Teriring Doa Ibu

Teriring Doa Ibu

Teriring Doa Ibu
Oleh: Dyah Diputri

Jarum pendek jam dinding hampir mengarah ke angka sebelas. Ini kesekian kalinya aku mondar-mandir antara teras dan kamar, menanti Adillah pulang sekolah. Tidak seperti hari Jumat biasanya, ia pulang terlambat.

Dalam hati sempat ingin melangkah untuk menjemputnya, tapi takut nanti malah ia sudah pulang lewat jalan lain, sebab jalan menuju tempat ia menimba ilmu ada beberapa alternatif. Lagi pula, sejak putra delapan tahunku menginjak tingkat dua sekolah dasar, aku sudah tidak pernah mengantar-jemput. Bukannya malas, tapi karena Adillah yang meminta. “Malu, Bun. Sudah besar masih diantar, dijemput. Aku bareng teman-teman aja,” keluhnya, kala itu.

Suara qiraah dari toa masjid sudah dikumandangkan sejak beberapa menit yang lalu. Di jalanan depan sana para jemaah pria dengan wangi-wangian khas pun mulai berjalan di bawah terik matahari, menuju seruan-Nya. Namun, putraku tak kunjung pulang.

Tiba-tiba terdengar salam yang terucap lemah dari depan pagar. Bocah itu akhirnya sampai.

“Dari mana aja, Dil? Kok baru pulang? Bunda lihat, si Ariel udah pulang dari tadi.” Kusambut Adillah dengan pertanyaan ala mama-mama cerewet.

Adillah tak menjawab. Tanpa melepas seragam olahraganya, ia menengkurapkan diri di atas kasur. Tas dan sepatunya juga berceceran di lantai. Kupungut lalu kutata di tempatnya, kemudian kudekati ia.

“Kok malah tidur? Bunda nanya juga nggak dijawab. Kenapa?” Kuelus perlahan dahinya, takut kalau ia sedang demam atau apa. Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Suhu tubuhnya biasa saja.

“Capek, Bun.”

“Abis dimarahin Bu Guru?”

Adillah menggeleng. Pipi tembamnya tampak menggemaskan saat ia sedikit memanyunkan bibir.

“Ya, udah. Buruan mandi, Nak. Sholat Jumat dulu. Nanti, sepulang dari masjid, nggak usah balik ke sekolah. Pramukanya biar Bunda yang izinin sama Pak Bagyo.” Kutepuk perlahan pundaknya, lalu bangkit hendak keluar kamar.

“Nggak mau sholat Jumat, Bun.”

Seketika aku terpaku. Kugelung rambut panjangku yang tadi terurai seraya berbalik badan. “Loh—loh, kenapa kok malah bolos sholat Jumat?”

Mendung bergulir dari mata bening lalu turun ke mulut putraku. Aku masih menunggu ia bicara, sedang ia lebih suka menyimpan keluh kesah. Diam seribu bahasa.

“Sholat Jumat, Nak. Wajib bagi laki-laki.”

“Bunda …,” rajuknya tiba-tiba dengan sergapan ke arahku, memelukku erat, “Adillah sedih, teman-teman sholat Jumat sama ayahnya, aku nggak pernah ….”

Jantungku hampir berhenti berdetak. Pikiranku mendadak kacau. Sekuat hasrat ingin menahan kaca-kaca yang hendak pecah di mata, berharap pula gejolak hati menjadi normal. Napasku tercekat di tenggorokan, nyeri di sanubari mendengar rintihan Adillah.

“Kenapa harus nunggu Ayah? Sholat itu kan kewajiban masing-masing, Nak?”

Air mataku akhirnya tumpah. Menitik tepat di rambut ikal hitam milik Adillah. Meski mungkin saja ia merasakan sakit hatiku, tapi aku tak sanggup berlama-lama membagi kesedihan dengannya.

Adillah tahu jika ayahnya tak mungkin menemani pergi ke masjid. Jangankan memakaikan kopiah ke kepalanya, datang berkunjung saja adalah hal yang mustahil. Bocah itu seumur hidupnya hanya bisa memandang foto sang ayah di album usang. Itu pun hanya sebiji. Sementara raga sosok yang diharapkan tak mungkin menjadi nyata di hadapannya. Aryo, suami sehari hasil pernikahan siriku telah pergi meninggalkanku beberapa jam setelah acara ijab kabul. Pergi … ya, pergi kembali kepada istri sahnya yang kala itu sama-sama tengah mengandung benih Aryo. Tak ada bedanya antara aku menikah untuk menutupi aib ataupun tidak sama sekali, nyatanya Adillah lahir dan besar tanpa pernah memandang wajah ayahnya. Menyakitkan.

“Sholatlah, Nak. Dengan atau tanpa ayahmu. Pertanggungjawabanmu nanti di akhirat sama Allah itu tidak mudah. Bunda mohon, berhentilah mengeluh tentang ayah.”

Adillah memandang lekat padaku yang tertunduk dan terisak. Aku tak punya banyak kata untuk memberi pengertian mengenai sosok ayahnya, tapi mungkin aku punya kesempatan untuk terus menanamkan semangat berilmu dan beragama padanya.

“Bunda, jangan nangis lagi,” ratapnya, seolah-olah merasakan dilemaku.

“Satu hal yang harus kamu ingat, Nak. Seorang laki-laki tidak hanya memanggul dosanya sendiri, tapi juga dosa ibu, saudara perempuan, dan anak perempuannya kelak. Apa jadinya jika kamu lalai untuk beramal saleh dan beribadah, sementara dosa Bunda mungkin sudah terlalu banyak. Kalau Adillah tidak jadi anak yang saleh, bagaimana bisa menolong Bunda kelak di akhirat?”

“Adillah ngerti, Bunda,” bisiknya sambil menggenggam tanganku. Ia menghela napas panjang dan berusaha duduk sejajar denganku. Jari telunjuknya mengusap pelan jejak air mata di pipiku, kemudian mencium pelan dahiku.

Ah, betapa lemahnya hatiku di hadapan anak ini. Lebih tak ada digdaya lagi jika mengingat Yang Maha Kuasa, betapa Allah masih menyayangiku, membukakan pintu tobat untukku, serta memberiku seorang putra yang menguatkanku. Lagi, Allah menitiskan jiwa suci dan rendah hati padanya yang tak memiliki keluarga sempurna dibanding yang lainnya.

Azan pertama dikumandangkan. Segera, Adillah melipatkan sarung di pinggang, menyambar sajadah, lalu berpamitan padaku. Mengejar waktu untuk duduk di barisan saf sebelum khotbah dimulai.

“Maafin Adillah, ya, Bun. Sudah bikin Bunda sedih. Aku pergi sholat Jumat dulu,” pamitnya setengah berlari.

Jarak rumah dan masjid hanya sekitar dua ratus meter. Dari kamarku, bisa kudengar jelas suara berapi-api khotib yang berceramah hingga sampai pembacaan doa di akhir sholat Jumat. Pada rentang waktu itu, biasanya kulanjutkan aktivitas merajut tas pesanan tetangga yang jadi mata pencaharianku untuk menghidupi Adillah.

Setengah jam berlalu, Adillah kembali pulang. Baru mendengar salamnya, kuhentikan aktivitasku, lalu beranjak menyambut dengan senyum semringah.

“Bunda, aku sudah pulang,” serunya bersemangat.

“Ceramahnya tentang apa tadi?” tanyaku, sekadar mengetes apakah ia bergurau di masjid atau tidak.

“Ehm, tentang amal ibadah yang nggak putus sampai kita meninggal, Bun.”

“Oh, ya, apa itu?”

Adillah melepaskan baju koko dan sarung, melipat asal, dan meletakkannya di sofa, kemudian kembali duduk di dekatku. “Yang pertama itu sedekah, trus ilmu yang bermanfaat, trus … ehm ….”

“Apa, hayoo? Doa anak sa—”

“Iya, Bun. Anak saleh yang mendoakan orangtuanya,” ucapnya senang bisa menjawab pertanyaanku.

“Jadi, apa dong yang harus Adillah lakukan biar jadi anak yang saleh?”

Bukannya menjawab, Adillah malah tertawa cekikikan. Mataku membulat sempurna melihat tingkahnya. Kunanti dengan sabar sampai ia berhenti melucu.

“Kalau kata imam di masjid, harus selalu ingat Allah dan orangtua, banyak sedekah, trus amalkan ilmu, doakan orangtua. Gitu! Tapi—”

“Apa? Adillah mau ngapain?”

Dia kembali tertawa. Kemudian dengan malu-malu ia bersandar ke pundakku, “Tadi, Adillah tadi kan terburu-buru, Bun. Lupa bawa uang amal. He—he. Trus, trus, waktu mau baca doa buat orangtua dalam hati, eh … Adillah lupa baca doa makan, Bun. Habisnya, laper.”

Fiuh, kukira kenapa. Dasar bocah, bikin Bundanya ngakak pula. “Ya, udah. Makan dulu, yuk! Tapi nanti kalau sholat Asar, doa buat Bunda dobel, ya?” gurauku.

Adillah tertawa lagi, mengiyakan kata-kataku yang dianggap lucu. Ah, apalah itu, Nak. Semoga kamu tak pernah bercanda tentang ibadah yang sesungguhnya. Doa Bunda selalu menyertaimu. Semoga kelak kamu menjadi anak yang diridai Allah sebagai penghuni surga-Nya. Aamiin. (*)

 

Malang, 30 Maret 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata