Perjalanan Paling Jauh
Oleh : Mila Athar
Takdir Tuhan tidak ada yang bisa menebak. Kita hanya pemain yang harus siap dengan segala kejutan yang akan kita terima. Layaknya permainan roller coaster ada saat kita diajak berputar ke atas dan ke bawah, dijungkir balik. Ada yang menghadapinya dengan tawa, jerit, tangis, atau bahkan pasrah dengan diam atau menutup mata. Lalu risiko terbesar dari naik roller coaster adalah kita harus siap terjatuh sewaktu-waktu dan tak bernyawa lagi.
***
Kendaraan tampak menyemut di jalan utama sore ini. Rata-rata didominasi oleh kendaraan roda empat dan dua. Kondisi jalan seperti ini adalah makanan sehari-hari warga Ibu Kota. Bahkan sampai ada istilah tua di jalan. Karena sebagian besar waktu mereka habis untuk berhimpitan dengan pengendara lain. Mata tegas itu menatap gelisah. Mobil yang dikendarainya dari tadi hanya bisa maju beberapa meter. Padahal sudah satu jam sejak ia mengendarai kendaraan metalik merah miliknya.
Awan mengetuk-ngetuk dashboard mobil. Berulang kali ia mengecek jam dan semakin gelisah. Istrinya sejak sehabis asar tadi telah menunggu. Mereka berencana akan mudik ke kampung halaman sang istri karena satu purnama lagi buah hati mereka akan segera hadir. Buah hati yang telah mereka nanti selama tiga tahun ini.
Lampu di depannya kembali hijau, Awan bergegas mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia tidak boleh terlambat, karena tiket pesawat yang mereka pesan akan terbang pada pukul setengah tujuh malam.
Jam di tangannya menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit. Mepet sekali. Ia gelisah, ceramah yang harus dilakukannya untuk para petinggi salah satu perusahaan ternama tadi memakan waktu karena acara molor. Langit sudah mulai berganti warna. Awan masih mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lima menit lagi ia akan sampai di komplek tempat tinggalnya.
Namun takdir berkata lain, setelah dia membelokkan mobilnya ke arah kanan ada truk besar yang membanting mobilnya hingga terguling. Tiba-tiba semuanya gelap.
***
Sekitarnya putih bersih, lelaki berparas tampan tersebut duduk di sebuah kursi. Ia terheran-heran, suasana sekitarnya sangat tenang. Sejuk membelai kulit, walaupun sekitarnya tidak ada pohon ataupun tanaman. Hatinya begitu damai. Inikah yang dinamakan surga?
Tiba-tiba seberkas cahaya datang dari arah kanan. Cahaya tersebut begitu menyilaukan hingga ia harus menutup matanya dengan sebelah tangan. Pantulannya membuat sekitarnya bersinar begitu cemerlang. Lalu selama beberapa detik, cahaya itu kembali menghilang.
Satu sosok berwajah rupawan tiba-tiba sudah berada di depannya. Wajahnya begitu bersih dan belum pernah ia lihat ada di dunia. Inikah Malaikat? Ia bertanya-tanya dalam hati.
Tiba-tiba ia mengangsurkan tiga buah benda yang menyerupai kurma namun berwarna putih susu. Secara refleks ia menerimanya dengan satu tangan.
“Gunakan benda ini sebaik-baiknya untuk menolong mereka kembali ke jalan yang lurus, maka kau akan kembali ke duniamu.”
Suaranya yang jernih membuatnya terkagum-kagum.
“Waktumu terbatas, hanya sampai purnama bersinar sempurna.”
“Apa yang harus saya lakukan?”
Sosok berbaju putih itu hanya tersenyum kemudian menghilang dalam sekejap. Belum hilang rasa penasarannya, tubuh itu tiba-tiba telah terseret ke sebuah lorong hitam yang membuat kepalanya mendadak pusing.
***
Suara bruk dari tubuh tertimpa sesuatu yang dingin dan keras membuatnya membuka mata. Kepalanya sedikit pening. Ia segera melihat sekitar dan terperanjat melihat puluhan orang sedang duduk di kursi dan mendengarkan penjelasan dari seseorang. Ia segera menyadari, sekarang berada di sebuah kelas.
Pemuda tersebut siap menebalkan muka dan menghalau rasa malu. Mungkin mereka heran mengapa ia tiba-tiba berada di kelas tersebut. Tetapi, tunggu dulu mengapa dari tadi mereka seolah mengacuhkannya. Pandangan mereka ke arah depan tempatnya berdiri, tetapi mereka sibuk memperhatikan layar.
Ia memutuskan untuk menghampiri seorang pria yang duduk paling depan.
“Mas, maaf mengganggu ketenangan belajar kelas ini. Saya boleh bertanya ini di mana?”
Namun lelaki berkemeja kotak itu hanya bergeming. Ia kesal dan memutuskan bertanya kepada seorang gadis yang duduk di belakang pria tadi dan bertanya pertanyaan yang sama. Namun, hasilnya sama.
Setelah bertanya ketiga kalinya, akhirnya ia menyadari situasi. Mereka tak bisa melihat wujud atau mendengar suaranya. Hatinya terasa dihantam. Mungkinkah sekarang ia menjadi roh gentayangan?
Ia terduduk lemas dan bersandar pada dinding kelas. Pemuda tersebut tak tahu kejutan demi kejutan akan terus dialaminya. Tubuhnya masih terasa lemas, namun kembali ia dikejutkan dengan pemandangan aneh di depannya. Seorang lelaki berumur dan bertubuh agak tambun yang berpenampilan aneh. Kedua kakinya terikat dengan rantai cukup besar. Sebuah bola kapas namun berwarna kehitaman menyumbat telinganya.
Kedua benda tak lazim tersebut ternyata juga terpasang di tubuh para mahasiswa. Hanya ada sekitar lima orang yang berpenampilan normal. Mereka tampak biasa-biasa saja. Dosen tersebut juga bergerak bebas dengan ringan seolah tanpa beban.
Tahu-tahu kelas sudah berakhir. Ia harus berpikir cepat untuk memecahkan misteri ini. Dan pilihannya jatuh kepada si dosen. Lekas diikutinya sang pengajar sebelum hilang dari pandangan.
***
Ruangan sang dosen begitu rapi dan bersih. Dinding ruangan tersebut dipenuhi oleh berbagai piagam penghargaan dari dalam dan luar negeri. Foto-foto semasa wisuda dengan background perguruan tinggi ternama di luar negeri juga terpampang di dekat pintu. Rak-rak dengan puluhan buku berjajar rapi dan hampir memenuhi ruangan. Ternyata, lelaki ini bukan dosen biasa. Dia adalah seorang profesor yang memiliki segudang prestasi. Syamsul Hadi, di mejanya terpampang namanya diikuti gelar berderet. Bahkan beliau sudah pernah pergi ke tanah suci. Beliau pasti manusia cerdas atau jenius. Namun, mengapa sampai ada rantai berwarna keemasan yang mengikat kakinya?
Ya, ia memutuskan mengikuti Pak Syamsul karena warna yang dipakai olehnya berbeda sendiri. Profesor tersebut tampak sibuk membaca. Sesekali ia mengerutkan kening kemudian mencatat di selembar kertas. Suara panggilan ibadah tiba-tiba berkumandang keras dari musala fakultas. Ia menunggu Pak Syamsul beranjak. Namun, hingga panggilan ikamah terdengar beliau masih bergeming. Akhirnya ia memilih beranjak dan menuju musala.
Hingga tiga hari ia mengikuti aktivitas sang profesor, tak satu pun agenda salat berjemaah di masjid ia tunaikan. Ia sibuk mengajar, penelitian, dan segudang aktivitas lainnya. Pernah suatu ketika, mobilnya terkena macet di saat Magrib. Ia tetap tak membelokkan mobilnya ke arah masjid meski tempat ibadah itu ada di depannya.
Berdasarkan pengamatan ini, ia bisa menarik benang merah. Lelaki itu memutuskan untuk membantu Pak Syamsul agar bisa terbuka hatinya. Namun bagaimana caranya, ia sendiri masih bingung. Tiba-tiba pemuda itu teringat dengan benda yang ada di sakunya. Haruskah ia berikan padanya?
Ini hari ketujuh dan lelaki itu masih kebingungan. Ia sedang duduk termangu di ruang makan. Ada semangkuk bubur ayam dan teh panas yang mengepul. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya. Bismillah, mudah-mudahan berhasil. Benda seputih susu telah ia taruh di dalam bubur. Sang pemilik rumah menggeser kursi dan dengan hati berdebar ia menunggu. Pak Syamsul tak kunjung memakan sarapannya, beliau masih berkutat dengan koran di tangan. Setelah lima belas menit yang terasa panjang, akhirnya pofesor tersebut menelannya secara perlahan. Lalu, cahaya bersinar menyilaukan mata menerpanya. Ia kembali dibawa ke lorong yang tak berujung.
***
Untuk kedua kalinya ia kembali terdampar di tempat asing. Namun kali ini adalah sebuah kamar pribadi. Kamar itu sangat berantakan dengan baju dan bekas makanan yang berserakan. Ada sesosok tubuh atletis sedang tidur dengan nyenyak. Kamar tersebut sangat redup. Namun masih cukup jelas untuk mengamati sekitar.
Ada satu poster grup band ternama Indonesia tertempel di atas kepala ranjang. Di sebelah kanan, ia takjub dengan ratusan foto yang tertempel dengan apik. Jika diamati benar, ratusan foto tersebut ternyata membentuk segitiga besar. Foto-foto tersebut menunjukkan seseorang yang sedang berada di puncak gunung. Mulai dari puncak Merapi, Semeru, Lawu, Slamet, Rinjani, Jaya Wijaya, dan gunung-gunung lain di Indonesia. Ada juga beberapa foto dengan latar belakang gunung bersalju. Mungkin gunung di luar negeri dan ia tak begitu paham.
Pemuda yang tidur tersebut tiba-tiba menggeliat. Ia membuka mata dan menguceknya. Ia mengusap rambutnya, menguap, dan kemudian bangkit. Tubuh dengan tinggi kira-kira 178 cm, otot perut yang terbentuk, begitu perkasa. Ia sebagai lelaki kalah jauh dan hanya bisa tersenyum kecut.
Dan bisa ditebak, telinga dan kaki sang pemuda terpasang kapas hitam dan rantai keemasan. Sang pemuda gagah beranjak ke kamar mandi. Bunyi air beradu dengan lantai terdengar dengan jelas.
Seperti di tempat Pak Syamsul, ia mengikuti aktivitas Raffi. Ya nama pemuda itu Muhammad Raffi. Setiap hari Raffi melatih pencak silat di sebuah padepokan. Ternyata, Raffi telah memegang sabuk hitam. Dua hari sekali ia rajin olahraga fittnes dan lari keliling kompleks. Pantas jika ia berhasil menaklukkan berbagai gunung. Orangtua lelaki itu ternyata cukup agamis. Namun, anak mereka mungkin belum tersentuh hidayah. Gunung di berbagai belahan dunia ia jelajahi, namun langkahnya begitu berat menuju tempat ibadah.
Jika orangtuanya mengajak ke masjid depan kompleks, Raffi hanya akan menjawab dengan berbagai alasan. Ayahnya hanya bisa menggelengkan kepala prihatin. Mungkin orang tuanya setiap hari tak putus berdoa sehingga ia bisa berada di sini.
“Oke, nanti sore jadi berangkat ya. Kita mulai track sehabis Magrib saja. Medannnya nggak terlalu tinggi juga. Jadi tiba di puncak pas bulan bersinar sempurna.”
Di hari ketiga ini, ia dikagetkan dengan perbincangan Raffi di telepon. Bulan purnama?
Tanggal berapa sekarang? Ia tertegun. Secepat inikah waktunya akan habis. Nanti malam berarti ia harus segera menyelesaikan misi. Lelaki itu menyesal terlalu lama menerjemahkan segala yang terjadi di tempat Pak Syamsul.
Waktunya berarti semakin sempit, ia harus bergegas menaruh benda tersebut ke makanan Raffi. Namun, pemuda itu masih terlalu asyik berbincang di telepon. Gelisah mulai melanda, ingin sekali ia menggeret si bocah perkasa ke meja makan.
Sore itu, Raffi sudah siap dengan segala keperluannya untuk naik. Tas carrier telah berada di balik punggungnya. Siang sampai sore ternyata Raffi tak juga kunjung berniat menelan makanan atau pun meminum segelas air. Atau ia yang tak teliti dan melewatkan makan siang bocah pecinta gunung itu. Ia kalut, takut ketika harus mengikuti Raffi naik gunung.
“Bun, aku berangkat dulu ya!”
Raffi berpamitan dan mencium tangan bundanya. Dengan lemas ia mengikuti Raffi.
“Sebentar, dari siang sepertinya kamu sibuk mempersiapkan peralatanmu, hingga lupa makan. Makan dulu ya?” titah bunda Raffi, membuat ia serasa mendapat angin surga. Kesempatan akhirnya terbuka.
“Enggak deh, Bun, takut temen-temen udah nunggu.”
Lelaki tak kasat mata tersebut seolah kehilangan harapan. Ia pasrah, mungkin ini jalan yang harus dilaluinya.
“Kalau begitu Bunda buatkan susu, enggak boleh nolak, tunggu di situ.”
Raffi akhirnya hanya mengangguk pasrah dan duduk di kursi tamu sambil membuka smartphone-nya. Tak lama sang bunda telah membawa segelas susu dengan sebuah nampan dari arah dalam. Segera, ia menghampiri wanita paruh baya tersebut dan dengan hati berdebar menaruh benda sewarna minuman itu.
Tanpa kata, Raffi segera menyambar minuman tersebut. Namun tiba-tiba pegangan tangannya terlepas dari gelas. Susu tersebut tumpah dan mengotori karpet ruang tamu. Benda yang ia masukkan tadi sudah tidak ada. Mungkin sudah larut bersama cairan manis tersebut.
“Panas banget sih, Bun, kok nggak bilang-bilang.”
Raffi mengibaskan tangannya dan agak meringis.
“Baru Bunda mau bilang kalau masih panas, tapi kamu main samber saja.”
Ia hanya menatap kejadian di depannya dengan beku. Mungkinkah takdir menggariskan dirinya menjadi roh selamanya. Tubuhnya terduduk lemas di sandaran sofa.
“Ya udah, Bunda buatin lagi, kali ini yang nggak terlalu panas.”
“Tapi ….”
“Nggak ada tapi-tapian.”
Raffi menghela napas dan kembali duduk. Ia hanya menatap pemuda tersebut dengan tatapan hampa. Rasanya tak pantas menyalahkannya karena Raffi tak tahu menahu.
“Nih, minum. Ini pas sekarang.”
Tanpa berpikir panjang, ia menaruh kembali benda terakhir di tangannya pas sebelum Raffi menelannya. Ia pasrah jika tak bisa kembali.
Selesai Raffi meminum susunya, berkas sinar kembali datang dan menyeretnya ke lorong tak berdasar. Kali ini ia tak merasakan apa pun karena tubuhnya seolah mati rasa.
***
Matanya tiba-tiba terbuka. Pandangannya masih belum begitu jelas. Samar-samar ia bisa merasakan tangannya digenggam oleh seseorang. Bunyi monitor pendeteksi jantung begitu keras di gendang telinganya. Ia mencoba menggerakkan tangan dan memfokuskan pandangan.
“Mas Awan sudah sadar?”
Suara tersebut cukup familiar. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya. Bunyi gaduh dari arah pintu membuat matanya terpicing. Kepalanya masih terasa berat.
Ia bisa melihat, dua orang dokter dan satu perawat dengan telaten memeriksa semua bagian tubuhnya. Seorang dokter paruh baya menanyainya, tetapi ia hanya sanggup mengangguk atau menggeleng.
Pandanganya tertuju kepada pemilik wajah ayu di ujung ranjang. Hatinya tiba-tiba terasa lapang.
***
Lintang mengenggam tangannya. Perempuan itu beberapa kali mengucap syukur dan mengelap matanya. Sesekali ia mengusap kepala suaminya yang masih terbebat perban.
Berdasarkan cerita istrinya, Awan mengalami koma selama tiga bulan. Putra mereka telah lahir dua bulan yang lalu secara normal. Awan bersyukur dalam hati, setelah perjalanan panjang akhirnya masih diberi kesempatan kembali. Walaupun masih menyisakan tanya, mengapa bisa kembali meskipun dengan misi yang belum sempurna. Namun Tuhan begitu baik hati. Ia berjanji akan menuntaskan tugasnya selama di dunia. Awan sadar selama ini terlalu sibuk dengan ceramah dengan iming-iming amplop dalam jumlah besar. Selama ini ustaz muda tersebut sering memilih mengisi di tempat orang-orang berduit.
Mulai sekarang, ia bertekad akan mulai menebarkan kebaikan untuk menyadarkan para laki- laki di dunia ini. Tentu masih banyak laki-laki seperti Pak Syamsul dan Raffi yang merasa perjalanan menuju tempat ibadah terasa berat dan jauh. Padahal mereka adalah para lelaki hebat.
Lamunan Awan tiba-tiba terusik ketika istrinya menepuk pundaknya. Di hadapannya telah berdiri lelaki yang telah bertahun-tahun ia tinggalkan karena perbedaan prinsip. Lelaki yang dicintai ibunya tersebut berdiri tegak seolah dunia sudah berada di dalam genggamannya. Awan terkesiap. Bukan karena lelaki berpakaian mewah itu masih belum berubah. Namun penampilan tanpa cela itu dilengkapi dengan kapas hitam yang menyumbat telinga dan rantai besar berwarna kehitaman di kakinya. (*)
Klt, 3 April 2019
Mila Athar. Gadis yang masih terus belajar merangkai aksara yang tersebar di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata