Menabung Senja

Menabung Senja

Menabung Senja
Oleh: Eda Erfauzan

Ibu datang dalam mimpi dan mengajakku jalan-jalan. Rasanya aku kembali menjadi gadis kecil dengan rambut kepang dua berpita pada ujung-ujungnya.

Berjalan di sisinya dengan satu tangan dalam genggaman Ibu, satunya lagi memegang arum sari. Setiap kali gula-gula itu menempel di pipi, hidung dan sekitar mulut ibu akan berjongkok lalu membersihkannya dengan lembut.

“Kita akan berjalan-jalan ke negeri kemarin dan melihat para pemilik senja mencicil apa yang akan mereka miliki.”

Aku mengangguk, gelembung arum sari yang mulai menyusut di tanganku lebih menarik. Tetapi aku merasa tubuhku kian membesar selama dalam perjalanan hingga kusadari tak ada lagi arum sari dan tak ada lagi Ibu di sampingku.

Hari selalu di awali dengan pagi, matahari perlahan beranjak naik menjadi siang, petang, senja dan malam.

Pemilik senja dan bagaimana mereka membelinya hingga akhirnya mereka menjadi pemilik ujung hari. Hanya itu yang kuingat.

Inikah negeri kemarin? Atau negeri senja? Kuedarkan pandang dan dua layar besar tiba-tiba hadir di kiri kananku. Di sebelah kiri bertuliskan “kemarin” dan sebelah kanan bertuliskan “nanti”.

Layarnya berkedip-kedip dengan warna-warna kontras, layar di sebelah kiri didominasi warna hijau dengan gradasi makin menua dan pendaran warna merah, pink, kuning, ungu sementara layar sebelah kanan didominasi warna tanah, cokelat,

Abu-abu dengan nuansa sepi.

Tak ada gambar. Belum. Aku sentuh layar di sebelah kiri, gelak tawa lepas bocah terdengar, begitu hidup seperti embun yang menggeliat saat sinar mentari pagi menyapanya, tawa, derap langkah dan celoteh para bocah yang riang sesekali terdengar suara bayi yang menangis, gelak suci mereka, suara-suara pertama yang keluar dari mulut mereka.

Anak-anak itu mulai membesar, seiring sinar mentari yang perlahan meninggi, mereka terus tumbuh dan semakin banyak, pakaian mereka nyaris seragam, semua bergegas keluar dari bangunan berbentuk kubus dengan kotak kaca yang seperti mengintai pada dindingnya. Berkerumun di tepi jalan, stasiun, shelter bus dan kembali tumpah di depan bangunan kubus menjulang yang nyaris tak berbeda dengan apa yang mereka tinggalkan.

“Hari ini adalah gaung dari hari kemarin.” Sebuah suara mengusik. Tak ada siapa pun. Aku berbalik mengawasi sekitar. Sepi. Aku masih sendiri.

Gambar berubah dengan anak-anak muda yang riuh, penuh semangat mengejar titik tertinggi matahari. Ada kotak transparan yang dibawa setiap orang di sisi pinggang. Kotak itu otomatis terisi sesuatu tiap kali mereka melakukan kebaikan.

Aku lihat si kaca mata yang lembut pada orang-orang yang lebih tua di rumahnya, memperlakukan isteri dan anaknya dengan baik. Sesuatu berdentang-dentang memasuki kotak di sisinya.

Si dahi lebar di ujung jalan, kotaknya tak terisi, tak ada yang masuk di sana karena ia selalu bersikap kasar. Ia bahkan tampak memukul orangtuanya.

Seorang pria dan wanita yang bergegas keluar rumah, menaiki mobil yang telah terparkir, tangan-tangan kecil yang melambai dan sosok tua yang terlihat lelah hanya terlihat sekilas melalui kaca spion.

Bosan, kualihkan perhatian pada monitor satu lagi dan kusentuh kata “nanti”. Gambar pertama yang muncul adalah jalan panjang yang lengang sesekali helain daun melayang menyentuh aspal lalu angin menghelanya, terbang entah ke mana.

Kesunyian itu kemudian pecah oleh kekeh seorang lelaki tua yang meski berada di atas kursi roda ada rona bahagia di wajahnya, seorang pria mendorong kursi rodanya dengan hati-hati, perempuan lembut di sisinya sesekali berjongkok, menyuapkan sesuatu ke mulut si kakek tiap kali lelaki muda menghentikan kursi rodanya. Aku mengenali wajah lelaki tua itu pada layar sebelumnya. Ia laki-laki lembut berkacamata.

Aku tercenung lama, menyadari keberadaanku, apa yang sedang tergenggam, hari kemarin dan mulai membayangkan apa yang akan kutuai ketika matahari terus beranjak naik dan hariku menjadi merah, oranye, ungu, biru lalu malam pun datang.

 

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan hingga kini masih menyukai  dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply