Bertanam Mimpi
Oleh: Tri Wahyu Utami
Satu stoples berukuran sedang hanya cukup untuk menampung tiga buah kenangan yang kami tanam, dan sepekan yang lalu, sudah bermunculan tunas di dalamnya yang membuat Rin melonjak kegirangan. Ia senang karena sepertinya usaha kami berhasil. Suatu hari nanti, tunas itu akan tumbuh menjadi kenangan baru yang lebih membahagiakan dari apa yang pernah kami alami selama ini. Karena itulah, aku dan Rin sudah merencanakan sesuatu. Kami akan menanam lebih banyak lagi hal manis, lucu dan menyenangkan lainnya ke dalam stoples yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, seperti yang ada di tanganku saat ini. Aku memungut benda itu dari tong sampah yang terletak di sebelah kiri halte, dekat sekolah yang selalu Rin impikan sebagai tempat belajarnya kelak, bersama teman-teman seusianya.
Sekarang, stoples yang kami butuhkan sudah aku dapatkan dan jam sudah menunjukkan pukul empat lewat dua belas menit—seperti yang seorang anak katakan kepadaku saat ia sedang menunggu mobil jemputan, tetapi Rin masih enggan beranjak dari tempat kami berdiri. Sepertinya ia masih ingin berlama-lama di tempat itu tanpa khawatir kalau nanti, ketika kami sudah berada di rumah, Ibu akan mengadukan hal ini kepada Ayah. Ah, tetapi siapa peduli. Toh, sekalipun itu terjadi, aku berani jamin kalau Ayah hanya akan tersenyum mendengarnya kemudian berkata, “Kita tidak bisa membeli kenangan yang indah untuk mereka, jadi biarkan saja anak-anak melakukan hal yang mereka inginkan.” Dan setelahnya, pengaduan dramatis itu akan berakhir dengan sendirinya. Tanpa sanggahan apa pun dari mulut Ibu, sebab ia tidak akan tega merobek hati Rin, lalu meletakkannya di sembarang tempat seperti apa yang dulu pernah dilakukannya kepada Paman. Saat lelaki berkursi roda itu masih duduk di bangku SMP, dan Ibu berstatus sebagai siswa sekolah dasar yang malang. Ah, tidak. Sebenarnya Pamanlah yang malang, tetapi wanita bertubuh tambun itu yang banyak mendapat celaan dari teman-temannya sebab memiliki saudara kandung yang cacat, hingga suatu hari mereka benar-benar kehilangan kendali.
Sering kali ketika malam tiba, tanpa sepengetahuan siapa pun di rumah, Ibu dan Paman meminum air comberan. Kemudian memuntahkan satu-dua kalimat beraroma busuk ke hadapan masing-masing dengan mata berkaca-kaca. Begitulah yang pernah Ayah ceritakan kepadaku usai kami—aku dan Rin—tak saling bicara. Jadi, saat Rin merajuk agar kami pulang usai ia memungut beberapa kenangan, aku tak lagi mendebat. Tetapi tak lama kemudian, aku terpaksa mengajaknya pulang karena langit mendung dan seketika menjadi gelap, seolah ada selembar kain hitam yang menutupi seluruh permukaan langit.
“Baru menjadi tunas saja sudah seharum ini, bagaimana kalau kenangannya sudah berbuah nanti? Pasti lebih harum. Iya kan, Kak?” tanya Rin ketika kami sudah berada di rumah dengan selamat—tanpa rasa sakit di telinga seperti yang biasa Ibu lakukan jika sedang kesal—dan hendak pergi tidur.
“Ya, tentu saja. Jadi kita harus rajin menyiramnya dan jangan biarkan kenangan yang sudah tumbuh menjadi layu.”
“Hm … akan kuingat itu. Oh ya, bagaimana dengan mimpi? Kita juga bisa menanamnya di sini, bukan?”
“Di stoples ini? Ah, tidak. Mimpimu terlalu besar untuk ditanam di sini.”
“Jadi?”
“Kita membutuhkan tempat yang lebih besar agar mimpi itu bisa tumbuh dengan subur, dan … besok kita akan mencarinya. Bagaimana menurutmu?”
“Ide bagus.”
Rampung menyiram semua kenangan, kami meletakkan stoples-stoples ke tempat asalnya, di atas meja yang terletak dekat dengan jendela. Keesokan harinya, di jam yang sama, kami kembali mengunjungi halte itu. Sekolah sudah terlihat sepi. Jadi langsung saja aku dan Rin mengubrak-abrik tong sampah yang di dalamnya telah bercampur segala jenis benda. Mulai dari kaleng biskuit, botol, kardus kecil, gelas plastik, sisa makanan yang terpisah dari wadahnya dan … buku? Ada buku calistung (baca, tulis, hitung) bergambar yang bagian sampulnya sudah rusak dan kotor, dan dua halaman di dalamnya robek dan hanya menyisakan sedikit saja bagian yang bisa dibaca. Tetapi tidak masalah, karena buku itu tetap membuat Rin merasa senang hingga tak sabar untuk membawanya pulang.
***
Rin tahu, dengan menemukan buku itu keinginannya untuk bertanam mimpi akan bisa terkabul dengan cepat. Jadi, setiap malam ia berlatih keras. Ia memintaku untuk mengajarinya cara menyantap dan memuntahkan huruf dengan benar. Setelah itu, setelah Rin bisa mempraktikkannya, ia mulai menanam satu per satu mimpinya.
“Se-pe-da.”
Sangat jelas terbaca sebelum ia memasukkan mimpi itu ke dalam stoples. Aku tersenyum manis. Ah, ternyata mimpinya setahun yang lalu belum berubah. Ia menginginkan sepeda yang di depannya ada keranjang kecil untuk menyimpan bibit-bibit kenangan, dengan beragam bentuk dan warna yang menawan.
Jika mimpinya yang tadi berwarna hijau, yang sekarang hendak Rin tanam adalah mimpi dengan warna biru terang. Aih, melihat bibitnya saja aku sudah bisa membayangkan, betapa indahnya mimpi itu jika sudah berbunga kelak. Aku rasa Rin butuh banyak air dan pupuk untuk membuatnya tumbuh subur.
“Gu-ru. Rin ingin menjadi seorang guru!”
Iya, benar. Sesuai tebakanku, ini adalah mimpi terbesarnya sejak dulu. Eh, tetapi … kenapa begitu?
“Rin …?” heranku menghentikan gerakan tangannya, yang hendak menanam mimpi itu menggunakan stoples berukuran sedang. Bukan stoples besar yang kusodorkan padanya barusan. “Kamu tidak ingin menanamnya di sini?”
Rin menggeleng pelan dan aku masih terheran-heran menatapnya.
“Stoples besar itu … untuk menanam mimpi kita saja, Kak,” sahutnya sambil menyiapkan bibit baru.
“Mimpi kita?”
“Ya. Mimpi kita bersama. Apa Kakak lupa?”
“Eum, itu ….”
“Jadi Kakak benar-benar lupa, ya? Hihi …,” selanya sambil tertawa cekikikan. “Ya sudah, tenang saja. Kan, masih ada aku yang mengingatnya. Tapi, Kak ….”
“Tapi apa?”
“Kita tidak bisa melakukannya sendiri dan kita membutuhkan bantuan Ibu.”
“Ibu? Kenapa harus ….” Mendadak, aku jadi ingat dengan mimpi yang Rin maksudkan tadi. Ya, aku ingat betul dengan mimpi itu dan aku sangat ingin menanamnya. Melihatnya tumbuh dan bermekaran, kemudian berbuah dengan rupa yang sempurna. Maksudku, tanpa sedikit pun robekan di permukaannya.
“Ya, kamu benar. Tapi … apa Ibu mau melakukannya?”
“Kenapa tidak?” sahut seseorang yang sedang berjalan menghampiri kami. Matanya berbinar cerah setelah melihat sendiri bagaimana kenangan-kenangan yang kami tanam mulai berbuah, dan satu per satu dari mereka siap dipanen. Sampai ketika wanita itu berdiri di sampingku, ekspresi wajahnya seketika berubah. Bibit terakhir yang hendak kami tanam membuat matanya membasah.
Semoga Ibu segera menjahit hati Paman yang sudah robek.
Selama beberapa detik, tak ada satu pun dari kami yang berani bersuara. Begitu juga dengan Ayah yang menyusul kedatangan Ibu dengan senyum manis di bibir. Sedikit canggung, tetapi tetap ia lakukan demi mencairkan suasana.
“Jadi,” ujar Ibu menahan isak tangisnya yang memilukan, “ada yang bisa menunjukkan pada Ibu cara menanam bibit ini?”
“Aku,” sela Rin. “Aku bisa mengajari Ibu.”
Tawa kami pecah begitu Rin mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat. Dengan senyum bahagia yang tak pernah kulihat sebelumnya.(*)
Malang, 22 April 2019.
Tri Wahyu Utami, gadis penikmat fiksi yang bernama pena Triandira yang saat ini tinggal di kota Malang. Penyuka Spongebob dan Harry Potter.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata