau pakai hari itu, beranjak dengan cepat. Seolah tak sudi untuk berhenti sejenak dan membiarkanku menanyakan sesuatu.

Seperti yang kau pinta, amplop itu kuberikan pada gadis manis itu. Lengkungan kecil ia terbitkan setelah membaca tulisan kecil di pojok kanan amplop merah jambu itu, namamu. Jelas sekali ia bahagia. Wajahnya berseri ditambah rona merah yang membuatnya tampak lucu. Ah, bisa kutebak apa yang terjadi di antara kalian.

Kuurai langkah setelah menyelesaikan urusan ini. Perasan asam menetesi hatiku yang menganga, mengeluarkan lingkaran setan yang selama ini kupuja. Mataku mulai dijajah samudra jernih, kemudian menjelma sungai yang mengalirkan perih. Ah, aku tak punya suara lagi hari itu.

Petang menghampiriku dengan cucuran air yang sangat lebat. Orang-orang berlarian menuju tempat persembunyian, tak ingin basah, barangkali. Gemuruh petir kala itu seperti memekikkan rintih yang kupendam. Cucuran atap kurasa juga demikian, mewakili air mata yang hari itu kujatuhan ke dalam.

Aku terlalu cengeng, bukan? Aku menangis. Barangkali kau pikir kita memiliki persepsi yang sama perihal waktu yang kita habiskan dua puluh tahun. Tapi, sejatinya tidak. Kau memandangku sebagai Anya, gadis kecil yang namanya kau balikkan. Kau tidak pernah memandangku sebagai Ayna, seorang wanita yang sangat mungkin terpikat oleh senyum yang tak pernah pudar di wajahmu. Tapi sudahlah, aku tak ingin terlalu sering mengulang hal ini. Cukup kuceritakan padamu bahwa hari itu adalah hari perayaan duka sejagat raya. Sebab, aku berduka atas pilihanku yang memilih bintang lain dan semesta berduka atas balon-balon cinta dan doa yang kulambungkan sejak delapan tahun silam, yang kini mulai lenyap dan meninggalkan jejak hitam di awan yang semestinya berwarna perak.

Ah, sudahlah! Kurasa cukup sampai di situ. Masih ada bagian lain yang ingin kuceritakan. Tetap tentang sembilu yang membelah jantungku hari itu.

Magrib datang dengan hujan yang sudah reda. Suara pukulan beduk dan azan mulai membaur. Kupikir suara itu hanya sekadar himbauan untuk berbuka kemudian salat. Ternyata tidak. Selapas azan, aku mendengar cicit camar yang mengantarkan berita utama hari ini, tangisan yang menjerit sebab kau telah tergeletak mati. Retak di sekitar tengkorak kepalamu mengalirkan cairan amis di aspal yang legam. Lampu-lampu kendaraan memberikan penerangan, memperlihatkan suwiran aspal pada wajahmu yang pucat pasi. Kau mati sebelum sempat kuperkenalkan diri sebagai wanita sejati.

Sekali lagi, hari itu adalah hari perayaan duka besar-besaran. Aku berduka sebab sahabatku tergeletak tanpa jiwa dan dia—Zulya—berduka atas mahligai yang runtuh sebelum akad terucap di permulaan  Syawal, tiga hari lagi.

***

“Kau sudah ingat, Dev? Lihat, aku masih saja mencucurkan air mata. Bahkan setelah enam tahun berlalu, kurasa aku tak sepenuhnya melepasmu.”

Aku kembali menikmati hujan di pelupuk mata hari ini. Cerita enam tahun silam yang kukisahkan kembali hari ini, masih menyayat jantungku yang sudah setengah mati. Tapi lihatlah, kau masih saja diam. Kau hanya diam dan bersembunyi di bawah gundukan tanah itu. Kau hanya mendengarku, tanpa mau membalas atau bahkan sekadar menanggapi. Kau hanya terbujur kaku di dalam selimut putih yang kau cari enam tahun lalu, sebagai baju lebaran, barangkali. (*)

 

Vianda Alshafaq, seorang wanita yang menyukai dunia pena.  Lahir delapan belas tahun lalu di Agam, salah satu kabupaten di Sumatra Barat. Bisa dihubungi melalui:
Email: viandaalshafaq@gmail.com
Facebook: Vianda Alshafaq
Instagram: vianda_alshafaq

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata