Yang Punya Penyakit Jantung, Hipertensi, Asma dan Penyakit Dalam Lainnya …

Yang Punya Penyakit Jantung, Hipertensi, Asma dan Penyakit Dalam Lainnya …

Yang Punya Penyakit Jantung, Hipertensi, Asma dan Penyakit Dalam Lainnya …
Oleh: Retma Nurika

Pagi ini, mentari menampakkan sinarnya begitu cepat. Semalam aku seperti memejamkan mata hanya beberapa jam saja. Mataku seperti mata panda karena kurang tidur, tapi apa boleh buat … hari ini aku harus bangun pagi. Pertama masuk kuliah, harus semangat, dan tak boleh terlambat. Walaupun sebenarnya aku merasa lesu.

Hap.

Aku beberapa kali menguap. Inilah penyebabnya kenapa orangtuaku tak pernah mengizinkan aku naik sepeda motor.

“Sudah jam segini, kok, busnya belum lewat,” gumamku.

Berulang kali kugeser layar handphone, sekadar menengok jam.

“Blitar, Neng, Blitar!” teriak kernet bus, yang tiba-tiba terdengar keras.

Bus tampak mendekat. Kernet bus berada di tepi pintu masuk bus, sehingga tampaklah separuh tubuhnya, sedang melambai-lambaikan tangan kirinya.

Aku segera berdiri, melangkahkan kaki, maju dan turun ke pinggir jalan, keluar dari jalur trotoar. Aku mengayunkan tangan kananku, pertanda aku memberhentikan bus tersebut.

Ciiit.

Suara rem bus yang memekakkan telinga terdengar begitu keras. Bus itu berhenti tepat di hadapanku.

Bus Kawan Kita jurusan Kediri-Blitar, menjadi pilihanku. Karena hanya dia, bus berukuran sedang, yang melewati kampusku. Letak kampusku berada di tengah kota dan tidak terlalu jauh dari rumahku, inilah salah satu alasan yang membuatku tak berani naik bus besar.

Aku segera naik bus dan memilih tempat duduk yang nyaman. Rumahku yang dekat terminal, membuatku selalu beruntung. Aku bisa memilih tempat duduk di mana pun karena bus masih sepi dan belum banyak penumpang. Biasanya aku lebih suka duduk dekat pintu depan bus. Di samping bebas berbagai macam bau, aku juga bisa menikmati pemandangan yang menghiasi jalanan yang dilalui bus.

Brum ….

Bus mulai berjalan, kupandangi tugu, sebagai petunjuk nama desaku. Tugu yang selalu setia menjadi sandaran tubuhku kala menunggu bus yang lewat. Tidak lama kemudian tugu terlewatkan dan menghilang berganti rumah penduduk, persawahan dan penghias jalan lainnya.

Udara pagi yang sejuk makin membuat rasa kantukku tak bisa ditahan lagi. Aku berulang kali terkejut ketika kepalaku hampir menjatuhkan diri. Aku segera bertindak cepat guna mengusir keinginan untuk tidur. Aku merogoh tas. Permen, mana permen?

Aku mengingat sekantong permen yang kubeli sebagai teman melewati masa OPSPEK. OPSPEK yang berlangsung seminggu, sebelum akhirnya memulai kuliah hari ini. Aku membuka sebungkus permen mint, yang menyegarkan dan menebarkan aroma wangi. Mataku langsung terbelalak saat permen tersebut menyentuh lidah.

“Hmmm.”

Aku jadi teringat OPSPEK yang kukira menegangkan. Ternyata … dia membuatku menepis semua prasangka buruk dan rasa parno selama mengikuti OPSPEK. Dia, dengan wajah redup dan pembawaan yang tenang, mampu melebur suasana. Aku suka tatapan matanya yang lembut dan cara berbicaranya yang kalem.

Ciiit.

Bus berhenti, itu artinya akan ada penumpang yang naik ataupun turun. Tapi biasanya, kalau baru jalan dari terminal dan masih banyak bangku kosong, pasti kemungkinannya adalah penumpang ini akan memakai jasa bus.

Seperti dugaanku, ada empat pemuda menyandang tas di punggungnya, menaiki bus. Dari penampilan mereka, sepertinya mereka juga mahasiswa sepertiku. Satu per satu melirikku, tapi itu tak akan mengubah keputusanku. Aku masih diam dan tak bergeser tempat, walaupun di sebelahku masih kosong. Tak ada perintah dari sang kondektur atau kernet bus untuk bergeser. Lagi pula, di belakang masih banyak kursi kosong.

Bus mulai melaju kembali. Tak berapa lama kemudian, sang kondektur mencolek pundakku dari belakang. Aku yang sudah hafal dengan kode tersebut, langsung merogoh kantong dan mencari lembaran dua ribuan. Uang pas, yang sengaja aku siapkan sebagai upah mengantarku sampai kampus.

“Lapangan, Pak!” ujarku sambil menyodorkan uang dua ribuan.

“Mau main sepak bola, ya, Neng, kok turun lapangan?” goda sang kondektur.

“Sekolah, Pak. Masak penampilan kayak gini dibilang mo main bola?” jawabku singkat, sambil tersenyum sinis.

Sang kondektur tertawa lebar mendengar jawabanku. Kemudian, dia segera berlalu mengemban tugas yang belum terselesaikan. Dia berkeliling ke seluruh penumpang, menarik karcis.

Lapangan lebih dikenal daripada kampusku yang terletak di belakangnya, meskipun kampusku masih tampak jelas dari jalan raya. Lapangan itu jadi terkenal karena sering digunakan pemain sepak bola ternama di kotaku. Mereka sering tampil di layar kaca karena kepiawaiannya dalam bermain bola. Mereka kerap memenangkan kejuaraan di setiap pertandingan.

Kurogoh tas dan mengambil handphone. Kugeser layar dan melihat jam. Kupandangi wallpaper yang berisi teman-teman baru yang kukenal selama OPSPEK. Aku pernah dorong-dorongan dengan salah satu dari mereka, kala kami melihat dia yang baru keluar dari musala.

“Ada apa, Dek? Mau minta tanda tangan, ta?” ucapnya ramah sembari memakai sepatu.

Mungkin dia sudah memperhatikan gelagat kami, yang malu-malu tapi mau. Aku mendapatkan tanda tangannya sebagai tugas akhir OPSPEK. Setelah itu, aku hanya bisa melihatnya dikerumuni mahasiswa lain yang juga berburu tanda tangan sang senior.

Ciiit.

Lagi-lagi suara rem bus, membuyarkan lamunanku. Aku mulai memandang ke luar pintu, yang sebentar lagi akan ada penumpang baru.

Bukankah itu dia? Kok bisa? Mimpikah ini?

Aku segera tersenyum padanya. Aku tak perduli apa dia masih mengingatku atau tidak. Tapi nyatanya dia membalas senyuman padaku. Aku langsung bergeser tempat duduk, berharap dia akan duduk di sebelahku.

“Anak IAIN, ta?” ucapnya, setelah duduk di sebelahku.

“Iya … Mas, ‘yang punya penyakit jantung, hipertensi, asma dan penyakit dalam lainnya. Harap keluar gedung!’” ucapku, seraya mengikuti kata-katanya setiap kali memasuki gedung. Gedung di mana seluruh mahasiswa baru berkumpul di sana. Dia selalu mengatakan itu sebelum memulai penggemblengan mahasiswa baru oleh senior lainnya.

“Hahaha,” dia tertawa, tak menyangka aku hafal dengan kata-katanya selama OPSPEK.

“Gini, lho, Dek. Kata teman-teman, wajahku gak pantes jadi senior yang kejam, jadi aku cuma dapat tugas itu. Oh, iya, namanya siapa?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku berkenalan.

Selang lima belas menit kemudian, bus telah sampai mengantarkan kami di kampus.

Ladies first,” ucapnya ketika akan turun dari bus.

Setidaknya aku tahu dan memiliki senior yang welcome dengan mahasiswa baru. Senior dengan senyum manis dan masih kukenal ramah.(*)

Blitar, 3 April 2019

Retma Nurika, wanita sederhana yang humoris.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata