Perempuan itu Bernama Ratih

Perempuan itu Bernama Ratih

Perempuan Itu Bernama Ratih
Oleh: WS. Lestari

Rinduku membuncah bagai menyusup ke seluruh urat nadi. Bahkan, tidak kubiarkan sepersekian detik kerja syaraf ini memikirkan yang lain. Entahlah, ini cinta gila atau gila cinta. Sepekan tidak bertemu Mas Sena, terasa ada yang kurang dalam hidupku. Ya, suamiku telah menjadi canduku, yang memabukkan tanpa jeda waktu. Aku teramat mencintainya. Bukankah memang seharusnya begitu dalam sebuah hubungan?

Selama perjalanan, ponsel sengaja kumatikan. Pekerjaan ke luar kota sudah selesai, tinggal mengambil jatah cuti tiga hari dari kantor. Tak kuhiraukan ledekan teman-teman satu tim yang memakai mobil kantor.

Sekali lagi, perasaan kangen yang begitu menguasai jiwaku. Hampir semua yang ada dalam diri Mas Sena, aku menginginkannya. Wajah rupawan itu bila tersenyum membuat jantung berirama indah. Belum lagi sikap lembutnya membuatku sering merasa tersanjung. Dia sosok yang selama ini kudambakan kasih sayangnya yang hangat di setiap saat. Tanpa kuminta, Mas Sena begitu mengerti dan perhatian.

Di mataku terbayang dekapan yang kurindukan. Enggan melepasnya meski sekejap. Mas Sena menghadirkan mimpi dalam tautan yang menggelorakan dada. Ah, bus yang super cepat sekalipun, terasa lambat menuju rumah.

“Sedang bahagia, ya, Mbak?” seorang perempuan yang duduk di sebelahku menyapa.

“Ah, biasa aja.” Malu rasanya kepergok senyum sendiri.

“Pasti mau ketemu orang yang dicintai, ya?”

“Kok tahu, Mbak?” aku ganti bertanya.

“Saya juga merasakan begitu, Mbak. Sudah tiga tahun kami berpisah.”

“Oh, ya? Lama benar, Mbak? Saya seminggu saja kangen berat.” Dia tertawa mendengar kejujuranku.

“Itulah cinta, Mbak. Saya mencintainya maka saya juga harus berkorban untuknya.”

“Maksudnya? Maaf loh, kalau jadi kepo ini. Bukankah demikian seharusnya dalam sebuah hubungan?’ tanyaku. Padahal kurang paham juga apa itu pengorbanan. Selama ini Mas Sena yang lebih pengertian.

“Saya hanya meminta agar dia jujur, itu saja!”

“Dia bohong selama ini?”

“Ya. Untuk kebaikan, begitu katanya.” Aduh, kayaknya rumit ini masalahnya.

“Ada dua hati yang harus diperhatikan, dirawat dan dijaga. Hati yang pertama sudah merelakan untuk kebahagiaannya. Sedang hati kedua saya tidak tahu, apa yang ada dihatinya.”

“Maaf, apa Suami Mbak nikah lagi?”

“Begitulah, saya terima semuanya. Dia ingin berbakti dan membahagiakan ibunya.” Senyum perempuan hebat itu mengembang.

“Emm … maaf lagi, Mbak. Boleh saya tahu, apa Mbak menderita selama ini?”

Sejenak terlihat senyum tipisnya. “Menderita itu bila kita tidak ikhlas. Sedari awal saya sadar dengan segala risikonya. Adalah kemuliaan bagi saya bila bisa memuliakan perempuan lain. Saya yakin istri suami saya bahagia bersamanya.”

“Mbak mulia sekali hatinya,” ucapku sembari tersenyum, takjub.

“Biasa saja, Mbak, kita itu, kan, cuma hamba. Menerima apa maunya Sang Pemberi Hati. Bukan kita yang mau dan mengatur Dia. Menurut saya begitu,” jelasnya.

Dari temaram lampu bus terlihat wajah sendu menyimpan kerinduan yang teramat dalam. Aku menghela napas. Masih ada orang di dunia berhati mutiara seperti si Mbak ini yang merelakan suaminya menikah lagi, karena alasan bentuk cinta dan pengorbanan. Ah, sungguh sulit di nalar. Aku tidak mau membayangkan apa-apa.

***

Ternyata Mbak Ratih—nama perempuan itu—turun di gang yang sama denganku. Kami berjalan bersama sampai di depan rumah. Perempuan berbaju syarii itu menatap heran  ketika tepat berdiri di depan rumahku.

“Kenapa terlihat heran, Mbak?”

“Benar ini rumah Mbak Wina? Alamat yang saya cari kok sama, ya?” Dia balik bertanya.

“Iya benar, ini rumah saya. Masa, sih, Mbak?” Perasaaanku menjadi tidak enak.

Tetiba teringat Mas Sena yang sering menelepon seseorang. Dia juga menanggapi dengan terburu-buru. Sesekali kata ‘sayang’ terdengar saat berkomunikasi. Tak jarang laki-laki penyabar itu, sering bermimpi buruk tanpa memberiku kejelasan. Wajahnya sering terlihat menatap kosong setiap memandang dompet kulit miliknya. Sesekali dia menyebutku dengan sebuah nama … Atih … ya, Atih.

Oh, bukan, tidak mungkin! Batinku mencoba melawan.

“Apakah nama Mbak, Wina Agustina Priyadi, putri pengusaha properti dari Solo?” suara lembut Mbak Ratih mengagetkan.

“I—iya, benar. Kok, Mbak tahu?” Aku mendadak gugup.

Mbak Ratih tersenyum penuh makna, matanya tajam menatapku. Mata yang menyiratkan kesedihan dan ketulusan. Kami saling tatap tanpa sepatah kata. Panasnya bagaskara kali ini tidak membuatku beringsut. Rasa kangenku berpendar bersama panas tubuhku yang mendadak tinggi. Nurani perempuanku membawa pada nalarku, mungkinkah Mbak Ratih istri suamiku?

Aku menoleh, ketika laki-laki yang kurindukan memanggil Mbak Ratih dengan nada yang tertahan. Dia tidak melihatku karena tubuhku terlindungi pohon mangga yang besar. Rasa rindu yang menancap ke ubun-ubun kini lenyap sirna.Ya Tuhan, kedatangan perempuan itu membuat mata laki-laki yang kupuja itu berkaca-kaca.

“Atih … kamu?” tanyanya dalam getar. Pelan-pelan aku beringsut dan menjauh.

Mas Sena tidak menyadari langkah berat kakiku. Sejenak tubuhku menjadi kaku melihat kedua insan itu berpelukan erat. Butiran bening yang mengalir deras menghiasi kerinduan keduanya.

Hatiku bertanya, apakah Tuhan  menunjukkan kuasa-Nya kali ini? Aku yang selama ini pura-pura tutup mata dan telinga, tidak bisa berkata apa-apa. Aku telah merampas milik orang lain tanpa nurani. Cintanya yang terlalu kokoh kembali menyatu dengan belahan jiwa sejatinya.

Ternyata obsesiku menikahi Mas Sena, yang memiliki kesempurnaan di mataku hanya menyisakan kepedihan. Aku telah melukai perasaanku sendiri, bukan perempuan bernama Ratih yang telah ikhlas menerimaku menjadi madunya. Mataku basah, dunia pun menjadi berkabut dan gelap. (*)

Kalasan. 21 Oktober 2018

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata