Tulang Rusuk yang Patah
Oleh: Arnosa
“Enak sekali kau bilang seperti itu!” bentak Rianti pada Firman.
“Kenapa tidak! Kau sudah tak pedulikan aku!” Firman mencoba membela dirinya.
Rianti terlihat berusaha menahan amarahnya kali ini. Setiap hari kata itu selalu keluar dari mulut busuk suaminya. Tidak peduli. Tidak perhatian. Tidak menjalankan tanggung jawab sebagai istri. Dan tidak tidak yang lain. Rianti hanya bisa duduk lemas dengan berurai air mata. Jenuh. Sakit. Muak. Firman melihat jelas semua perasaan itu.
“Kenapa diam!” Firman membentak lagi
“Cukup, Mas. Aku sudah muak dengan pertengkaran ini. Kalau kamu memang ingin mencari wanita lain ceraikan aku dulu! Tapi ingat, Rival jadi hakku. Aku tak ingin Rival diasuh oleh ayah sepertimu.”
Firman merenungkan kata-kata Rianti dan pertengkaran yang terjadi satu jam lalu sambil mengisap beberapa bahkan banyak batang nikotin yang semenjak tadi rindu genggaman tangannya. Dia sangat sayang pada anak semata wayangnya. Rival. Firman tidak ingin berpisah dengan anaknya. Namun, dia tidak bisa lagi bertahan dengan keluarga yang sudah berantakan ini.
***
Siang dengan cepat berganti dengan gelapnya malam. Seperti malam-malam sebelumnya. Kesepian selalu menusuk sukma. Rianti menatap nanar foto pengantinnya. Sepuluh tahun sudah dia mengarungi bahtera yang sekarang hampir karam. Bukan waktu yang singkat. Bukan pula tanpa badai kehidupan. Dan badai di waktu sepuluh tahun ini yang paling ganas.
Sebelum mengenal sosok wanita idaman lainnya, Firman adalah suami dan ayah yang sangat lembut. Tidak pernah sekalipun berkata kasar. Entah pelet dan guna-guna apa yang diberikan wanita itu kepada suaminya.
Kasur merah muda ini, menjadi saksi bisu kekejaman Firman kepadanya. Tangan kasar suaminya telah membuat pipi mulusnya memerah. Darah segar mengalir dari ujung bibir mungilnya. Rasa sakit fisik tidak seberapa dibandingkan dengan rasa perih dan sakit di relung hati.
Perlakuan dan berubahnya sifat Firman kepadanya itulah yang membuat Rianti tak acuh. Rasa sayang dan perhatian Rianti semakin berkurang, bahkan sekarang sudah menghilang.
***
“Bubun tidak bobok?” Rival membuyarkan lamunan Rianti.
“Oh, Rival sayang. Sebentar lagi Bubun bobok kok. Rival bobok lagi, ya.”
“Oke, deh.”
Rival. Maafkan Bunda. Wajah polos dan ceriamu yang selalu menjadi penguat hati Bunda. Tangan lembut Rianti mengusap rambut hitam Rival. Semilir lembut sang bayu membuat mata Rianti ingin menutup. Setengah sadar, pintu kamar terbuka.
“Aku mau bicara, kutunggu di ruang tamu.” Firman dengan wajah kusutnya memanggil Rianti.
Rianti curiga, ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Dengan tubuh masih lunglai Rianti mencoba memenuhi panggilan Firman.
“Ada apa, Mas?”
“Aku sudah berpikir dengan matang, dan mungkin ini jalan terbaik bagi kita berdua. Tadi aku konsultasi dengan pengacaraku. Rumah tangga kita sudah tak bisa dipertahankan. Aku tak mau nantinya tambah menyakitimu. Tolong kamu tanda tangani kertas ini.”
Rianti kaget. Begitu mudah dan cepatnya Firman memutuskan bercerai darinya. Bulir-bulir bening jatuh satu per satu. Rianti mencoba memahami isi kertas putih yang diberikan Firman.
“Oke, kalau ini sudah keputusanmu aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebaik apa pun aku melayanimu akan tetap jelek di matamu. Kamu sudah berpikiran jelek tentang diriku. Maafkan aku bila selama ini tak bisa menjadi istri terbaikmu.”
“Aku juga minta maaf. Aku bukan suami yang baik. Hak asuh Rival ada padamu. Rumah ini juga untukmu dan Rival. Aku akan pergi dari sini.”
Rianti ingin memeluk tubuh kekar Firman untuk yang terakhir kali. Namun, rasa sakit yang begitu dahsyat melarangnya.
“Semoga kau bahagia dengan wanita idamanmu.”
Firman tertunduk mendengar kata Rianti. Dalam hati, Firman mengaku dia bersalah. Menduakan hati istrinya. Semua sudah terjadi. Firman tidak mau lebih menyakiti hati Rianti. Dalam hatinya dia berdoa, agar Rianti mendapatkan suami yang bisa mengerti dirinya. Bisa menjadi ayah Rival. Membimbing Rival menjadi anak yang saleh.
“Aku pergi. Jaga Rival.”
Rianti melihat punggung Firman yang hilang ditelan pekatnya malam. (*)
Tentang penulis:
Arina Novita Sari. Pada tanggal 9 Nopember 1986 dia dilahirkan dari seorang ibu yang sayang padanya. Karena kasih sayang dan bimbingan dari ibunya, sekarang dia bisa berhasil seperti sekarang. Dia menjadi seorang guru di SDN Mrican 4 Kota Kediri. Profesi menjadi guru sudah mandarah daging di tubuhnya. Ibunya yang seorang guru membuat dia bercita-cita menjadi seorang guru. Menulis sudah menjadi hobinya semenjak SD. Menjadi penulis hebat adalah salah satu tujuan hidupnya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata