Langkah Kaki
Oleh: Ayu Candra Giniarti
Kulitku seperti terbakar, panas matahari siang ini membuatku menyerah. Aku tak tahu ke mana lagi harus melangkah. Semua jalan sama bagiku. Tak ada tempat berlindung bagi laki-laki tak beruntung, seperti aku.
Duduk di tepi jalan, menatap sibuknya ibu kota. Barangkali, mereka semua punya urusan masing-masing. Tak menyapa satu sama lain, bercengkrama dengan gawai dalam genggaman. Lalu aku? Jangankan gawai, dompetku saja sudah mengelupas kulitnya. Bahkan ini bukan kulit asli, jelas imitasi.
“Minggir, Bang! Ketabrak lo, ntar! Tempat nongkrong bukan di sini!”
Seseorang bergaya preman menyapaku. Ya, anggap saja orang itu sedang menyapaku. Aku tersenyum dan berdiri meninggalkan tempat itu. Melangkahkan kaki, entah ke mana tujuanku.
Lowongan Pekerjaan
Laki-laki berpenampilan menarik
Usia max 27 tahun
Belum menikah
Seketika mataku tertuju pada tulisan yang menempel di mading, berdekatan dengan halte bus yang kulewati.
Pendidikan terakhir S1
Mataku yang semula berbinar, kini berkubang air mata yang siap tumpah. Aku tertunduk di hadapan kertas harapan semua orang. Lowongan pekerjaan yang dicari banyak orang, tak terkecuali aku. Tapi … ah, sudahlah. Aku melanjutkan langkahku, ke mana saja.
***
“Mau ke mana lagi kamu! Cepat masuk!”
Suara itu mematikan langkahku. Aku menatapnya penuh kebencian. Dalam dadaku, aku merasa tak ada salahnya aku bermain di tempat itu, bersama teman-temanku.
“Teman macam apa, kalau malah bikin kamu nggak jelas kayak gini!” Suara itu lagi, mematikan rasa hormatku.
“Vano bisa jaga diri, Pa! Mereka itu teman baik Vano. Teman yang ngerti Vano. Nggak kayak Papa! Cuma tahu kerja kerja kerja. Mungkin itu yang bikin Mama ninggalin kita!”
PLAK!
Pipiku terasa panas, mataku menatapnya tajam. Papa menamparku, perih. Ini lebih perih dibandingkan ditinggalkan Mama begitu saja. Papa tak meminta maaf padaku, bahkan Papa memalingkan wajahnya. Aku melihat Papa berusaha mengatur napas. Aku pun masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Papa, yang aku rasa masih berpikir keras tentang perkataanku.
***
“Vano!”
“Iya, masuk aja. Nggak dikunci.”
“Maafin, Papa. Papa nggak bermaksud mengekangmu. Papa cuma mau kamu jadi anak yang bener. Papa rasa, kamu salah menilai Papa.” Papa duduk di tepi tempat tidurku. Aku masih duduk bersila, memegang foto Mama. Tak bisa kupungkiri, aku merindukan Mama.
“Papa kerja untuk kamu. Untuk kehidupan kita yang layak. Mama … sesuai dengan apa yang kamu lihat selama ini. Papa hanya bisa memberikan semampu Papa, sejak adanya pengurangan tenaga karyawan di tempat Papa kerja.”
Papa terlihat menghela napas panjang. Ada sesuatu yang tak terucap, aku tak tahu apa. Tapi tak mungkin Mama meninggalkan Papa hanya karena Papa tak mempunyai banyak harta, bukan? Entahlah. Aku ingin bertemu Mama.
“Mama berhak bahagia. Papa yang salah, tidak bisa membahagiakan Mama,” lanjut Papa.
Aku hanya diam, Papa beranjak dari tempatnya lalu keluar dari kamarku.
***
Kepalaku terasa berat, aku kembali mencari tempat duduk di taman kota. Meskipun matahari masih menyengat, semilir angin yang meniup daun-daun pepohonan, cukup membuat peluhku mengering.
“Seandainya aku tak putus sekolah, aku pasti mudah mencari pekerjaan,” keluhku.
Aku tak pernah tahu, bagaimana hidupku setelah Papa tak ada. Aku juga tak pernah menyangka, uang Papa yang terkumpul, hanya cukup membiayai sekolahku tak sampai tamat SMA. Setelahnya, seperti inilah hidupku.
“Astaghfirullah ….” Aku memijit-mijit keningku.
Terbayang dalam benakku, sosok Papa yang seharusnya mampu membuatku bangkit dari semua ini. Papa pernah berkata padaku, “Bekerja adalah salah satu upaya kita, untuk menjemput rezeki yang sudah disiapkan oleh Allah. Jangan takut kekurangan, bahkan waktu yang kita jalani ini adalah bentuk rezeki dari-Nya.” Aku berdiri, kembali melangkahkan kakiku. Menuju suara di mana azan berkumandang.
Pemalang, 25 Maret 2019
Ayu Candra Giniarti, pecinta udara pagi. Mengawali hari dengan secangkir teh hangat dan sinar mentari.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata