Narnia
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Narnia berjalan melewati kegelapan malam yang pekat. Sepekat lubang gelap di dalam ceruk matanya yang telah kosong. Ia tidak berjalan dengan tersaruk-saruk, atau tertatih-tatih layaknya orang buta. Langkahnya sempurna saat menapaki aspal jalanan. Kaki-kakinya begitu ringan seakan melintasi gugusan awan meski tanpa tongkat sebagai pengganti mata. Ia tidak “melihat” dengan pendengaran melainkan dengan mata batinnya. Berjalan dengan kukuh meski angin malam yang dinginnya menusuk tulang menerpa tubuhnya tipisnya yang ringkih. Ketika ia melewati gedung-gedung, atau rumah-rumah yang berpenghuni, mendadak lampu penerangan menjadi padam. Tak lama berselang, di saat bayangan tubuhnya memudar ditelan cahaya yang menghilang, terdengar suara teriakan manusia-manusia yang melolong kesakitan sebab ajalnya tercabut paksa. Ia tetap meneruskan perjalanannya dan sama sekali tidak terganggu dengan suara-suara lolongan tadi. Narnia terus melangkah menelusuri setiap jengkal sudut-sudut kota. Langkah-langkah kakinya seperti bermata. Tak sekalipun ia menabrak tong sampah yang ada di pinggir jalan atau tiang-tiang listrik yang berjajar di pinggir trotoar. Narnia sempurna untuk seseorang yang tidak sempurna.
***
Perempuan buta itu terus berjalan menembus kegelapan. Bahkan ia tak memedulikan setiap erangan penderitaan yang terdengar. Selangkah demi selangkah, menapaki jalanan juga lorong-lorong yang sepi. Ia adalah wanita yang membawa kutukan. Kutukan bagi setiap orang yang memiliki impian, bisikan, gurauan, atau apa pun yang terdefinisikan sebagai bentuk kebahagiaan. Mimpi atau suara-suara yang menggumamkan rasa bahagia, bunyi gaung atau getaran seperti itu biasanya akan berdengung lebih keras dan menyakiti kupingnya. Dan setelahnya, kembali setiap cahaya lampu yang menerobos keluar jendela pasti menjadi padam. Sebagian dari kota telah berubah gelap gulita. Sunyi dan senyap menyelimuti napas kota yang biasanya hidup sepanjang hari. Tak ada lagi suara-suara tawa, canda yang menyelusup keluar dari kisi-kisi jendela. Yang ada hanyalah suara-suara penderitaan yang terdengar seperti suara siksaan yang melepuhkan lidah atau menggosongkan badan. Ia tidak tersenyum, menangis, atau merutuki dan mencaci mereka yang baru saja mati. Meskipun kupingnya setajam kuping malaikat maut.
“Sudahlah, Narnia, hentikan saja kebencianmu. Jangan mematikan kegembiraan atau harapan,” ucapan seorang wanita tua penuh penuh welas asih menghentikan langkahnya.
“Kebencian tidak akan pernah melahirkan kehidupan, kebencian hanya menumbuhkan penderitaan baru.” Mata wanita tua itu menatap tepat menuju ke jantungnya.
Narnia berhenti sejenak, menoleh, tetapi tidak mengikuti arah suara di kupingnya. Kini dua lubang hitam di matanya seolah bisa melihat. Tetapi ia tidak menjawab dengan kata-kata, bahkan sedikit gumaman pun.
“Bahkan yang telah mati pun tidak akan sempat mengutukimu di dalam lobang neraka,” kembali wanita itu mengingatkan.
Narnia tetap membisu tanpa kata-kata. Lalu ia menangis. Tetapi bukan air mata yang tertumpah, melainkan darah yang meluruh dan mengalir dari lubang matanya. Darah perempuan itu tumpah ruah, membasahi dan membanjiri permukaan jalanan. Darah Narnia bukanlah darah biasa, itu adalah darah kebencian yang meluap-luap, seperti hujan deras yang ditumpahkan dari langit.
“Sudah, Narnia. Berhentilah menangis dan hapuskan air matamu. Kota ini tidak lagi memiliki kebahagiaan, hanya sedikit pengharapan yang masih tersisa. Kebahagiaan telah tumpas dan luruh olehmu. Esok pasti datang, dan pepohonan akan menumbuhkan daun-daun baru, daun-daun kebencian. Kebencian kepadamu, dan air matamu semakin tak ada gunanya!”
Narnia mendengarkan suara lembut serupa bisikan dari wanita tua itu. Wanita tua itu adalah malaikat dari langit yang datang untuk menghentikannya. Ia berhenti menangis, suara isakannya pun tak terdengar lagi. Hanya wajahnya yang penuh keputusasaan yang menghadap jalan. Ia mencoba mengingatnya kembali, sebagaimana dulu ia pernah menatap jalanan yang penuh keramaian. Jalanan yang penuh kebahagiaan. Tentang dua orang sejoli yang sedang bergandengan tangan atau seorang Ibu yang sedang menuntun anaknya. Jalanan yang membuat ia begitu membencinya: ketika dahulu beberapa orang suci mengambil dua biji matanya sebagai persembahan kepada dewa langit.
Itulah sebabnya ia hampir tidak pernah memiliki sedikit pun kebahagiaan. Hanya kenangan buruk yang pernah tersimpan di dalam saku dan di otaknya.
***
Perempuan tanpa mata bernama Narnia kembali meneruskan perjalanannya yang tadi sempat terhenti. Tetapi kali ini ia tidak berjalan, melainkan berlari. Ia berlari secepat angin untuk mengejar sesuatu. Ya, sesuatu yang memanggil-manggilnya di tengah plaza kota. Ada satu sorot cahaya yang berasal dari sebuah lubang besar di langit. Narnia mengejarnya seolah takut kehabisan waktu. Ia tahu bahwa ia harus pulang segera, menuju satu berkas sinar besar yang jatuh lurus menyentuh bumi. Semakin cepat ia berlari, semakin pula ia tak mengerti. Mengapa kaki-kakinya bisa seringan angin: menginjak atap-atap rumah, pucuk-pucuk pohon tinggi, bahkan melompat dan melewati beberapa apartemen yang menjulang ke langit. Narnia berubah seperti malaikat, hantu, atau bidadari … ia benar-benar tidak menyadarinya. Yang ia tahu, bahwa ia harus berlari menuju cahaya terang yang disorot jatuh dari langit. Dan kaki-kakinya terus berlari tak peduli.
***
Narnia mengambil napas dalam-dalam. Ia berhenti setelah mencapai tujuannya. Sambil tersengal-sengal, ia menatap ke arah lobang besar di awan yang membentuk pusaran cahaya. Ia berdiri dan menunggu. Ia tahu bahwa waktunya memang telah tiba. Seberkas sinar itu semakin terang dan menyilaukan mata.
Narnia terdiam pasrah, ia menerima semua takdirnya. Semua ingatan tentang kebencian, kepahitan, kesedihan, kenestapaan, tak ada lagi tersimpan di hatinya. Semua ingatannya telah disucikan oleh cahaya benderang yang membuat dadanya berdebar. Ia menunggu saat-saat ini ….
Tiba-tiba langit berubah menjadi luar biasa. Kumpulan awan gemawan berkumpul dan berputar mengelilingi lubang besar di atas langit. Petir menyambar-menyambar seakan mengetuk pintu neraka. Warna awan yang hitam berubah menjadi abu-abu tua. Intensitas cahayanya semakin benderang, perlahan tubuh Narnia terangkat ke atas seperti dihisap oleh satu mesin penyedot debu raksasa. Semakin tinggi semakin cepat pula tubuh Narnia meluncur ke dalam lobang besar di langit. Dan semakin tidak berlaku pula hukum gravitasi. Narnia kemudian lenyap tak terlihat. Langit kembali seperti sedia kala, ketika awan-awan di langit masih diselimuti kebahagiaan. Langit menjemput Narnia pulang.
Karna Jaya Tarigan, seorang Penulis pemula yang terdampar di Facebook untuk berkarya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata