Tak Ada yang Tak Mati di Kampung Ini
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Pada sebuah malam yang penuh amarah, ketika bulan sedang malas menampakkan dirinya. Warna langit berubah menjadi jingga, seolah terbakar dijilati lidah api. Kemarahan menyebar dan menyeruak ke mana-mana. Seperti bau busuk yang disebarkan angin dan terhirup oleh hidung, meracuni darah, mengalir menuju kepala, dan membekukan otak semua orang hingga membuat mereka seperti kerasukan setan.
Pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan menjadi sebuah kelaziman.
***
Berawal dari desas-desus yang dikobarkan preman-preman pasar yang mulutnya selalu tercium bau alkohol, lalu didengar dan dibicarakan tukang becak bersama teman-temannya sambil menunggu penumpang, dan diceritakan kembali kepada para pedagang pasar yang kebetulan sedang diantar pulang, lalu berita tersebut berpindah tempat, diobrolkan dalam los-los pasar yang sempit dan becek sebagai selingan mengobrol saat menunggu pembeli datang, dan berembus kencang menjadi sebuah desas-desus tak masuk akal yang didengar orang-orang awam.
Katanya, “Orang-orang berbaju merah akan menyerang!”
Tidak semua orang ketakutan, yang lainnya justru malah mengasah benda-benda tajam yang telah berkarat hingga menjadi berkilat.
***
Kini semua orang menatap dengan penuh rasa curiga pada setiap orang tak dikenal yang kebetulan lewat atau mampir di kampung ini. Warung-warung kopi menjadi senyap dari obrolan-obrolan lucu yang biasanya didongengkan seseorang sambil duduk dan mengangkat sebelah kaki, dan yang lainnya tertawa tergelak-gelak mendengar gurauannya. Biasanya setelah mendengarkan cerita-cerita yang lucu, topik pembicaraan beralih pembahasan. Misalnya, tentang seorang janda bertubuh ranum yang bunting tiba-tiba dan tidak diketahui siapa lelaki yang telah membuahinya. Atau tentang seorang kembang desa yang dadanya terlihat membuncah, yang lenggak-lenggok pinggangnya mampu menarik perhatian dan syahwat para lelaki genit.
Kini pengunjung warung kopi hanya diam seribu bahasa, lalu segera permisi pulang setelah menghabiskan segelas kopinya dengan wajah penuh kecemasan. Itu bukan gambaran sebenarnya kehidupan sehari-hari penduduk kampung.
Jika desas-desus yang diembuskan serampangan tadi memicu kebencian dan kemarahan, aku justru tidak berpikir ke arah itu. Barangkali juga ada penyebab lainnya sehingga kebencian menaungi seisi kampung. Setelah hujan dua hari dua malam yang ditumpahkan langit terus-menerus membuat banjir dan mencemari sumber mata air satu-satunya di kampung kami, mata air keramat. Tetapi dahulu peristiwa serupa juga pernah terjadi dan tak ada imbas yang menakutkan seperti ini!
Atau bisa juga … ah, ini yang hampir lupa aku katakan. Tadi siang sebenarnya aku sempat mendengar bisik-bisik yang disampaikan orang-orang yang berada di pasar. Katanya, “Akan ada pemberontakan dari orang-orang yang berbaju merah. Mereka tidak terima dan akan mengadakan pembalasan dendam.”
Masalahnya, ketika semua orang yang panik ketakutan dan buru-buru membakar habis semua baju atau kaus berwarna merah hingga tak tersisa, aku pikir segalanya akan berakhir baik-baik saja. Kampung kami akan kembali damai seperti sediakala. Saat kebersamaan dan suka-cita selalu menyelimuti wajah setiap orang. Namun nyatanya tidak, kecemasan dan kekhawatiran malah semakin berkecamuk dan menumpuk pada wajah-wajah lugu yang kini tidak lagi bersahaja. Apa gerangan hingga pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi? Apa mungkin disebabkan upacara persembahan desa yang kemarin tidak jadi dilaksanakan, hingga membuat para arwah-arwah dan roh penunggu kampung menjadi marah dan gentayangan. Lalu makhluk-makhluk halus itu melampiaskan kekesalan dengan cara merasuki pikiran setiap orang! Ataukah setan, dedemit dari kampung sebelah yang berpindah tempat juga mulai ikut mengganggu pikiran akal sehat kami. Padahal hasil keputusan musyawarah kampung yang telah disepakati semua orang adalah, upacara persembahan hanya diundur saja, bukan dibatalkan. Apakah setan-setan dan dedemit yang bertetanggaan itu tidak menyampaikan pesan kepada mereka, sesama setan dan dedemit lainnya juga, untuk makan bersama-sama nanti …?
***
Pembunuhan-pembunuhan pun mulai terjadi dan dilakukan dengan serampangan. Tak peduli siapa yang akan disembelih, digantung, atau dihabisi dengan sebilah kapak besar. Siapa saja bisa menjadi korban. Asal ada sebuah desas-desus miring yang terdengar: si Anu adalah aktivis kelompok berbaju merah, si Anu pernah bermain cinta dengan si Anu—yang kebetulan sering mengenakan baju berwarna merah, si Anu adalah perempuan jalang yang menjual tubuhnya pada anggota kelompok berbaju merah, si Anu yang mungkin tidak punya anu, ketua kelompok tonil yang sering memainkan sandiwara dengan pesan-pesan titipan dari kelompok berbaju merah, bahkan si Anu, seorang lelaki yang belum lama menjadi gila oleh sebab ditinggal selingkuh istrinya, yang kebetulan lewat dan sedang mengenakan baju merah dekil penuh bau pun, diseret seperti seekor keledai hina-dina dan dilemparkan ke sungai begitu saja setelah kepalanya dihajar dengan beberapa batang kayu oleh puluhan orang yang kesetanan.
Warna merah kini menjadi warna kesialan dan tentu saja, kematian yang begitu mengenaskan ….
Kau tak akan percaya mendengar kabar-kabar menyedihkan itu jika kau tidak melihat dengan mata kepala sendiri: Pak Anu, seorang guru yang sedang berdiri dan mengajar di hadapan murid-muridnya, diseret lalu dihabisi nyawanya dengan cara digantung lewat seutas tali pada sebatang dahan pohon beringin besar yang berdiri di halaman sekolah. Mata lelaki itu melotot lebar seolah mau copot, menahan penderitaan dan dendam yang sarat, seakan ingin mengatakan satu sumpah terburuk kepada sang malaikat mautnya.
Lelaki lugu yang nahas itu memang tidak pernah terlibat dengan sebuah gerakan yang berkaitan dan bersinggungan dengan warna merah. Aku kira ada seseorang yang mungkin telah memfitnahnya—si Anu yang anaknya pernah tidak naik kelas. Guru itu hanyalah menjadi sasaran kemarahan.
***
Oleh musyawarah yang diadakan para sesepuh dan tetua kampung, akhirnya seluruh warga sepakat untuk mengadakan ritual persembahan sekaligus buang sial. Dengan harapan arwah-arwah dan roh-roh penunggu kampung akan menghentikan kegilaan semua orang. Seekor kerbau yang sangat besar dipersembahkan sebagai tumbal. Lehernya dipotong dan dagingnya diberikan kepada setiap warga yang merasa kelaparan. Hanya kepala kerbau yang disisakan untuk kemudian dilarung ke dalam sungai.
Ajaib. Setelah memakan potongan daging-daging yang telah dimasak secara bergotong-royong, kemarahan dan kebencian menghilang, melesap terbawa angin. Hari itu semua orang merasa tenang, bersuka cita merayakan kedamaian yang telah pulang kembali. Untuk satu-dua-tiga hari berikutnya, kehidupan memang kembali berjalan seperti sediakala. Kenangan yang buruk dan menyedihkan telah dibuang jauh-jauh dari pikiran semua orang, seperti daging kerbau dan makanan kemarin yang telah dimakan para penduduk, lalu dibuang dalam bentuk kotoran melalui jamban-jamban di pinggiran kali.
Tetapi pada hari keempat berikutnya, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Sebuah desas-desus yang ditiupkan orang-orang berseragam hijau yang baru datang dari kota, membangkitkan kemarahan orang-orang. Entah apa yang dibicarakan dan diperintahkan oleh mereka, hingga saling bunuh-membunuh kembali terjadi. Semua kejadian itu menihilkan perdamaian yang baru saja tercipta. Pengorbanan seekor kerbau yang dilakukan kemarin menjadi sia-sia. Para tetua dan sesepuh yang menyatakan keprihatinannya malah terbunuh—atau memang sengaja dibunuh? Tak ada yang tahu pasti saat ini. Hanya perkiraan-perkiraan, atau dugaan-dugaan yang berkecamuk di benak setiap orang. Mungkin para tetua dan sesepuh ada yang salah bicara, atau bisa saja mereka dianggap telah menggelembungkan harga kerbau dari harga yang sebenarnya! Boleh jadi juga itu desas-desus yang sengaja ditiupkan oleh salah satu pedagang yang iri atau tidak senang karena kerbaunya tidak jadi dibeli. Padahal berita yang sebenarnya adalah ucapan para tetua dan sesepuh kampung yang berusaha mencegah penangkapan dan pembunuhan secara serampangan kepada warga kampung, membuat orang-orang yang berseragam hijau marah bukan kepalang.
Para tetua dan sesepuh kampung sebenarnya tidak ingin upacara persembahan atau buang sial kemarin dianggap menjadi sia-sia. Apalagi seluruh warga telah mengumpulkan sumbangan dengan susah payah. Para tetua dan sesepuh tentunya tidak ingin disalahkan. Tetapi mereka akhirnya menebus keberanian untuk mengatakan kata tidak dengan menyerahkan nyawa.
***
Malam ini adalah malam penuh kemarahan dan kebencian. Tetangga membunuh tetangga; pedagang membantai sesama pedagang; tukang becak menggorok leher sesama tukang becak; pegawai membunuh pegawai saingannya, melalui ucapan-ucapan penuh fitnah demi memperebutkan jabatan; petani-petani menghabisi sesama petani demi memperebutkan air yang mengalir ke sawah dan ladang. Dan desas-desus baju berwarna merah adalah senjata paling ampuh, digdaya, dan mematikan, juga paling disukai dan digunakan oleh banyak orang yang menyimpan rasa dengki. Bukankah pembunuhan paling tersamar adalah dengan cara meminjam tangan orang lain!
Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, banyak orang yang memilih bersembunyi di dalam rumah. Tetapi ini juga bukan cara yang paling tepat untuk menghindari petaka atau keributan yang tak sengaja bisa terjadi. Nyatanya, malah lebih banyak orang yang terbunuh di dalam rumahnya sendiri tanpa satu pembelaan yang menyakinkan dari mulut mereka masing-masing. Jika diam pun dianggap tidak berguna, lalu senjata apalagi yang digunakan untuk membela diri ….
***
Hari ini hampir seluruh penduduk kampung kami telah tumpas. Hanya menyisakan belasan orang selamat yang telah “mati akal dan pikirannya”. Dan aku mendapatkan kematianku lewat seutas tali yang ditambatkan pada sebuah dahan kukuh pohon mangga. Setelah sekumpulan orang-orang mati menjerat leherku …. (*)
Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula yang menemukan Facebook sebagai tempat berekspresi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata