Dia yang Menari Bersama Api
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Jauh sebelum dia memutuskan menari bersama api, dia bertanya apa kesukaan saya. Saya menjawab sebagaimana yang saya selalu katakan pada orang-orang, “Ada banyak orang sekarat. Saya ingin menolong mereka.”
Dia tertawa sampai terpingkal, sampai terjungkal dari kursi, hingga saya mesti membantu duduk dan memberi air agar dia tidak tersedak tawanya sendiri. Anehnya, dia masih juga tertawa.
Saya jadi heran. Kami bersahabat sejak anak-anak, jadi saya mengetahui bahwa dia bisa tertawa sedemikian gila karena dua hal: Satu, sesuatu yang teramat gila. Kedua, Sesuatu yang sangat dia remehkan. Apa dia tertawa karena menganggap saya gila? Atau justru meremehkan saya?
Saya tidak mengerti.
“Saya tidak menyangka bahwa seseorang sepertimu bisa lupa diri sendiri.”
Nah, saya tambah tidak mengerti dengan perkataannya tadi.
“Kamu suka mencuri gunung dan memasukkannya ke lukisanmu. Kamu suka mengambil warna langit hanya untuk menyempurnakan lukisanmu. Kamu suka melukis, kamu tahu itu. Jadi, kenapa harus berpura-pura dan berkata bahwa kamu menyukai hal lain?”
Saya diam, sedangkan dia masih saja tertawa.
Saya ingat pengalaman ketika mencuri benda-benda tersebut: kadang, tangan saya terluka karena menarik sebuah benda tergesa-gesa, seperti saat melukis Negeri 1001 Malam; kadang, nodanya sangat sulit dihapus, seperti tatkala saya menorehkan magma pada lukisan gunung meletus. Kendati demikian, saya ingat euforia setiap berhasil menyelesaikan satu karya. Saya tersenyum hingga pipi saya sakit, lantas memamerkan hal tersebut pada orangtua.
Namun, mereka justru memandang saya kecewa.
Saya mengepalkan tangan. “Orangtua saya berkata bahwa saya akan dicap pencuri gara-gara kebiasaan saya. Saya takut sekali. Saya takut dikeroyok dan dijebloskan ke penjara gara-gara hal itu.”
Waktu itu, dia berhenti tertawa. Dia memandang saya lekat. Saya mengartikannya sebagai pandangan kecewa.
“Wajah saya jelek. Saya buta warna. Saya tidak punya apa-apa. Apa karena hidup saya seburuk itu, saya harus berpura-pura?” Saya menundukkan kepala, merasa amat kerdil. Dia sudah hidup susah sejak kami pertama bertemu, saya tahu itu. Saya juga tahu seberapa keras dia menanggapi kehidupan—betapa dia menghargai sesuatu bernama kebebasan.
Saya ingat, ketika pertama bertemu, dia tengah berputar-putar di tengah padang rumput. Kakinya lebam. Tangannya terluka. Saya tergesa menaruh palet, mengambil P3K, lantas memintanya berhenti agar dapat saya obati. Dia tertawa waktu itu, berkata bahwa saya sangat aneh karena menolong orang tidak dikenal. Saya balik menanyakan dari mana dia mendapat luka-luka itu yang dia jawab santai, “Bapak yang melakukannya.”
Dia tidak bercerita lebih lanjut. Saya juga enggan bertanya. Saya hanya tahu bahwa seseorang yang selalu menari dengan tubuh terluka itu ada di depan saya dan dengan bangga menunjukkan bekas sayatan di tangan serta kakinya, “Kalau saya takut menjadi diri saya sendiri, saya akan berdiam diri di rumah itu. Jadi tahi.” Dia lagi-lagi tertawa, “Atau, karena sudah pernah jadi tahi, makanya saya tidak takut berakhir jadi tahi? Bagaimana menurutmu?”
Dia berhenti tertawa, juga mengatakan sesuatu tentang tahi. Setelah itu, kami berpisah: saya dengan mimpi “palsu” saya dan dia dengan keahlian menarinya. Saya sukses dengan mudah, sedangkan dia tidak. Orang-orang lekas memberikan selamat, sedangkan saya tersenyum, berkata bahwa perjuangan saya tidak seberapa dibandingkan seseorang yang lebih berani. Saya jujur soal hal ini, karena sekeras apa pun, sesukses apa pun, nyatanya dia selalu berjalan di depan saya.
Dia … yang berani melakukan apa saja untuk bisa menari, termasuk menari bersama api.
Pertama mengetahuinya, saya lekas menyelesaikan operasi dan mendatanginya yang sudah mendapat luka bakar. Dia mengomentari wajah saya yang terlihat amat lucu, sedangkan saya membalas, “Berhenti saja. Kamu bisa melakukan hal lain.”
Dia tertawa. “Kamu tahu sendiri, saya tidak punya yang lain.”
Saya diam. Dia tidak tertawa, malah tersenyum. Lantas, saya berpikir, semisal saya tidak punya hal lain apakah saya bakal seberani dia? Jika mencuri pemandangan adalah bakat tunggal saya, beranikah saya untuk mengorbankan segala-galanya, menerima sakit sepedih-pedihnya, untuk mewujudkan mimpi saya? Jika iya, apa karena itu dia dapat memilih dengan bebas, mengabaikan semua probabilitas riskan atas mimpinya?
“Jangan khawatir. Ini mimpi saya.”
Dia pergi. Menari. Terbakar. Lalu, saya datang, mengobatinya berkali-kali. Meminta agar dia berhenti. Dia lagi-lagi tertawa. Bahkan, meski kulitnya tidak lagi dapat disembuhkan, dia masih saja dapat memandang saya dengan berbinar, percaya diri—meyakinkan saya dengan segala yang dia punya, “Saya akan menari, apa pun yang terjadi.”
Sering kali saya iri dengan pandangan serta kepercayaan diri itu. Dia bisa melakukan apa yang dia inginkan, jadi kenapa saya memilih mundur demi mengikuti perintah orangtua? Dia bisa bertahan sedemikian lama meski menari bersama api, jadi kenapa saya gentar, takut bisa mati hanya karena dikeroyok, disebut pencuri? Dia bisa bermimpi, jadi kenapa saya tidak?
Akan tetapi, kemudian, saya akan menyesali semua pikiran tersebut … sebab memang dibutuhkan seseorang yang nekat, yang percaya pada hal-hal utopis, irasional, untuk dapat bertahan di kondisi sedemikian buruk. Salah satunya adalah … dia yang tubuhnya mulai hancur karena menari bersama api.
***
Dia masih menari bersama api. Saya berkali-kali datang, menawarkan air guna memadamkan api yang kian membesar. Saya membujuknya, berkata bahwa dia terlalu berharga untuk hilang, untuk mati sia-sia, tetapi dia lagi-lagi tertawa hingga nyaris tersedak abu.
“Saya tidak mati. Kalaupun saya mati, saya mati bahagia. Saya mati karena berani memilih dan bukannya hidup sebagai anjing dungu.”
Saya menangis keras, bukan karena mengerti bahwa sayalah anjing dungu itu, melainkan kenyataan bahwa dia bahagia dengan pilihannya. Tidak seorang pun berhak mengusik kebahagiaan orang lain dan saya memercayai hal itu. Namun, mestikah saya mendiamkan dia hingga mati dan menjadi abu?
Saya tidak tahu—atau mungkin saya tahu, tapi tidak setuju—dan hanya bisa melihatnya dalam diam: dia yang masih saja menari bersama api. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata