Ruby Sparks, Film yang Tak Bisa Membuatmu Bosan
Oleh: Fitri Fatimah
Sutradara: Jonathan Dayton dan Valerie Faris
Produser: Albert Berger dan Ron Yerxa
Penulis skrip: Zoe Kazan
Tanggal Rilis: 25 Juli 2012
Ini kedua kalinya saya menonton film bergenre romantic-comedy ini. Saya ingat inti ceritanya, saya ingat endingnya bagaimana, saya ingat apa yang sampai jadi konfliknya, tapi saya lupa hal-hal semacam kata-kata apa di sana yang bikin nyess ke hati saya, saya bahkan lupa nama masing-masing tokohnya, kecuali tentu nama tokoh perempuannya, karena namanya juga dijadikan judul film ini, Ruby Sparks.
Jadi saya termasuk orang yang susah menghapus film-film yang padahal sudah saya tonton. Saya lebih suka menumpuknya, bahkan meski itu akan membuat memori eksternal notebook saya terancam merah. Habisnya saya sayang. Saya sayang pada film-film yang sudah berhasil membuat saya tertawa, menangis, jatuh cinta, dan segala emosi pelangi lainnya. Saya bahkan dengan konyolnya meniatkan, saya bakal tetap menyimpan film-film itu di folder Movie, berbulan-bulan, bahkan mungkin sampai lebih tahunan, hingga nanti ingatan saya sudah lumayan tercuci, lumayan lupa pada jalan ceritanya, dan saya bakal, paling tidak, mendapatkan sensasi yang mendekati ketika saat pertama kali menontonnya, ketika kepala masih seputih kertas kosong. Dan … film ini termasuk yang sangat saya sayang dan karenanya, sudah saya simpan baik-baik untuk ditonton ulang.
Dan benar saja, film yang ditulis langsung oleh Zoe Kazan, yang juga berperan sebagai Ruby Sparks di sini, masih sukses membuat saya kembali cekikikan, tertawa, menangis, terkejut, juga takjub.
Cerita dimulai dari keseharian seorang novelis muda terkenal bernama Calvin Weir-Fields (diperankan oleh Paul Zano) yang sedang mengalami writer’s block. Di salah satu sesi dengan psikiaternya dia mengemukakan berbagai alasan kenapa dia tidak lagi bisa menulis. Seperti karena dia agak terganggu dengan Scotty—nama anjingnya—yang selalu berliur, selalu mengunyah benda-benda, sering keluar, dan pipis seperti wanita, membuatnya canggung, jadi aku tak menulis. Tapi saat kemudian ditanyai lagi, apakah itu benar-benar alasannya tidak menulis, dia tahu, bukan itu. Lalu si psikiater memberikan Calvin tugas menulis, satu halaman saja, tentang seseorang yang melihat Scotty yang berliur dan pipis seperti wanita, tapi tetap akan menyukai anjing itu sebagaimana adanya. Dan, boleh ditulis sejelek-jeleknya.
Sampai di sini saya seakan bisa relate. Kadang kita tidak bisa menghasilkan tulisan bagus ketika disuruh menulis bagus. Justru ketika disuruh menulis dengan jelek, kita lebih plong, tidak ada tekanan, tidak terbebani, dan bahkan pada akhirnya lebih berpeluang melahirkan tulisan bagus.
Jadi begitulah bagaimana kemudian Calvin mulai menulis tentang seorang tokoh bernama Ruby Sparks, tokoh rekaan yang yang beberapa waktu terakhir sering muncul di mimpinya. Calvin menuliskan tentang perempuan itu dengan kekalapan seorang penulis yang dibanjiri ide: dia tidak makan, tidak keluar rumah, dan hanya terus menulis—dengan menggebu-gebu—hingga tulisannya bukan lagi satu halaman, tapi berhalaman-halaman yang tebal.
Ruby Sparks. Usianya 26 tahun. Dibesarkan di Dayton, Ohio. Ruby jatuh hati pada Humphrey Bogart dan John Lennon. Dia menangis saat tahu mereka sudah mati. Dia dikeluarkan dari SMU karena meniduri guru kesenian atau mungkin guru bahasa Spanyol. Belum kuputuskan. Ruby tak bisa menyetir. Dia tak punya komputer. Dia benci nama tengahnya, Tiffany. Dia selalu, selalu mendukung pihak yang tak beruntung. Dia rumit, itu yang paling kusukai mengenainya.
Begitulah bagaimana Calvin menggambarkan Ruby Sparks dalam novelnya. Hingga kemudian dia sadar, bahkan meskipun aneh kedengarannya, tapi dia jatuh cinta dengan tokoh karangannya sendiri.
Di sini saya dibuat terhenyak—saya lupa apakah dulu ketika pertama kali menonton saya juga terhenyak di bagian ini—dan berpikir, betapa dia pasti telah mencurahkan seluruh hatinya ketika menulis novel itu sampai-sampai bisa jatuh cinta dengan tokoh di dalamnya. Saya geleng-geleng kepala takjub. Juga iri. Karena sampai sekarang saya termasuk yang belum bisa menciptakan tokoh sehebat itu.
Lalu, di sinilah di mana bagian menariknya dimulai. Out of nowhere, tiba-tiba saja muncul seorang gadis di rumah Calvin yang mengaku dirinya adalah pacar Calvin, dan dia bernama Ruby Sparks, dan dia persis sebagaimana bayangan Ruby Sparks di dalam mimpi ataupun tulisan Calvin. Ternyata entah bagaimana tokoh karangannya menjadi hidup, berbentuk nyata dalam daging dan darah.
Awalnya Calvin mengira dirinya sudah jadi gila, bahwa mungkin daya khayalnya sudah kelewat keterlaluan. Tapi ketika dia pergi ke luar dengan Ruby dan mendapati bahwa bukan hanya dirinya seorang yang bisa melihat gadis di sampingnya ini, tak urung Calvin merasa senang. Ini Ruby, gadis impiannya.
Yang paling saya suka dari film ini adalah bahwa meskipun ada hal aneh yang muncul di dalam cerita, tetapi hal anehnya disajikan dengan halus sehingga kemudian kita bisa menerimanya dengan sangat wajar. Bahkan pertanyaan tentang apakah Ruby ini nyata atau tidak yang tetap menjadi misteri hingga ending, terasa sebagai kekuatan dari film ini, seakan misteri itu adalah ruang kosong yang memang disajikan oleh sutradara untuk kita nalar dan cari jawabannya sendiri, dan bukan sebuah wujud dari plot hole.
Saya juga suka bagaimana tokoh utamanya berbeda dari kebanyakan tokoh utama dalam film hollywood. Calvin sama sekali bukan tokoh sempurna yang memiliki penampilan keren atau pembawaan cool. Justru sosok Calvin biasa-biasa saja—kecuali kemampuan menulisnya yang memang luar biasa—dia cungkring, memakai kacamata, sangat tipe culun dan kutu buku. Sifatnya juga kadang egois, kikuk, dan bahkan menyebalkan. Tapi inilah yang membuatnya jadi manusiawi, dan membuat film ini jadi terasa nyata.
Lalu bagaimana kemudian cerita berlanjut dengan kehidupan cinta Calvin dan sang gadis impiannya. Bagaimana, bahwa meskipun Ruby adalah tokoh yang dia ciptakan, tapi Ruby juga punya jalan pikir sendiri, yang kadang kala bertentangan dengan Calvin. Misalnya saja, sementara Calvin adalah introvert, Ruby justru sangat friendly. Dan sementara Calvin puas dengan mendekam di dalam rumah sambil membaca, Ruby ingin bersosialisasi, atau setidaknya melakukan hal lain sehingga dunianya tidak hanya berotasi di sekitar kekasihnya. Dari sinilah masalah di antara mereka dimulai.
Karena Calvin justru memang ingin jadi pusat rotasi Ruby.
Sebelumnya Calvin pernah berkata pada kakaknya, Harry Weir-Fields (diperankan oleh Chris Messina)—satu-satunya orang yang tahu bahwa Ruby adalah tokoh hasil karangannya—bahwa dia tidak akan mengubah Ruby, dia tidak akan menambahkan tulisan lagi tentang Ruby (meskipun dia bisa, dia hanya tinggal mengambil mesin tiknya lalu menuliskan apa saja, niscaya Ruby akan menjadi seperti apa yang tertulis), tapi lalu dia goyah. Sifat Ruby yang tak terduga membuat Calvin mengingkari janjinya sendiri, dia kemudian mengambil kembali mesin tiknya, dan menambahkan beberapa kalimat sehingga Ruby, sesuai dengan yang diinginkannya. Pada akhinya, Calvin dihadapkan pada kenyataan bahwa menjalani hubungan nyata tidak semudah ketika menulis novel. Bahwa perempuan tidak sesimpel itu.
Salah satu scene favorit saya adalah ketika Calvin membacakan kutipan novelnya dalam sebuah acara, isinya seperti ini:
“Tetap saja, aku menulis ini untuknya, untuk mengatakan, ‘Aku menyesal atas setiap kata yang kutulis untuk mengubahmu. Aku menyesali banyak hal. Aku tak bisa melihatmu saat kau di sini dan kini saat kau sudah pergi, aku melihatmu di mana-mana.’ Orang mungkin membaca, mengira ini keajaiban … tapi jatuh cinta adalah tindakan ajaib. Demikian juga dengan menulis.”
Intinya film ini sangat recommended. Bagaimana tidak, menontonnya dua kali bahkan belum bisa membuat saya bosan. Saya sedang menanti-nantikan apa yang akan saya rasakan nanti ketika menonton untuk yang ketiga kalinya. Happy watching! [*]
Sumenep, 30 April 2019
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata