Perlombaan di Istana Saff
Oleh: Den Mahayaan
Dikisahkan ada sebuah kerajaan bernama Negeri Bulan yang sangat indah dan begitu menakjubkan. Pada Negeri itu muncul berbagai peristiwa yang sangat spiritual dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Di Negeri Bulan ini realitas kehidupan berada pada posisi paling depan, sehingga dapat terlihat dengan begitu jelas, berbeda dengan bulan-bulan lain yang menempatkan realitas begitu paling belakang. Kala Negeri Bulan ini hadir, seluruh alam semesta bersukacita menyambutnya dan sangat bersedih ketika bulan telah pergi.
Gemuruh angin menghantarkan gelombang dahsyat menyambut kedatangan bulan penuh rahmat. Semilir udara berpadu dengan jerit kicau burung-burung, mengabarkan pada pepohonan bahwa Sang Bulan telah bersinar. Pohon-pohon mati lekas hidup dari kematian, rumput-rumput bergoyang di antara celah-celah sempit, bunga-bunga pun ikut mewangikan alam ini dengan bahasa-bahasa cinta kasih.
Semarak Negeri Bulan dihiasi dengan ratusan rakyatnya yang dengan khusyuk berbondong-bondong melangkahkan kakinya menuju tempat ritual keagamaan. Padahal langkah kaki ini begitu sulit dilakukan pada bulan-bulan lain. Ada semacam daya medan magnet yang menarik jiwa-jiwa sekarat untuk kembali pada ketundukan dan kepasrahan. Jiwa-jiwa congkak bertransformasi menjadi seminau kerinduan semu. Rakyat dengan berbagai tingkat spritual berlomba-lomba dalam kebaikan terbalik, istana itu disebut “Istana Saff.”
***
Senja sore telah melenyapkan kehangatannya, mega merah yang indah sedikit demi sedikit mengambil jarak dari pandangan. Sang malam mulai tersenyum dengan bangga mengantar kegelapan memasuki gerbang terang jalan keangkuhan. Bocah-bocah sinting bersatu dalam kerinduan dari berbagai penjuru jalan sunyi.
Mereka berkumpul di bawah pohon rindang hingga larut malam, banyak cerita yang mereka bicarakan. Dari cerita-cerita cumbu hingga masalah tuna-asmara, habis mereka telan dalam ingatan. Hingga pada akhirnya seorang teman menceritakan tentang kisah yang sangat magis bahkan spiritualis. Perasaan mereka mulai tak terkontrol, antara takut dan tak berani, bulu kuduk mulai bangun dari tidurnya mengajak agar segera waspada.
“Hai, Bat, mengapa kau tak bercerita tentang sebuah kisah?” tanya seorang sahabat.
“Oh iya, dari tadi tinggal dirimu yang belum bercerita,” kejar seorang kawan.
Sadar malam semakin mengundang dingin, mereka mulai merapatkan lingkaran, menyedu segelas kopi terahir dan menyesap rokok hingga dalam-dalam. Saudara yang sedari tadi asyik menyimak pembicaraan kami, sontak membenarkan kopiah merah putihnya.
Konon kopiah itu merupakan pemberian dari seorang budayawan, yang sangat ia cintai dan kasihi dalam sebuah jemaah yang jika diterjemahkan berarti “bersama Allah”. Pernah seorang bocah berkaus oblong bergambarkan filsuf Prancis yang terkenal dengan pemikiran filsafat absurd, menanyakan tentang jemaah tersebut, tetapi jawabanya tidak pernah sama.
Hebatnya jemaah yang dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang itu mendiskusikan segalam macam permasalahan hingga larut malam tanpa ada rasa bosan. Padahal awalnya jemaah tersebut merupakan perkumpulan kecil, sebagai sarana silahturahmi serta sebagai respons terhadap kondisi masyarakat yang mengalami ketidakpuasan, keputusasaan, amarah terpendam, sebab masyarakat merasakan ada lubang di hatinya. Hal itu disampaikan oleh saudara kopiah merah putih, pada beberapa waktu lalu.
“Saya tak tahu harus cerita apa?”
“Ceritalah, tentang apa saja.”
“Lalu saya harus mengada-ada?”
“Ceritalah tentang cerita dari kawanmu, dari sahabatnya,” lelucon bocah berbaju gombrang bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran membuat kami tertawa-tawa.
“Oke, oke … kalau itu mau kalian!”
“Nah … kalau beginikan asyik, cok,” sambut seorang bocah yang sering belajar saksofon, walaupun entah bagaimana hingga kini tak pernah ia berani tampil di hadapan kami, apalagi pada acara-acara kampus. Katanya sih, ia ingin seperti seorang sastrawan, yang konon juga seorang presiden. Namun entah presiden apa? Bocah berkaus filsuf Prancis malas menanyakannya.
“Saya harap kalian tak kecewa dengan ceritaku,” jawab Bocah berkopiah merah putih.
“Cepatlah bercerita!” Bocah dengan rambut gondrong yang terikat sebuah kain hitam melingkar di kening kapalanya, merasa tidak sabaran. Pada bagian depan kain hitam tersebut mengait sebuah tembaga kuning kecil, bentuknya seperti kujang, senjata asli orang Sunda. “Memang tentang apa ceritamu?”
“Istana Saff”
“Cerita macam apa itu?”
“Makanya dengarkan dulu, Begok! Mana kita tahu kalu belum bercerita,” cerocos bocah baju bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran.
“Ceritalah, Saudara.”
Maka bocah berkopiah merah putih pun berkisah.
***
Allahu Akbar … Allahu Akbar .…
Kumandang azan terdengar bersiul-siul dalam telinga dan sukma. Walau begitu, raga belum bersepakat untuk menghadiri undangannya. Tiap mata mulai memfokuskan pandangannya pada bocah kopiah merah putih dan memasang telinga dengan saksama. Suara azan tergantikan rasa penasaran dengan kisah yang hendak disampaikan. Beberapa perkumpulan membubarkan diri dan menuju sumber suara azan. Namun, masih ada juga yang tetap asyik dengan obrolannya termasuk keempat bocah ini.
Terdesak oleh penasaran dan dingin malam, keempat bocah ini semakin merapatkan lingkaran hingga erat, kopi terakhir tinggal setengah. Suasana hening sesaat sebelum bocah kopiah merah putih itu mulai membakar rokok, tak keras, tetapi terdengar jelas, tembakau dan cengkeh mulai tersulut api bersama dengan hisapan bocah tersebut.
Embusan asap rokok mengepul ke langit, mengawali kisah bocah kopiah merah putih:
“Cerita ini berasal dari Negeri Bulan, begitu temanku berkisah,” jelasnya mengawali. “Negeri Bulan adalah tempat bagi para puja-puji, banyak hal magis yang dilakukan rakyatnya.”
Bocah berkaus filsuf Prancis menyilakan tangan pada dada dan mulai merapatkan lutut mengusir dingin dan sedikit khawatir. Hal demikian dilakukan pula oleh bocah gondrong berikat kepala, sambil menyesap rokok yang tinggal setengah. Sedangkan Bocah baju bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran merasa kegerahan dan membuka beberapa kancing kemejanya.
“Dalam Negeri Bulan ada sebuah tempat pemujaan, biasa rakyat setempat menyebutnya ‘Istana Saff’ yang begitu indah dan mewah,” bocah kopiah merah putih melanjutkan.
“Pasti banyak sesajen dalam istana!?”
“Tidak ada”
“Atau mungkin banyak wangi asap dupa?” tanya penasaran bocah gondrong.
“Bahkan asap rokok dilarang ada dalam istana”
Dalam diam, mereka merasa bingung dengan kisah Bocah kopiah merah putih tersebut. Istana macam apa yang begitu magis, tetapi tanpa wangi asap dupa dan bunga-bunga sesajen? Hal ini semakin diperparah dengan persediaan rokok yang semakin menipis, juga kopi yang tinggal sedikit beserta ampas-ampasnya. Telinga kami diserbu oleh pasukan nyamuk yang menusukkan jarum-jarumnya pada kulit. Serangan balasan digencarkan terus menerus, untuk memukul mundur bala tentara nyamuk.
“Tak mungkin ada istana seperti itu.” Bocah berkaus gambar filsuf Perancis itu mulai tak sepakat dengan kisah aneh tersebut. “Lalu bagaimana kisah selanjutnya, Saudara?”
“Saya pun awalnya tak percaya dengan kisah temanku ini, keraguanku mengantarkan pada kenyataan. Bahwa Istana Saff dihuni oleh barisan yang begitu panjang hingga memenuhi seisi istana di Negeri Bulan. Tiap barisnya diisi oleh berbagai tingkatan spiritual, sebagai ketua bertindak seorang ahli spiritual, masyarakat setempat menyebutnya ‘Tuan Abid’, sedangkan pada baris kesatu hingga ketiga diisi oleh pandai-pandai spiritual dari kalangan kelas ‘Berada’, pada baris keempat sampai keenam berjajar dari kalangan ‘Berbenda’, dan pada baris ketujuh hingga akhir diisi oleh kalangan ‘Mustaafin’.”
“Siapa yang temanmu sebut Abid, Berada, Berbenda, dan Mustaafin?” tanya Bocah baju bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran dengan wajah cemas. “Saya harap cerita ini masih dalam ‘Bumi manusia’.”
“Oh … jelas ini cerita bumi manusia yang didiami oleh para manusia spiritualis. Kata temanku, Abid adalah arif bijak di sana. orang yang bertindak sebagai ketua dan hanya para Abid juga yang boleh mengetuai peroses ritual, orang lain dilarang keras. Berada yaitu orang-orang penderma dengan banyaknya materi dimiliki hingga seisi Nngeri tahu, sampai-sampai tangan kirinya pun tahu. Sedangkan Berbenda yakni para warga yang memiliki kekuatan, memegang kendali dalam mengamankan seisi negeri. Serta Mustaafin merupakan golongan dalam barisan objek laba kata-kata si Abid, lahan bagi si Berada berderma, dan alat kekuatan bagi si Berbenda.”
“Kasihan si Mustaafin,” kata Bocah Gondrong.
“Oh, tidak. Mestinya kamu lebih kasihan dengan Abid, Berada, dan Berbenda. Drong,” jawab bocah baju bergambarkan filsuf Prancis.
Bocah Kopiah Merah Putih tersenyum dengan jawaban saudaranya itu. Menurutnya jawaban itu keluar dari logika tidak biasa, ataukah memang kebanyakan para filsuf selalu berpikir yang absurd-absurd. Padahal semestinya yang perluh dikasihani sama dengan pernyataan Gondrong, inilah mungkin seperti syair “Sugeh tompo bondo, didoyo tompo aji, urip mawi pasrah”, kaya tanpa harta, diukur tanpa kekuatan, hidup tinggal pasrah.
“Apa bisa kau jelaskan maksudmu?” tanya Bocah Kopiah Merah Putih.
“Iya, apa maksudmu, Surd?” kejar Gondrong
Bocah baju bergambar filsuf Prancis tidak menyangka akan diadili dengan pertanyaan yang dirinya pun tak pernah tahu jawabannya. Sebab dalam setiap pertanyaan akan melahirkan banyak jawaban dan setiap jawaban akan mengandung banyak sekali pertanyaan, telah menjadi hukum sebab-akibat yang merespons seseorang melakukan reproduksi harapan. “Sudahlah, pada intinya dalam hidup harus tetap pasrah. Aku akan menjelaskannya nanti setelah cerita ini usai, bagaimana?”
“Oke, kalau itu sebuah kesepakatan,” kata Gondrong.
“Mungkin dari akhir cerita ini kita akan mendapatkan jawaban dan pertanyaan dari diri kita,” sambung Bocah baju bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran. “Lantas tunggu apa lagi, ceritalah kisah selanjutnya, Saudara.”
“Istana Saff diawal bulan begitu penuh sesak oleh warga yang terus berlomba, untuk mendapatkan predikat sebagai manusia-manusia bertakwa. Hari demi hari Istana Saff tak pernah sepi dengan berbagai ritual-ritual pemujaan, kegiatan demi kegiatan digencarkan, para Abid begitu intens menyampaikan bahasa-bahasa langit untuk mencegah kekacauan. Sedangkan manusia dengan tingkat Berada begitu sering membagi-bagikan sumbangan kemanusian dengan senyum kemenangan, pengeras-pengeras suara meraung-raung menginformasikan angka dan nominal sumbangan, menjadi bahan gengsi oleh tingkat Berada lain. Lalu Berbenda mengambil peran krusial, sebagi manusia-manusia yang lantang menyuarakan menjaga keseimbangan negeri bulan dan utamanya Istana Saff. Media-media begitu bersahabat dengan tindakan Berbenda, menyampaikan peran dan tugasnya begitu besar demi kestabilan keamanan warga bulan.”
“Lalu bagaimana dengan Mustaafin?” tanya Bocah baju bertuliskan Adil sejak dalam Pikiran merasa bahwa hanya golongan dengan tingkat ini tak diceritakan.
“Golongan dengan tingkat spiritual Mustaafin tidak banyak mewarnai Negeri Bulan. Hari-hari mereka lalu dengan begitu kepasrahan, kala pagi hari mereka bersegera menuju ladang dan perkebunan, menggarap karunia Ilahi tanpa rasa malas atau mengeluh dengan perut lapar. Kala sore hari setelah pulang dari berkebun, mereka isi waktu menjelang Istana Saff memberi isyarat bahwa warganya boleh mengisi perut kembali dengan makanan. Mustaafin banyak membaca kalam Tuhan, mereka tidak pernah disibukkan dengan berbagai urusan-urusan perjuangan-perjuangan semu, mendambakan sebuah sebutan eksistensi.”
Serangan nyamuk semakin tak terelakkan, semakin ganas dan enggan menyerah mencoba mengambil darah-darah segar mereka. Perkumpulan lain mulai beranjak untuk bubar, tetapi cerita belum juga selesai dikisahkan. Kopi dan rokok telah habis, angin malam mulai berlarian menerpa pepohonan, menyebarkan bunyi-bunyi kayu bergesekan. Rumpun-rumpun bambu mulai bergoyang-goyang menimbulkan suara terok … terok … tok, sesekali jangkrik bersuara menuntut cerita tetap dilanjutkan.
“Istana saff pada pertengahan bulan, mengalami perubahan.” Bocah Kopiah Merah Putih kembali bercerita. “Istana itu kini tak sepenuh di awal bulan, warga dari tingkat spiritual semakin berkurang. Mulai dari Abid yang tidak tepat waktu lagi mengetuai ritual, Berada yang kehilangan barisnya hampir setengah, dan Berbenda hampir menyisahkan beberapa orang. Beda dengan golongan Mustaafin yang tetap konsisten dalam ketekunan beribadah kepada Tuhan, mereka semakin menggiatkan ritual-ritual keagamaan.”
“Mengapa demikian?”
“Kok bisa?”
“Abid mendapat begitu banyak jadwal menyampaikan bahasa langit yang begitu padat, dampaknya sering kali lupa dengan tugas sebagai ketua. Berada sibuk dengan urusan-urusan yang dibuatnya semakin tak lurus. Sedang Berbenda harus bertugas lebih sigap dan siap, demi menciptakan kenyaman yang memuaskan, media-media kebanjiran banyak berita yang menjadi magnet tersendiri.”
“Bagaimana pada hari-hari selanjutnya?”
“Aneh.”
“Apa yang aneh?”
“Istana Saff kembali penuh, di akhir bulan seketika warga kembali memadati. Padahal pada hari-hari sebelumya hanya menyisakan segelintir manusia dalam istana, itu pun dari golongan Mustaafin semua.”
“Sunggu aneh.”
“Tibalah pada hari di mana seluruh warga Negeri Bulan menyambut hari kemenangan, hari di mana akan disampaikan juara lomba yang sejati,” kata Bocah Kopiah Merah Putih.
“Siapa pemenangnya?”
“Pasti Abid, dia adalah seorang ketua yang begitu sering membacakan bahasa-bahasa langit,” ujar Gondrong.
“Tidak, bukan Abid, pasti Berada dan Berbenda, merekalah tingkatan spiritual yang mengorbankan banyak harta, benda, tahta. Mereka pula yang rela membuat negeri bulan tetap aman dan stabil,” jawab Bocah baju bertulis Adil sejak dalam Pikiran. “Benar bukan, Saudara?”
“Menurutku benar, tapi temanku akan menjawab salah. Dan jawaban itu baru aku sadari sekarang,” jelas Bocah Kopiah Merah Putih. “Kemenangan sejati bukan dilihat dari sebesar apa kedudukan kita dan seberapa banyak materi yang kita bagikan. Tapi seberapa konsisten dan kepasrahan diri, dalam menjalankan ritme kehidupan.”
“Apakah Mustaafin yang memenangkan lomba?”
“Benar, dialah pemenang sejati. Dan kita patut kasihan dengan Abid, Berada, Berbenda, seperti ucapan Absurd sebelumnya.”
Kesunyian seketika menyergap mereka, mendengar jawaban yang kurang masuk akal. Sebab saat ini hal-hal tak masuk akal lebih di perjuangkan banyak orang, utamanya masuk perut selesailah halal-haram.
***
Rasa nyeri pada kaki coba ditahan. Mereka mulai beranjak meninggalkan kekalahan malam dan menerjang melawan berharap suatu kemenangan sejati. Jalan mereka menyusuri tiap bangunan kelas melewati sebuah warung kecil milik Babeh, membuat harapan adakah kemenangan itu di sini.
Entah ada daya apa yang membuat bocah berbaju filsuf Prancis mengatakan, “Ada rokok.”
“Kan sudah habis tadi.”
“Maksudku itu, coba lihat.”
“Ah … pasti cuman bungkus,” jawab Gondrong. “Coba kucek dulu.”
“Bagaimana?”
Sebungkus rokok tergeletak pada kursi warung Babeh, terlihat bungkusnya telah tebuka. Tampaknya si pelanggan terburu-buru mengejar hal yang belum pasti, meninggalkan yang pasti pada kemenangan. Si Gondrong membuka bungkusnya dan berkata, “Kemenangan!”
Keempat bocah itu lalu membagi bersama-sama. Mengobati rasa dingin dan merayakan kemenangan yang entah kapan lagi akan mereka dapati.
Den Mahayaan. Anda dapat bersilahturahim pada Facebook @daurisrahayaan atau anda mau menjadi followers baru penulis, bisa dengan Instagram @den_mahayaan29. Jika masih dalam keragu-raguan, anda dapat chetingan dengan orang aneh ini, yang pasti enggak bakal kecewalah. Dengan men-save nomor WA 081220700693.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata