Pencuri Angka

Pencuri Angka

Pencuri Angka
Oleh: Mila Athar

Bocah berumur belasan tahun tersebut mengendap-endap dengan badan agak dibungkukkan. Suasana sepi tak menyurutkan langkahnya. Meja yang ditujunya sudah semakin dekat. Dia celingak-celinguk melihat sekitar. Keadaan masih aman. Ruangan dengan dominasi meja dan kursi ini memang sudah tak berpenghuni.

Si bocah lekas membuka laci dengan hati-hati dan menemukan apa yang dicari. Angka-angka berpendar dengan menampilkan berbagai raut. Ada yang tersenyum ceria, masam, senyum biasa, sampai muka datar. Angka dengan ekspresi senyuman paling lebar berada di pojok laci. Angka yang telah lama ia idam-idamkan. Segera dikantonginya angka sempurna tersebut. Ia harus bergerak cepat, selagi angka-angka yang lain sedang tertidur pulas.

“Hei, siapa kau? mau dibawa ke mana aku?” Si angka sempurna ternyata terkaget dan protes. Ia terbangun ketika tangan si bocah mencengkeramnya.

“Diamlah, jangan berisik. Kau bisa mengagalkan rencanaku.”

“Oh, kau siswa sinting, aku tak mau ikut. Bagaimana bisa kau mengambilku. Kau tak berhak.” Dengan bersungut-sungut angka sempurna protes.

“Diamlah, aku berhak atas dirimu. Kalau kau berisik akan kusumpal mulutmu itu.”

“Aku tak akan diam. Tolong, tolong!” Tiba-tiba sang angka menjerit dan membuat gaduh ruangan.

Sang bocah panik dan segera menyumpalnya dengan kertas yang diambil di meja terdekat. Dia bisa menggagalkan rencana.

***

Pagi ini ruangan guru heboh. Satu angka sempurna milik salah satu guru raib. Otomatis, ia tak bisa memberi nilai sempurna di pelajarannya.

“Coba periksa, siapa tau dia sedang mengerjaimu.” Salah satu guru menyampaikan pendapat.

“Sudah kucari, bahkan angka-angka yang lain tak tahu menahu. Justru mereka begitu bahagia, angka sempurna menghilang.”

“Repot ini, padahal ujian tinggal besok. Bagaimana aku bisa memberi nilai, jika si angka sempurna menghilang.”

“Berharap saja siswamu tak ada yang mendapat angka sempurna. Toh, juga si angka jarang terpakai.”

“Pinjam nilaimu saja, boleh tidak?” Sambil mengedip-ngedipkan mata sang guru berkata.

“Enak saja, lalu aku bagaimana?”

“Kau bilang di pelajaranku jarang terpakai. Bagaimana dengan pelajaranmu sendiri, lebih tidak terpakai lagi. Karena mata pelajaranmu itu lebih susah.”

“Tapi tetap saja, aku yakin suatu saat angkaku akan terpakai. Itu angkaku satu-satunya. Jadi, maaf saja tak akan kupinjamkan.”

“Sudah beli saja lagi di toko para guru.”

“Enak saja, aku harus menghabiskan banyak uang untuk membelinya.”

Sang guru hanya bisa tersenyum masam. Ia bingung ke mana harus mencari sang angka sempurna yang menghilang.

***

Akhirnya dia lega melihat sang angka tertidur. Sejak kemarin dia menahan kesabaran. Ocehan sang angka yang tak berkesudahan membuat kepalanya pusing.

Dia merasa berhak memiliki si angka. Sudah tiga tahun dia berjuang di sekolah. Belajar sampai larut malam, les sana-sini. Namun, tetap saja angka sempurna tak pernah dimilikinya. Iya curiga, gurunya pelit nilai. Apalagi pelajaran Bahasa Inggris adalah pelajaran yang disukainya.

“Hai, kau kapan akan mengembalikanku?”

“Tidak akan,” dengan ketus si bocah menjawab.

Sang angka mengamati dengan raut sinis. “Kau tak bisa mendapatkanku dengan cara curang seperti ini.”

“Biar saja, aku telah lama menunggu kau menjadi milikku. Namun si guru pelit tak kunjung memberikan kau padaku.”

“Hahaha, tentu saja kau tak pantas. Orang yang memilikiku adalah orang yang harus benar-benar jenius.”

“Ah, sudah diamlah. Atau kau mau kusumpal lagi!”

Gertakan sang bocah membuat angka bersungut-sungut. Dari hati kecilnya, si angka sebenarnya juga ingin segera dimiliki. Tidak hanya tinggal di laci guru yang pengap dan sempit.

Namun, sisi hatinya lain ia tak ingin dimiliki oleh bocah culas satu ini.

***

Tubuhnya terguncang-guncang ketika ia terjaga dari tidur. Sepertinya ia sudah tidak berada di kamar sang bocah. Ia menduga berada dalam tas. Bau kulit sangat khas tercium. Tubuhnya kembali terguncang dan ia terlempar ke sudut. Mau tidak mau ia berpegangan erat. Perut si angka mulai teraduk-aduk. Sebenarnya mau ke mana si bocah tengil ini akan membawanya.

Lima belas menit kemudian tubuhnya sudah tak berguncang. Ia mendengar bunyi klik dan motor berhenti. Sang angka sedikit menarik napas lega.

Samar-samar ia mendengar suara hingar bingar orang-orang berkumpul. Sang angka juga mencium aroma masakan berbau pekat. Melalui celah ritsleting samar-samar ia bisa melihat.

“Hai, Bro, lama tak kelihatan. Ke mana saja?” Seorang bocah berbaju merah menepuk bocah tengil dan mereka bertos bersama.

“Biasa saja, kau yang tak nampak selama ini.”

“Iya, kemarin aku sibuk mempersiapkan lomba ke Jepang.”

“Wah, hebat. Kapan kau berangkat?”

Si bocah tengil tersenyum. Namun ia bisa melihat senyumnya tak sampai ke mata.

“Minggu depan.”

Tiba-tiba dari arah samping suara berisik mengalihkan perhatian mereka.

Sang angka terpana. Dua buah angka serupa dengannya sedang berdebat. Mereka seperti meributkan sesuatu. Namun, ia tak bisa menangkap dengan jelas.

“Hai, sudah kalian jangan ribut. Bukankah kalian sudah berjanji untuk akur. Kumasukkan ke dalam gudang seperti teman-teman kalian jika masih ribut.”

Mendengar perkataan si baju merah, mereka seketika terdiam dan duduk di dekat sang majikan.

“Heran, angkanya saja yang sempurna. Kelakuan mereka nol besar,” si baju merah bersungut-sungut.

“Ngomong-ngomong soal angka. Aku baru saja mendapatkannya minggu ini.” Dengan pongah si bocah tengil berkata.

“Wah, benarkah. Selamat, kuharap sang angka sempurna yang lain segera menyusul. Kau akan merasakan betapa sesaknya rumahmu nanti.” Sang bocah tengil hanya menjawab dengan sentuman hambar.

“Aku ingin lihat angka pertamamu, kau bawa tidak?”

“Tentu saja aku membawanya.”

Sebuah tangan mencengkeramnya. Kini secara utuh dia dapat melihat suasana sekitar warung. Setelah cengkeraman si bocah lepas, dengan tangkas dia segera berlari ke arah jalan dengan gerakan cepat. Tak dipedulikannya teriakan bocah tengil di belakangnya.

Tanpa menghiraukan sekitar, dia berlari ke arah seberang jalan karena melihat sang pemilik sedang duduk di tengah taman. Ia belum sempat menarik napas lega ketika tanpa diduga dari arah kanan sebuah motor bebek membuat tubuhnya terpental dan membuat tubuhnya terasa remuk. (*)

 

Mila Athar. Gadis Jawa yang senang membaca berbagai genre cerita. Saat ini sedang belajar menulis. Sangat ingin bergabung dengan berbagai grup kepenulisan agar konsisten menelurkan berbagai karya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply