Masihkah Ada Celah untuk Kusinggahi

Masihkah Ada Celah untuk Kusinggahi

Masihkah Ada Celah untuk Kusinggahi
Oleh: Rachmawati

Pagi masih belum begitu sempurna, azan Subuh juga baru saja diakhiri dengan ikamah. Aku berusaha merayu mataku untuk membuka dan bertemu cahaya. Namun sisa-sisa tenagaku lebih kuat menggelayut pada setiap sisi tubuhku. Aku masih mengantuk, lebih tepatnya  lelah. setelah perjalanan hampir dua minggu di Pulau Dewata, Bali. Aku baru tiba di rumah pukul 02.10 pagi tadi.

“Dini, bangun, Nak, sholat Subuh dulu, nanti boleh tidur lagi.” Mama mengetuk-ngetuk pintu kamarku.

“Iya, Mama, Dini sudah bangun.” Aku menyingkap selimut Doraemon yang masih menutupi kedua kakiku, lalu bangkit dan mengikuti suara langkah Mama menuju tempat sholat di sebelah kamar Mama.

***

Kutatap layar komputer sudah lebih dari lima belas menit, aku bersikeras menulis, tetapi otakku seperti hilang ingatan, kosong. Berkali kali mencari ide untuk deadline yang sudah ditunggu oleh atasanku. Ide, gagasan dan pikiran, semuanya tiba-tiba tak mau berteman denganku, mendadak mereka sombong dan pergi meninggalkanku. Sama seperti kekasihku, Dimas Prayoga yang dengan tenang dia memintaku melupakannya dengan alasan telah dia telah jatuh cinta dengan teman barunya di tempat kerja.

“Din, lebih baik kita akhiri saja hubungan ini, orangtuamu tidak menyukaiku.” Dimas tidak menatapku saat berbicara. Aku memengang pundaknya, memberi isyarat untuk menatapku. Dimas tetap tak menghiraukanku.

“Kamu tidak berusaha membuktikan keseriusanmu pada orangtuaku? Kamu juga  tidak bisa meyakinkan papaku?” aku berbicara agak tinggi. Dimas menatapku, wajahnya penuh tanya. Aku merasa tidak enak dibuatnya, aku tidak biasa berbicara dengan nada tinggi selama 3 tahun kami berhubungan sebagai kekasih.

“Sebuah hubungan harus mendapat restu orangtua, Sayang, jika tidak maka tidak akan tenang kita menjalaninya.” Dimas membuang muka padaku, tangannya meremas-remas kunci motornya.

“Aku sudah memutuskan mengakhiri ini semua, aku akan memulai cerita baru, aku sudah memiliki kekasih lagi saat ini, kamu juga sudah dijodohkan dengan laki-laki pilihan papamu, bukan?” kalimat ini sungguh menyayat hatiku. Di saat Papa melarangku berhubungan dengan Dimas, dan aku mati-matian membelanya, justru dia memilih meninggalkanku, memberi luka dan menghancurkan semua rasa cintaku padanya.

“Baiklah, aku akan baik-baik saja, Dim, pergilah, pilihlah jalan hidupmu, aku akan menyimpanmu dalam hatiku.” Aku pura-pura tegar di hadapan kekasihku, meski hatiku hancur.

Dimas meletakkan kunci motor di atas meja kafe tempat kami berbincang sore ini, tangannya mengelus telapak tanganku dengan lembut. “Benarkah kamu akan baik-baik saja?” tanya Dimas sambil mengamati wajahku dengan serius. Aku hampir saja menangis, tetapi bersusah payah menahannya. Bagiku patah hati harus tetap punya harga diri.

“Pergilah, aku akan baik-baik saja, kita bukan anak kecil lagi, kan, aku akan menjaga diriku sendiri, begitupun kamu, jika suatu saat cinta kasih terbaikmu sudah habis datanglah padaku.” Aku melepaskan tangan Dimas, mengambil kunci motorku di atas meja, berjalan dengan tersenyum dan melambaikan tanganku padanya, seolah-olah aku tak keberatan berputus cinta denganku.

***

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sesekali mengintip lagi ke layar komputer di meja kerjaku. Hanya wajahku yang muram dengan kenangan pahit yang terlihat di layar yang sudah otomatis mati saat lama tidak digunakan untuk bekerja itu. Aku menghela napas, merapikan jilbab biru mudaku, lalu tersenyum. Kebanyakan orang percaya bahwa tersenyum bisa memberikan efek kekuatan yang luar biasa bagi pemiliknya. Namun nihil.

Aku menarik kursi kerjaku, berusaha mengusir kenangan-kenanganku bersama Dimas. Kalimat Dimas yang mengajakku putus tiga bulan lalu. Sebelum aku ditugaskan meliput kebudayaan Islam di pulau Bali oleh kantorku. Semakin keras aku mengusirnya semakin kenangan itu menyerangku seperti ribuan anak panah di medan perang Mahabharata.

Aku sedikit meyalahkan diriku sendiri, kenapa aku menerima keputusannya untuk mengakhiri hubungan kami. Kenapa pula aku harus pura-pura kuat, bukankah sebuah hubungan tidak dapat diputuskan sepihak saja. Kali ini aku benar-benar menangis.

Tempat kerja yang seharusnya kugunakan untuk mengabdi berbagi pengalaman dan liputan yang bermanfaat untuk orang banyak justru kuhabiskan untuk meratapi kegetiran kisah cintaku. Memang Dimas tidak sepenuhnya bersalah, papaku telah menjodohkanku dengan putra dari kawannya. Beberapa kali aku dipertemukan dengan putra kawannya itu, Reza. Untuk menghormati orangtuaku aku terpaksa berjalan dengan Reza. Dari yang telah kami lalui, justru kami memahami satu dengan yang lain. Reza sudah punya penghuni di hatinya, dia tidak ingin menyakiti dan mengkhianati gadis pujaannya. Aku pun demikian halnya, aku mencintai Dimas. Belum sempat kuutarakan kabar bahwa perjodohanku dengan Reza dibatalkan, Dimas telah lebih dulu memilih mencari tambatan hati yang baru.

***

Jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan kulalui dengan berpura-pura bahagia. Tugas kantor untuk meliput berita ke beberapa daerah kuterima dengan penuh semangat, berharap dapat melupakan Dimas beserta kenangannya. Meski lama tak kedengar kabar tentangnya, aku tak berusaha mencari apa pun yang berhubungan dengan dirinya. Tak pantas seorang gadis masih memperhatikan mantan kekasihnya, walau hanya sekadar bertanya kabar. Seperti kata Tere Liye: Boleh patah hati, tetapi harus tetap sombong.

Reza datang ke rumahku bersama gadis yang anggun, rambutnya lurus sebahu, berponi, hidungnya mancung dan bibirnya tipis, cantik sekali dengan rok jins pendek dan atasan kaos panjang merah muda. Aku menerima keduanya dengan hangat. Sekarang aku dan Reza adalah sahabat dekat. Dia banyak membantuku menyelesaikan masalah-masalahku, baik masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. Aku menghormatinya, dia tampan, baik dan berwibawa. Sungguh aku iri dengan kekasihnya, beruntung dia memiliki pria yang sempurna seperti Reza, terlebih yang  penting adalah kesetiaan dan perjuangannya.

“Aku mau mengantar undangan pernikahanku, Din, aku antarkan sendiri dengan calon istriku karena aku menganggapmu sebagai keluargaku dan sebagai bentuk hormatku pada orangtuamu.”

Aku menerima kertas merah muda yang dililit pita emas dari tangan Reza. Aku tersenyum dan mengangguk mantab.

Sungguh, jasat dan ruhku melayang-layang mencari sebuah kebenaran. Di mana cinta sejati untukku berada. Sekuat apa pun aku menghadapinya, aku adalah seorang gadis lemah saat ini. Sekilas wajah Dimas begitu jelas di pelupuk mataku. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah yang dipenuhi canda, tawa, cemburu, kasih, sayang dan buaian kasmaran. Memoriku sudah dipadati kisah-kisah cinta yang membara dengan Dimas. Jelas siapa pun tak akan mampu melupakannya.

Aku tersenyum kecut mengejek nasibku sendiri.

***

Aku datang ke pesta pernikahan Reza bersama kedua orangtuaku. Meski perjodohanku dengan Reza gagal, tetapi hubungan keluarga kami tetap baik dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Kupandangi dan kusimak seluruh sisi ruangan pesta, penuh dengan jiwa-jiwa bahagia, mungkin hanya aku yang dirundungi derita karena masih belum move on dari patah hati. Hancur seperti cermin yang berserakan menjadi puing-puing kecil, di mana setiap bagian serpihannya memantulkan kesedihan yang sangat ironi bagi wajahku sendiri.

Aku memilih duduk sendiri di ujung ruangan, menikmati setiap sudut pemandangan yang mewah. Seorang pria muda megenakan kemeja kotak-kotak biru menghampiriku, wangi parfumnya tidak asing. Aku mengamati dengan sepenuh hati. Mendadak jantungku berdebar tidak beraturan, napasku seperti tertahan di kerongkongan. Kekasih pujaan hatiku yang telah menyiksa siang malamku hampir setahun ini berdiri di hadapanku. Dimas mengulurkan tangan untuk bersalaman denganku, aku mebalasnya.

“Kamu kenal dengan pengantinnya?”

Pertanyaan Dimas memanggil kesadaranku, sehingga aku tergagap. “Iya, iya, aku kenal mereka.”

Aku mempersilakannya duduk. Aku menceritakan kisah perjodohanku dengan Reza dan keberadaanku di pesta ini. Dimas menatapku dengan pandangan kuyu, aku menyembunyikan salah tingkahku, berusaha tenang agar tidak terlihat mengenaskan di hadapan mantan kekasihku.

“Pengantin wanitanya adalah temanku saat SMA dulu, aku datang karena undangannya.” Dimas membetulkan posisi duduknya, menggeser kursi lebih dekat denganku, membuat jantungku makin tidak keruan. Darahku berdesir, aku mencoba mengontrol diriku agar tidak berlebihan saat mengomentari ucapannya. Mataku mencari-cari siapa tahu dia datang dengan kekasih atau istrinya, bisa-bisa aku terlihat konyol nantinya.

“Maafkan aku, selama ini aku berbohong kepadamu. Aku tak pernah menjalin hubungan dengan gadis mana pun. Papamu yang memintaku pergi darimu, tapi setelah aku berpisah denganmu, aku tersiksa. Aku berusaha keras melupakanmu yang kupikir telah menikah dan menjadi milik orang lain. Aku membenci diriku sendiri, karena aku terlalu lemah sebagai seorang pria, tapi sekarang tak akan kuulangi lagi. Di mana orangtuamu?”

Aku tercengang mendengar penjelasan Dimas. Dadaku dipenuhi rasa yang bercampur aduk, hatiku bergemuruh, lalu aku menyadari bahwa siapa pun bisa membuat hatiku selah dipermainkan, tetapi hanya diriku sendiri yang mampu mengendalikannya. Begitulah kebanyakan manusia merasa sakit, tetapi masih bisa  memaafkannya. Lagi pula aku tak peka pada perasaanku sendiri selama ini.

Dimas menemui orangtuaku di meja makan paling depan, mengutarakan keinginannya meminangku menjadi istrinya. Papa tak perlu meminta maaf pada kami, cukup izinkan dan restui saja maksud baik kami yang sempat tertunda.

 

Rachmawati. Lahir di Semarang, 17 November 1983. Lulusan Sastra Indonesia UNNES.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata