Maneken

Maneken

Maneken
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Aku berjumpa dengannya di sebuah toko baju yang bernama “Februari”. Ia berdiri dari balik kaca etalase yang lebarnya selebar dinding, dengan senyumnya yang sangat menawan bersama deretan maneken lainnya, mengenakan busana terbaru. Aku tertarik dengan tatapan matanya yang seolah nyata, begitu hidup. Ia satu-satunya maneken yang kuanggap paling menarik di antara beberapa maneken lainnya di toko Februari dan dari  sekian banyak maneken lainnya yang ada di mal ini. Tetapi setelah beberapa bulan kemudian, aku baru mampu mengatakan satu sapaan singkat kepadanya, saat aku harus mengganti gaun yang melekat di tubuhnya dengan model lainnya. Ini kali pertama aku melihat tubuh serupa perempuan dalam keadaan telanjang. Jantungku  berdegup lebih cepat saat aku harus mencopoti bajunya satu per satu.

“Maaf,” cuma itu yang sanggup aku katakan, sambil menyeka bulir-bulir keringat yang mulai mengembun di atas dahi.

Ia tersenyum dan ….

“Ah, apa ini hanya perasaanku? Bukankah ia hanya sebuah maneken ….”

Aku menunduk agar pramuniaga  lainnya tidak dapat melihat kegugupanku.

***

Toko Februari berjalan dengan baik-baik saja. Bulan Maret, April, Mei, Juni, berganti dan begitu seterusnya … toko Februari tetaplah toko Februari yang tak pernah berganti nama meski berganti bulan dan tahun. Aku menyukai pekerjaan ini, dan tak pernah menemukan kejenuhan sedikit pun. Apalagi ketika bekerja di tempat ini, aku bisa mengucapkan selamat pagi kepadanya, meski cuma dalam hati. Setiap hari.

Setahun, dua tahun, tiga tahun terus berlalu. Segalanya terasa sangat menyenangkan dan baik-baik saja. Sampai pada suatu ketika, menginjak tahun keempat di bulan Juni. Sang pemilik toko Februari hendak menutup tempat ini. Situasi ekonomi yang semakin sulit membuat toko Februari tidak mampu lagi bertahan dan kuat menghadapi persaingan. Ia menjual toko ini kepada seorang pembeli yang menyatakan minatnya.

***

“Lempar saja maneken-maneken usang ini ke tempat sampah. Pemilik baru mungkin tidak menginginkannya …,” ucap pemilik toko.

“Berikan saja untukku, Bu. Aku sungguh tidak tega membuangnya,” aku memohon.

“Terserah kamu. Dua hari lagi kita harus segera mengosongkan tempat ini,” begitu katanya.

Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada sang pemilik toko, sebab masih bisa menyelamatkan maneken-maneken itu. Tentu saja aku memilih dia, yang lainnya kuberikan kepada pemilik toko sebelah. Aku tak ingin membiarkan nasib mereka berakhir mengenaskan di tempat sampah.

Voila! Ia berdiri di pojokan dekat lemari pakaianku dengan sejuta keanggunan. Tubuh rampingnya semakin menarik dan bersinar setelah kubersihkan dengan sepotong spon dan sabun pembersih tadi sore. Tentunya ia tidak mengenakan busana terbaru lagi. Ia mengenakan satu lingerie yang kubeli setengah harga dari pemilik toko sebelah. Ia bertambah cantik. Dan aku setidaknya mempunyai seorang teman sekamar, maneken ini adalah obat mujarab penghilang rasa kesedihan: kesedihan akibat kehilangan pekerjaan, dan tentu saja kesedihan karena kesendirian. Pria lajang yang tidak pernah memiliki seorang kekasih.

***

Malam yang mendebarkan. Langit seolah runtuh dengan gemuruh suara petir yang bersahut-sahutan. Tak lama hujan yang tak terkira lebatnya pun tumpah. Satu suara petir yang menggelegar begitu mengagetkan terdengar. Lampu listrik tiba-tiba padam!

Tubuhku sedang menggigil akibat badai demam yang kualami semenjak siang. Aku hanya mampu bersembunyi di dalam dekapan selimut yang tebal. Antara sadar dan tidak sadar, terbaring lemah tanpa daya. Sampai sepasang tangan dengan gerakan yang lembut menyuapkan sesendok teh manis hangat, terlihat dari kilauan cahaya petir yang menembus ke dalam ruangan. Aku terjaga meski tak begitu menyadari siapa orang tersebut. Kegelapan malam hampir menyembunyikan wajahnya dengan sempurna. Aku hanya merasakan adanya kain basah hangat yang terus menerus disekakan ke keningku. Seseorang itu kemudian menambahkan lapisan selimut ke atas tubuhku.

***

Lampu ruangan sudah menyala. Kesadaranku telah pulih  dan tubuhku berangsur membaik. Mungkin teh manis hangat tadi memberi sedikit asupan kekuatan.

Entah pukul berapa sekarang? Tak pernah ada jam dinding yang menempel pada tembok ruangan ini. Sialnya, aku lupa di mana handphone berada.

“Kamu sudah sadar? Tadi demammu begitu tinggi.” Suara lembut seorang perempuan mengagetkan.

Aku menoleh, menuju pada suara lembut tadi. “Ka—kamu ….”

“Ya, ini aku. Terima kasih telah membawaku kemari. Setidaknya nasibku tidak berakhir di tong sampah!”

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi sebab satu suapan teh manis hangat kembali dicecapkan ke mulutku. Tak ada yang perlu ditanyakan sama sekali bahkan satu kalimat pun. Nanti saja! Sebentuk perhatian dari seorang perempuan terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Aku belum pernah mengalami hal termanis dalam hidupku. Hanya dua bola mataku saja yang terus menatap satu raut wajah penuh kesabaran di hadapanku.

***

Seorang perempuan cantik mengenakan lingerie warna merah hati.

Mataku yang masih membayang selepas bangun dari mimpi tiba-tiba mendadak terang, seperti matahari yang berpijar di siang hari.

Ia baru saja keluar kamar mandi. Rambutnya sedikit basah, mungkin sehabis mandi. Aku berdebar bukan kepayang. Seraut wajah yang biasa kusapa setiap pagi sedang berdiri memunggungiku di depan kaca. Dan ia berbalik menatapku dengan senyuman yang lebih menawan dari senyumnya yang biasa kulihat.

Astaga, aku menggigil tetapi ini bukan gigil semalam! Dan aku berdebar, tetapi rasanya bukan seperti debaran yang biasa. Adakah kata-kata lain yang bisa cukup menjelaskan ….

***

Kami bercakap-cakap seperti seorang teman lama yang sudah sangat mengenal. Tak ada sekat, batas, apalagi jarak. Setiap obrolan yang  kami lemparkan selalu menyambung satu sama lain. Rupanya ia pandai bertutur kata dan bercanda. Bahkan satu candaan kecil pun, mampu menghidupkan suasana dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Setiap hal kecil yang melekat dalam dirinya adalah sebuah keajaiban. Tetapi yang membuat kami menjadi menjadi sangat-sangat dekat dan merasa saling memiliki adalah saat kami harus berbagi  kasur kecilku yang tipis dan tidur bersama, dan aroma napasnya yang hangat memabukkan penciumanku, dan membuat anganku mendadak melayang dan aku menjadi hilang kendali. Aku mencium bibirnya dan ia hanya memejamkan mata tanpa kata-kata sambil memeluk tubuhku sebagai sebuah isyarat penyerahan diri.

Aku tenggelam dalam dekapan hangatnya.

***

Aku menyukai percakapan-percakapan kami setiap harinya. Aku menyukai kehangatan senyumnya yang begitu tulus dan  bagaimana cara ia mencintaiku. Dan aku juga sangat menikmati tubuhnya: saat kami bercinta di sebuah malam yang sangat sempurna untuk sepasang insan yang sedang jatuh-cinta.

Esok aku harus segera mencari seorang penghulu yang akan menikahkan kami, sebab aku sangat mencintainya. Dan aku tak ingin melihat perutnya akan  membesar suatu hari nanti, diketahui dan dicaci-maki oleh banyak orang karena kami bersama tanpa sebuah ikatan yang resmi.

 

Karna Jaya Tarigan, seorang Penulis pemula yang terdampar di Facebook untuk berkarya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata