Secantik Mei
Oleh: Dyah Diputri
“Berhenti mencicipi waktu itu, Ruci!” Ibu datang menggebrak pintu dan mengomel padaku. Bukan kali pertama dia mengeluarkan suara berisiknya yang cempreng itu.
Padahal, apa salahku? Aku hanya memutar waktu beberapa saat ke depan atau ke belakang, untuk beberapa tujuan penting. Akan kujelaskan.
Sebut saja Mei, dia wanita paling cantik seantero sekolah. Ada pelangi di wajahnya, sehingga banyak siswa menyukainya. Aku tahu, sebenarnya pelangi itu dia dapat dengan mencuri di bank pelangi yang terletak di kota besar sana. Ehm, jujur saja, aku yang menyuruhnya.
Kemudian, saat gadis itu menerapkan pelangi itu di wajah, seketika pas begitu saja. Aku heran bukan main, padahal selengkung pelangi itu tak bisa bersinar sempurna saat kucoba menerapkannya pada wajahku. Baik di sisi pipi, dahi, bibir, maupun di rambutku. Aku tetap terlihat hitam.
“Mungkin kamu terlalu banyak membantu matahari saat ia sakit, jadi pelangi tak bisa bersinar.”
“Bukankah pelangi akan muncul karena pembiasan dari matahari?” kilahku.
“Ah, iya juga. Atau mungkin … kamu tidak bersahabat dengan hujan, Ruci! Pelangi tak mau muncul jika tidak turun rintik hujan dulu.”
“Apa kamu bersahabat dengan hujan, Mei?”
Mei menggeleng, lantas tertawa pelan. “Aku tidak suka membantu matahari, tidak juga bersahabat dengan hujan. Tapi—”
“Apa?” sergahku cepat, penasaran.
“Aku memakan waktu setiap hari. Karenanya, dunia ada dalam genggamanku. Aku bisa melakukan apa pun dengan energi waktu yang ada dalam tubuhku.”
Mataku melotot. Bibir pun seketika melongo. “Tidak mungkin, Mei,” keluhku, “ibuku tidak akan menyiapkan sarapan waktu padaku. Di rumah hanya ada satu waktu, dan hanya adikku yang berhak.”
“Wow! Menyedihkan sekali!” Mei menahan tawa.
Saat itu aku kesal sekali. Mengapa aku tak seberuntung Mei—yang punya stok waktu berlimpah? Selanjutnya, aku merengek pada Ibu agar memberiku sepotong saja dari jatah adik. Namun, Ibu malah berkacak pinggang. Disodorkannya sepiring kenangan bergambar wajah Ayah yang telah pergi, mengingatkanku untuk kembali pada matahari.
Ya, aku kembali membantu matahari, agar panasnya semakin terasa saat siang hari. Kemudian, melepasnya pergi saat senja tiba. Dan upahnya adalah peluh, tubuh kurus, dan kulit hitam.
Terkadang, saat gerimis turun, aku mengkhianati matahari barang sebentar. Kubiarkan rintik air langit itu melicinkan wajah jelekku. Tak peduli, meski Ibu akan marah-marah, panas di tubuh ini butuh sedikit penyegaran.
“Berhenti memainkan waktu dan biarkan adikmu yang makan, Ruci!” Itu hardikan pertama Ibu, membuatku memutar bola mata dan mencebik kesal.
Kedua kalinya, saat sendokan waktu hampir masuk ke mulutku, Ibu kembali memergoki. “Kamu tidak berhak sarapan itu. Makanlah yang ada di piringmu.”
“Ibu, kenapa hanya adik? Kenapa Ibu tak membeli dua agar aku ikut menikmatinya?” Aku menunduk, memandang sepiring kenangan, lagi.
“Harganya mahal, Ruci. Nanti, kalau kamu dewasa, belilah sendiri. Saat ini, Ibu tak ada uang jika harus membeli dua.”
“Setidaknya izinkan aku mencicipi sedikit punya Adik?”
“Dulu, kamu juga duduk seperti adikmu. Makan sepiring waktu yang dibelikan ayahmu! Kurang?”
Aku mendesis pelan. Ini sungguh tak adil. Jika saja Ayah masih ada, mungkin aku akan secantik Mei.
Malang, 2 Mei 2019.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail. com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata