Bus yang Membawaku Menuju Maria
Oleh: Nurul Istiawati
Waktu bergulir sangat tergesa hari ini. Senja telah tersulap menjadi malam yang datang terlalu awal. Langit terasa lebih murung dari biasanya, lebih abu-abu dari semestinya. Awan pekat membola sempurna menelan semburat jingga yang seharusnya tumpah dengan halus menyapu siluet pegunungan.
Aku merasakan mendung yang sama di hati. Dengan langkah ragu, aku turun dari bus yang mengantar ke Bandung, kota yang berdiri sebagai gerbang sejuta kenangan. Karena tuntutan pekerjaan di biro perjalanan, tak terhitung berapa kali aku menginjakkan kaki bolak-balik Jakarta-Bandung.
Semenjak kehilangan kekasih karena kecelakaan dalam perjalanan wisata, aku menjadi sangat membenci profesi ini. Andai saja, dulu aku mengiyakan permintaannya, mungkin sekarang aku masih bisa menggenggam tangannya. Rasa bersalah itu seperti ratusan belati yang menghunjam batin. Mendung mengepung hati. Langkahku gelap. Tak tahu harus ke mana dan tak ada alasan untuk menemui siapa.
“Apa kau siap untuk perjalanan minggu depan?” tanya teman kerjaku.
“Tidak. Aku akan mengunjungi Maria minggu depan.”
“Baiklah, Ga.”
Di mulut terminal, kukencangkan tali tas ransel sambil sesekali menengok ke arah langit. Gerimis mengecupi wajahku. Awan bergegas melumat rakus pegunungan dan bukit, termasuk tempatku berdiri sekarang.
***
Aku rindu Maria. Hanya kalimat itu yang ada di kepalaku. Rindu yang berulang, rindu yang tak pernah tuntas untuk sekadar dilafalkan.
Jarum jam menunjuk angka tujuh ketika bus bersiap merayap keluar dari terminal. Aku duduk di baris keempat dari depan di deret sebelah kanan. Sengaja aku memilih duduk di samping jendela agar bisa menikmati perjalanan. Tidak seperti jika duduk di depan, mataku akan terganggu dengan sorot lampu dari kendaraan yang berlawanan arah, tentu aku akan sukar menikmatinya.
Di antara derum mesin dan pekik klason yang sambung menyambung karena padatnya jalan raya, samar-samar kudengar sopir menyenandungkan lagu “Syahdu”. Tembang dangdut yang terlalu akrab untuk dilewatkan ditambah suara sopir mirip suara juri di kontes menyanyi—yang tayang setiap malam di stasiun TV—yang terlalu merdu untuk diabaikan. Dari kaca spion depan tampak wajah bersih si sopir. Matanya cerah dan bibirnya selalu tersenyum, tetapi sekali-kali ia bersiul. Tembang kerinduan itu … kepada siapakah ia rindu? Ah, tentu saja kepada istrinya.
Tak mudah jadi sopir, sebab setiap kali bus singgah di mana pun, ia juga harus menahan nafsunya untuk singgah ke perempuan mana pun. Tentu saja ia tak ingin menodai kesetiaan istrinya selama belasan tahun. Mungkin saja sekarang istrinya tengah cemas menanti ia datang dari perjalanan. Berbekal peluk, cium, dan doa dari sang istri, mau tak mau si sopir harus meneguhkan hatinya.
Sementara di sebelahku, duduk seorang pemuda. Usianya 19 tahun. Ah, bisa jadi 21 tahun, aku tak tahu persis. Ia tampak terlelap dengan kepala sedikit miring menyandar ke jok. Sepanjang bus meluncur dari lalu lintas kota, ia tetap tertidur.
Barangkali ia ingin istirahat selama perjalanan dan bangun dengan segar ketika sampai di kota tujuan. Mungkin saja profesinya adalah tukang bangunan yang bekerja di proyek jalan tol atau pembangunan hotel. Bisa juga ia adalah karyawan pabrik yang terpaksa kena PHK karena jenjang pendidikannya yang hanya lulusan SD. Aku menerka, ia pulang membawa sejumlah uang dan segenap rindu kepada ibunya.
Sedangkan jok di depanku diduduki oleh sepasang suami istri yang mengapit seorang bocah di tengah. Bocah itu sibuk mencerocos, “Mah, nanti kasih lihat Kakek mainan baruku, ya!”. Sesekali ayahnya bertanya, “Dede kangen sama teman-teman nggak?”. Kemudian si bocah berteriak girang, “kangen banget!”. Mereka tertawa dan sibuk dengan pembicaraan. Sedangkan aku tenggelam dalam kerinduanku kepada Maria.
Dari depan, kondektur bersiap menagih ongkos. Kulitnya hitam dan rambutnya sedikit acak-acakan. Mungkin karena seminggu ini ia terlalu bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya, sehingga lupa untuk merawat diri. Baru saja sebentar menagih ongkos, ponsel Kondektur itu berdering. Dengan sigap ia merogoh saku celananya, kemudian mengangkat telepon.
“Ya, Mah … ini masih di perjalanan. Besok sampai, Mah. Iya … Papah juga kangen. Oh iya, Mah, si kakak suruh belajar jangan main terus. Udah dulu ya. Dah….”
Begitulah percakapan kondektur itu. Kemudian melanjutkan pekerjaan dengan senyum semringah. Meski begitu, ia tetap harus menyimpan rindu satu malam lagi dan meluapkannya esok hari.
Di tempat pengisian bahan bakar, sopir menghentikan laju busnya. Ia menyuruh penumpang yang ingin buang hajat untuk segera turun dan bergegas ke toilet karena perjalanan akan dilanjutkan beberapa menit lagi.
Dari pintu belakang, seorang pedagang masuk. Ia memakai topi cokelat dan berbaju lusuh.
“Cangcimen, Bu! Cangcimen, Pak! Kacang, kuaci, permen buat teman perjalanan,” teriaknya dengan suara sangat cempreng.
Bukan hanya sekali, ia berteriak berkali-kali dengan suara cempreng khasnya. Ia terus menghampiri para penumpang dan menawarkan barang dagangannya. Tidak semua penumpang, ia hanya menawarkan kepada penumpang yang tak tertidur. Sebagian penumpang pura-pura tidur saat dihampirinya. Bayangkan, betapa sulit hidupnya. Hampir setiap hari ia harus naik-turun bus, mencari nafkah, tetapi diabaikan oleh orang-orang. Hatinya lebih teriris ketika diabaikan dibanding ditolak tawarannya.
Bicara tentang diabaikan, aku teringat kepada Maria. Ia pernah meminta sesuatu padaku, namun tak kukabulkan. Maria bilang, “Ga, antarkan aku ke taman bunga di kota sebelah, mau ‘kan?”. Saat itu aku sibuk dengan pekerjaan di biro perjalanan sehingga kuabaikan permintaan kecilnya. Maria selalu merengek minta diantarkan seperti anak kecil. Kemudian aku mengelus rambutnya yang berponi. “Nanti ya, kalau aku tidak sibuk,” tolakku kepada Maria. Sepersekian detik kemudian wajah Maria tampak murung. Aku menghiburnya dengan berjanji akhir pekan nanti akan kuantar. Maria tersenyum dan mulai bercerita betapa ia sangat ingin ke taman bunga, melihat hamparan dandelion, kemudian memetiknya satu lalu ditiup. Katanya, “dandelion yang putih akan terbang lalu jatuh menyentuh pundak seorang pria, kemudian pria itulah yang akan menjadi suamiku. Dan aku harap dandelion itu menyentuh kamu, Ga.”
Ah, mengingat Maria hanya akan membuat pipiku memerah tersimpul malu. Lalu benda bening mengalir dari kedua mataku. Sebab yang kuingat, itu adalah permintaan terakhir Maria, kekasihku.
“Aku datang, Maria. Akan kukunjungi rumah terakhirmu,” ucapku membatin.
Kulihat jam tangan menujuk pukul 02:45, bus melesat kencang di jalan yang lengang. Semua penumpang dan kondektur terlelap pulas. Si sopir juga….
Aku mengucek mata. Oh, tidak! Si sopir tertidur dan kecepatan bus tak terkendali. Aku berteriak memanggilnya, tetapi terlambat. Bus terlanjur melaju menabrak pohon. Semua penumpang terguncang, begitu juga dengan rindu yang mereka bawa. Si sopir dan kondektur tewas di tempat karena terjepit. Beruntung semua penumpang hanya luka-luka.
Ah, memoriku kembali memutar ingatan kelam tentang Maria. Karena permintaannya yang tak kukabulkan, ia nekat pergi sendiri ke taman di kota seberang. Aku yang sok sibuk, terkejut ketika melihat siaran berita televisi tentang kecelakaan bus yang masuk ke jurang. Aku menelepon Maria tapi tak dijawab. Dua hari berikutnya, rumahnya kedatangan polisi dan ambulan yang membawa jasad Maria. Aku menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpa Maria. Seandainya kuturuti permintaannya, mungkin ia takkan berakhir seperti itu. Maafkan aku, Maria….(*)
Pemalang, 03 April 2019
Biodata: Nurul Istiawati, gadis 18 tahun penggemar warna pink dan hobi dengerin musik klasik.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata