Dua Wanita dan Pilihan yang Salah

Dua Wanita dan Pilihan yang Salah

Dua Wanita dan Pilihan yang Salah
Oleh: Rachmawati

Tiga gadis kecil berlarian di pusat perbelanjaan kota, saling melempar bola warna-warni.

“Pluk!” sebuah bola biru muda mendarat tepat di ujung sepatu kerjaku.

“Sini ambil bolanya, Om ga marah, kok.” Aku berjongkok memungut bola, berdiri di samping meja makan McD. Gadis-gadis kecil itu mematung, saling pandang dan saling dorong. Aku geli melihatnya.

“Ini bolamu, Nona. Ayo ambil.” Kusodorkan bola plastik itu pada gadis berponi dan bermata bulat. Aku tersenyum manis pada gadis-gadis itu.

***

Luna sedang asyik memasak di dapur saat kuketuk pintu rumah kecil kami. Aku mencium keningnya, seperti biasa Luna menyambut tas kerjaku dan meletakkannya di kamar. Aku duduk menunggunya di meja makan. Sepi.

“Kok murung, Mas? Aku buatin teh, ya? Atau cokelat hangat?” Pertanyaannya selalu panjang saat mendapatiku dengan raut wajah yang kusam. Istriku memang sangat baik. Cinta dan kasih sayangnya tulus untukku. Rasa khawatirnya selalu berlebihan, apalagi kalau sudah menyangkut kebahagiaanku. Semua akan dia lakukan, akan dia berikan.

“Aku hanya lelah, Dek … boleh aku istirahat di kamar?” Aku beranjak menuju kamar, senyum simpul yang tulus kulempar pada wanita yang telah lama menjadi teman hidupku.

“Tidak makan dulu, Mas?” Luna masih sibuk dengan piring -piring kotor di wastafel. Wanita ini memang terlampau rajin. Meskipun dia bekerja sebagai apoteker di salah satu apotek terbesar di kota Semarang, Luna tak pernah membiarkan rumah kami berantakan, walau hanya sebiji nasi pun tak kan dia biarkan tergeletak di meja makan atau di lantai rumah kami.

Luna sangat aktif, mandiri, ceria, dan tidak suka merepotkan siapa pun. Kalau tidak sangat mendesak istriku tidak akan melibatkan orang lain dalam urusannya. Pernah kutawarkan mendatangkan asisten rumah tangga tapi dia menolaknya. “Jangan ajarkan istrimu jadi pemalas, Mas,” ucapnya sambil berkacak pinggang lalu tertawa dan memelukku.

Aku merebahkan tubuhku yang jangkung di ranjang kamar. Menatap langit-langit kamar dengan sendu. Bayangkan seandainya ada anak-anak yang berlarian dan tawa yang gemuruh di rumah ini. Kuluruskan kakiku, bukan karena lelah sibuk bekerja, melainkan karena lelah setelah menunggu selama tujuh tahun pernikahan dan belum dikaruniai anak seorang pun.

“Mas Angga makan malam dulu, aku sudah buatkan capcai kesukaanmu.” Tubuh lencir istriku sudah berdiri di antara daun pintu kamar. Aku sedikit kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba.

Aku menarik lembut tangannya. Kududukkan tubuhnya yang semampai di sampingku. Kutatap matanya dalam-dalam.

“Aku ingin punya anak, Dek.”

“Sudah berapa kali kita membahasnya, Mas. Bukankah aku sudah bilang, mungkin Tuhan ingin kita berduaan dulu, pacaran terus.”

Seperti biasa, setiap aku mengajak Luna membahas program memiliki anak, Luna akan menanggapinya dengan halus dan tetap bersikap manis.  Jelas saja aku bertahan tujuh tahun hidup bersamanya. Dia senang menggodaku, tahu bagaimana membuatku bahagia meski tanpa kehadiran anak dalam rumah kami. Tapi bagaimanapun aku adalah laki-laki. Aku butuh penerus untuk masa depanku.

“Kita akan ke dokter, please … sekali lagi,” aku setengah memohon padanya.

“Boleh, tapi apa pun hasilnya kita harus menerimanya, bagaimana? Setuju?” Luna membuat kesepakatan seolah-olah kami sedang bermain-main. “Aku percaya takdir, kamu juga harus percaya, Mas.” Luna merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku menyusulnya. Begitulah ending setiap percakapan kami tentang bayi.

***

Matahari masih enggan berbagi sinarnya pagi ini. Luna memaksaku ke sebuah toko kue di pusat kota. Aku menurutinya. Jarang sekali Luna memaksaku menuruti kehendaknya. Istriku bukan tipe wanita manja. Entah mengapa pagi ini aku juga ingin sekali menemaninya. Bukankah menyenangkan istri juga kewajiban suami?

“Tokonya baru buka, Mas. Kita duduk dulu ya … Kita pesan kue dan kopi, please mau, ya?”

Aku luluh setiap kali melihatnya merajuk memanja. Aku memilih tempat duduk di ujung toko kue ala Prancis itu. Luna memesan banyak sekali makanan dan aneka minuman. Aku memilih diam, bagiku protes tidak ada gunanya. Wanita yang kucintai ini memang keras kepala. Tapi dia juga telah merebut hatiku, iya sejak delapan tahun lalu di kampus saat kami kuliah dulu.

Selain cantik dan cerdas, Luna juga pandai meluluhkan hatiku. Pernah kami membicarakan jika suatu saat kami harus berpisah atau salah satu dari kami mati lebih dulu. Luna menangis sesenggukan, tergugu di sofa depan TV. Aku sendiri ngeri membayangkannya. Apa aku bisa melanjutkan hidup tanpanya? Kami berjanji tidak akan membahasnya lagi.

Sesekali mata Luna memperhatikan ke luar dinding kaca, seperti mengawasi atau menunggu seseorang. Aku menyeruput kopi, Luna meneguk teh hangatnya.

“Sedang menunggu seseorang?” Aku ikut-ikutan mencuri pandang ke arah parkiran yang terlihat jelas dari dinding kaca.

“Iya , aku ada janji dengan temanku.”

“Siapa? Kok nggak bilang dari tadi?” Aku mengerutkan kening.

“Adeknya Ratna, Mas. Dia cantik, baru lulus kuliah. Emm, nanti Mas Angga kenalan yah sama dia, biar akrab.”

Aku mencoba mencerna kalimat istriku.

Seorang gadis berambut lurus sebahu menghampiri meja kami, meminta maaf kepada Luna karena terlambat datang . Luna menyambutnya dengan hangat. Saling memeluk dan ada pula adegan cium pipi kanan cium pipi kiri.

“Mas, kenalin ini Rere, adeknya Ratna teman kerjaku.” Luna menuntun tangan gadis itu bersalaman denganku. Aku menyambutnya. Kami duduk bertiga, berbincang basa-basi.

“Mas, aku punya satu permintaan, dan kamu harus mengabulkannya … kumohon.” Tiba-tiba wajah Luna memelas. Aku masih belum paham dengan kalimatnya.

“Kamu pengen aku melakukan apa, Dek?” tanyaku sambil mengerutkan mata, mengambil kedua tangannya yang halus, menciuminya. Aku tidak peduli melakukannya di depan gadis lain. Toh Luna istriku dan aku sudah terbiasa melakukannya.

“Menikahlah dengan Rere, Mas. Kami sudah membahasnya, keluarganya juga sudah setuju. Kumohon … kamu harus punya anak, Mas.” Kalimat Luna seperti serangan tinju yang mendarat di dadaku. Darahku mendidih mendengarnya. Bagaimana mungkin Luna merencanakan pernikahan untuk suaminya sendiri. Bukankah kami sudah sepakat tidak akan membahasnya lagi setelah hasil pemeriksaan laboratorium sebulan yang lalu. Hasil yang memberikan kabar buruk. Luna, istriku, dinyatakan mandul.  Aku ingin melontarinya dengan kata-kata bodoh, aku ingin marah. Tapi aku yakin akan terjadi pertengkaran antara aku dan Luna di toko ini. Aku membuang wajah. Tanganku mengepal ingin memukul sesuatu. Tapi aku kembali mengontrol diri.

***

Luna masih sibuk dengan laptonya di depan TV saat aku membuka pintu dan memberi salam. Wanita itu menoleh dan menjawab salamku. Wajahnya terlebih cantik setelah mandi sore seperti ini. Setelan baju tidurnya yang tipis membuatnya semakin terlihat menarik. Aku memberikan tas kerjaku, seperti biasa Luna akan membawanya ke kamar.

Di meja makan sudah tersaji nasi goreng telor ceplok seperti yang kupesan tadi pagi sebelum berangkat kerja. Luna menemaniku makan malam. Dia tidak akan membiarkanku kesepian. Dia akan memberondongku dengan berbagai pertanyaan, bahkan tak jarang membuatku tertawa terbahak-bahak karena cerita kejadian-kejadian yang dilakukan oleh konsumen di tempat kerjanya.

“Kamu nggak makan, Sayang?” Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama. Luna membalasku dengan menggeleng. Diangkatnya cangkir merah jambu yang berisi teh manis, lalu menyeruputnya sedikit. Mendorong cangkir yang sama ke arahku. Aku menghabiskan teh hangat sisa istriku. Kami saling melakukannya.

Hujan datang di luar rumah, Luna bergegas ke ruang tamu untuk menutup pintu dan tirai jendela. Aku membantunya membereskan piring dan perabot sisa makan malam. Tubuh Luna bertemu tubuhku saat aku membalikkan badan dari wastafel. Luna tersenyum menggodaku, matanya nakal membuatku gemas.  Kurebahkan tubuhnya yang langsing di sofa, bibirku menciumi bibirnya. Sisa teh manis beradu di bibir kami. Tangannya memelukku, semakin erat seolah ingin mengatakan bahwa aku hanya miliknya. Aku mengambil kedua tangannya, mengencangkan pelukannya, aku tak ingin kami berpisah. Aku tak peduli walau tanpa anak sekalipun.

Istriku memang keras kepala, seperti yang pernah kubilang dulu. Dia akan melakukan apa pun demi kebahagiaanku. Meskipun mengorbankan kebahagiaan atau bahkan nyawanya sekalipun. Luna sudah memutuskan aku harus menerima permohonannya untuk menikahi Rere, adik temannya itu.

“Kamu boleh minta apa pun dariku, tapi jangan memintaku menikahinya,” aku berusaha menyakinkan Luna bahwa aku sudah tak ingin punya anak lagi.

“Kumohon, demi aku.” Wajahnya memelas. Pipi dan matanya memerah hampir menangis. Aku benci melihat kesedihan ini. Sungguh aku tak tega.

“Aku tidak bisa melakukannya, ini konyol.” Aku menciumi kedua matanya, mengelus punggungnya dengan lembut.

“Kelak, anakmu adalah anakku juga, bukan?” Luna memegang wajahku dengan kedua tangannya.

***

Hujan masih sering datang di bulan April. Aku terhuyung-huyung menuju rumah sakit, mencari-cari arah menuju laboratorium. Mataku menyapu setiap sisi ruang tunggu. Kosong, sepi. Aku kembali ke ruang lain. Hujan masih datang membelah sore ini. Kuhubungi Luna berkali-kali, namun ponselnya tidak aktif.

Tubuhku basah kuyup, tas kerja dan sepatu pun tak selamat dari hujan yang lebih pandai menyusup ke segala bagian yang diinginkannya. Hujan, Luna sangat menyukainya. Baginya hujan adalah kesetiaan. Hujan adalah kekuatan, hujan menyampaikan salam dari masa lalu. Luna selalu bahagia saat hujan turun, tapi di mana istri pertamaku sekarang ini? Bukankah tadi dia yang memintaku datang menemuinya di sini.

Mataku menelusuri apa saja yang bisa kulihat, berharap bertemu Luna di dalam hujan. Dadaku berdegup kencang. Aku mempercepat langkah saat mataku menemukan wanita yang kucintai itu berdiri terisak-isak di bawah pohon mahoni di sisi tempat parkir mobil.

Luna memeluk beberapa lembar kertas, melindunginya dari hujan yang kadang-kadang nakal. Aku memeluknya, tangisnya pecah di antara hujan dan angin yang menyusup ke tubuh kami. Luna memberikan kertas itu padaku, kali ini tangisnya terisak-isak tanpa suara. Dadaku makin bergemuruh, aku tak pernah rela melihat istri tercintaku menangis dengan alasan apa pun.

“Hasil tes kita tertukar, Mas.” Luna membuka amplop yang sebagiannya sudah basah itu, menunjukkannya padaku. Petir serasa menyambar-nyambar tepat di kepalaku. Aku mandul, tapi aku telah menuruti keinginan istriku untuk menikah lagi dua minggu yang lalu. Hatiku berkecamuk, aku jijik pada diriku sendiri.

“Maafkan aku, Mas.” Aku semakin tak bernapas, tubuh Luna memeluk terlalu erat. Aku mencium kedua matanya, bergantian sampai ke hidungnya. Air hujan datang lebih deras dan beringas. Seperti mewakili perasaan kami yang terjebak dalam keadaan yang rumit.

“Aku mandul, apakah kamu juga akan menikah dengan laki-laki lain?”

Kilat dan petir menyambar-nyambar di angkasa. Luna memeluk tubuhku makin erat, detak jantungnya menyatu tepat dengan jantungku. Bertemu di antara dada kami. (*)

 

Rachmawati adalah ibu dari Ibrahim dan Volkan, hobi membaca novel dan mengoleksi tanaman hias.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata