Sepatu Bola Impian Jalu
Oleh: Evamuzy
Impian Jalu, si bocah laki-laki berkulit sawo matang yang sehari-harinya membantu para pembeli membawa barang belanjaan di pasar itu tak muluk-muluk. Dia ingin memiliki sepasang sepatu bola seperti teman-temannya. Berlagak layaknya Bambang Pamungkas—pemain bola favoritnya—dengan sepatu bola impian rasa-rasanya akan teramat membahagiakan baginya. Namun, itu bukanlah impian mudah bagi seorang anak dengan bapak yang telah pergi entah ke mana sejak dirinya masih bayi merah. Sementara sang ibu, sakit gagal ginjal yang menyerang lima tahun ini membuatnya hanya bisa menghabiskan waktu di atas tempat tidur.
“Ibu, sudah makan?” Jalu duduk di tepi ranjang sang ibu. Bocah berusia sembilan tahun itu mengelus pipi kurus perempuan yang melahirkannya selepas bekerja di pasar.
Sang ibu mengangguk, berusaha memberikan senyum di tengah nyeri-nyeri pada tubuh akibat sakit yang mulai menjalar ke seluruh bagian: persendian bahkan pori-pori.
“Kau tidak ikut main bersama teman-teman, Jalu?” Perempuan paruh baya itu bertanya pelan.
“Tidak, Jalu mau di rumah saja bersama Ibu.” Jawaban itu memang tak salah, tetapi bukan itu pula alasan penuhnya. Ejekan teman-teman lantaran dirinya yang hanya memakai sandal jepit saat ikut bermain sepak bola tempo hari membuat bocah yang kini duduk di bangku kelas dua SD itu ciut nyali untuk bergabung dengan mereka lagi. Maka, dikuatkanlah tekad Jalu untuk memiliki sepasang sepatu bola.
***
Pagi-pagi sekali, Jalu bangun dari tidur dan langsung jongkok di depan dipan kayu tempat tidurnya. Tangannya mencari-cari sesuatu pada kolong dipan, sebuah celengan plastik yang sejak lama kosong sebab dia tak pernah sempat kelebihan uang. Hasil bekerja membantu para pembeli di pasar hanya cukup untuk biaya sekolahnya dan biaya hidup mereka berdua.
“Aku harus bekerja lebih keras mulai sekarang,” janji Jalu kepada dirinya sendiri.
Maka benar saja, hampir dua minggu setelah itu, Jalu menambah jam kerjanya sepulang dari sekolah. Pulang lebih sore dari hari-hari biasanya. Uang hasil bekerja dengan penuh semangat dimasukannya ke dalam celengan plastik. Sementara sang ibu telah dia titipkan kepada tetangga, tanpa lupa memberi pesan untuknya minum obat.
Selepas bekerja membawa belanjaan pembeli, di perjalanan pulang, Jalu selalu memilih jalan yang melewati toko peralatan olahraga yang memamerkan berbagai macam model sepatu bola pada etalase kaca depannya. Di sanalah tempat sepasang sepatu bola telah membuatnya jatuh hati. Sepatu bola berwarna biru muda dengan garis-garis putih yang sangat memikat mata. Ukurannya juga terlihat pas untuk kaki Jalu. Seketika Jalu teringat dengan celengan plastik pada kolong tempat tidur. Mengira-ngira apakah isinya telah cukup untuk membeli benda impian di depannya? Dua ratus ribu rupiah untuk sepasang sepatu bola impian.
Seminggu berlalu, Jalu merasa uang yang dikumpulkan telah menembus target. Diambilnya pisau di dapur lalu membobok celengan plastik itu. Mengeluarkan isinya, dihitung dan … pas! Hati Jalu senang tak terkira. Segeralah dia pamit kepada sang ibu untuk pergi membeli sepatu impian. Perempuan lembut itu hanya mengangguk dengan wajah pucat serupa warna susu.
***
Sepatu bola impian telah di tangan. Jalu berniat menghampiri teman-temannya untuk menunjukkan sepatu barunya dan ikut bermain sepak bola bersama mereka. Namun, sebelum itu dia memilih akan pulang terlebih dahulu untuk memastikan keadaan sang ibu baik-baik saja sekaligus berbagi bahagia atas impian sepatu bola yang telah terwujud.
Jalu melangkah dengan cepat menuju rumah. Dalam benaknya, dia membayangkan senyum indah sang ibu akan terlukis di wajah ayunya. Sesampainya di halaman rumah, Jalu mendapati pintu rumahnya terbuka. Segera dia masuk ke dalam, menuju kamar sang Ibu. Namun, wanita itu tak ada dia atas tempat tidurnya. Hati Jalu mendadak gelisah. Di letakannya sepasang sepatu bola yang sedari tadi tergenggam erat di tangan pada meja ruang tamu. Dia keluar rumah untuk bertanya kepada tetangga setelah mencari sang Ibu di semua ruangan namun tak juga menemukan. Sebelum benar-benar sampai di depan pintu rumah tetangga, seorang ibu-ibu datang menghampirinya. “Lek, ibumu kambuh. Barusan dibawa ke rumah sakit sama Pak RT.”
Jalu berlari cepat menuju rumah sakit, tak peduli tangannya gemetar dan tak beralas kaki. Yang penting baginya kini adalah melihat keadaan sang Ibu.
“Ibu Adik harus segera cuci darah. Biayanya sekitar satu juta.” Suster berjilbab biru muda menjawab pertanyaan Jalu tentang keadaan ibunya.
Jalu tertunduk lesu pada kursi besi depan ruang rawat sang ibu. Memikirkan dari mana dia bisa mendapatkan uang cuci darah wanita yang kini tergeletak di atas ranjang besi rumah sakit.
Dia duduk beberapa saat lalu tiba-tiba bangkit. Berlari ke rumahnya kembali, mengambil sepasang sepatu bola dia atas meja ruang tamu. Dibawanya kembali ke toko perlengkapan olahraga yang dia datangi beberapa jam lalu. Kepada pelayan toko, Jalu menyampaikan tujuannya: menjual kembali sepatu untuk biaya pengobatan sang ibu. Namun sayang, dengan dalih barang yang telah dibeli tidak bisa dikembalikan kembali, permintaan Jalu ditolak pelayan toko. Sepertinya dia takut pula dimarahi pihak pemilik toko. Jalu semakin lesu, ingin rasanya air mata itu keluar karena kebingungan yang melanda.
Berjalan teramat pelan, tepat di depan toko, Jalu melihat seorang anak tengah menangis tersedu-sedu bersama ibu yang tengah menenangkannya. Awalnya Jalu tak acuh. Namun melihat si anak semakin keras menangis sambil menunjuk-nunjuk etalase toko, akhirnya dia bertanya. “Anak Ibu kenapa?”
“Dia minta beli sepatu bola, tapi yang dia suka sudah dibeli orang.”
“Apa yang ini?” Jalu menunjukkan sepatu bola yang dibawanya.
“Iya, benar, Dek.”
“Ini. Saya jual kepada Ibu. Saya sedang butuh uang untuk cuci darah ibuku.”
Sepasang sepatu bola impian Jalu pun saat itu pula bertukar tempat. Di tangannya, benda itu berubah menjadi dua lembar uang seratus ribu. Harga yang sama saat dia membelinya dengan uang receh isi celengan plastiknya. (*)
Evamuzy. Gadis penyuka warna cokelat muda dan peach.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata