Apa yang Tuan Inginkan
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Raut wajahnya sangat tenang. Setenang air danau yang dalam. Mungkin berbagai pengalaman hidup yang telah membentuknya. Seburuk apa pun keadaan yang kami hadapi, ia selalu bersikap seperti itu. Air mukanya selalu terlihat tanpa riak sama sekali. Sesekali aku mencuri pandang, mencoba mencari tahu yang sebenarnya. Di saat kami menemui banyak orang yang berbeda, aku melakukannya seperti biasa: menebak apa yang sedang ia pikirkan dan bagaimana kemungkinan berikutnya.
Kau mau tahu mengapa aku melakukannya? Sebab aku sangat mengaguminya.
Air mukanya memang cenderung menunjukkan emosi yang datar, dingin, dan tatapan mata yang setajam elang ketika menatap lawan bicaranya, begitu cermat. Sesekali pula ia bisa berganti ekspresi. Dari seraut wajah yang ramah, kemudian tertawa terpingkal-pingkal, dan lima menit kemudian berubah lagi. Menjelma kembali menjadi satu sosok awal yang kujelaskan tadi. Begitu tenang. Melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang menohok, menghujam, langsung menuju topik pembicaraan. Menunjukkan keingin-tahuan, atau menguji lawan bicaranya? Yang jelas ia memperlihatkan kemampuan yang luar biasa. Dan ini yang sangat ingin kupelajari darinya.
Ia yang biasa kupanggil “tuanku” adalah adalah rekan sekaligus—kuanggap—mentor di duniaku yang penuh rahasia dan teka–teki ini.
Terkadang aku menyamakan ia dengan seekor singa yang akan menjemput ajal mangsanya. Menikmati setiap sobekan yang ditorehkan taring-taringnya yang tajam. Jika mangsanya salah bergerak akan membuat luka sobekannya semakin melebar dan menganga. Begitu juga dengannya. Jika lawan bicaranya salah bicara, ia akan tega menghabisinya. Tak ada pengampunan sama sekali jika sang lawan salah menjawab. Kurasa dari beberapa orang yang pernah mengucapkan pertanyaan kepadanya, pasti sangat menyesal dan berusaha menarik kembali kata-katanya. Seolah-olah memasuki pintu jebakan yang telah disiapkan sendiri oleh pembuatnya. Tuanku begitu mengagumkan.
***
“Apa yang Anda inginkan?”
Pertanyaan itu ia tanyakan langsung kepada seorang pria paruh baya di hadapannya siang ini. Orang lain mungkin akan menunjukkan rasa hormat, atau sedikit rasa segan. Ya, siapa yang tidak segan jika yang kamu temui adalah seorang CEO sebuah perusahaan ternama yang telah lama listing di lantai bursa. Untuk berada di sini saja orang lain harus melewati penjagaan yang berlapis-lapis. Tetapi tidak dengan kami, ada pengecualian. Layaknya seorang sahabat yang hendak menemui seorang teman lama. Biasa saja. Dari lantai lobi, kami menaiki private lift, hanya dipandu seorang penjaga. Itu pun mungkin sebagai sebuah bentuk penghormatan yang selayaknya tuan rumah lakukan.
Itu, maksudku, seharusnya tuanku sedikit menjilat saja. Tidak langsung bertanya jika menemui orang nomor satu di perusahaan ini, dan nyatanya ia melakukan hal sebaliknya.
Hmm, ini pasti sebuah pertunjukan menarik. Lihat saja nanti. Aku menunggu ia memulai permainannya.
***
Tuanku menunjukkan ekspresi biasa. Seperti biasanya. Seolah tak pernah mengenal atau mengetahui seseorang yang di hadapannya. Ia bersikap santai. Mimik wajahnya tenang dan tak ada gerakan tubuhnya yang menunjukkan perasaan cemas, takut atau sekadar ragu.
“Saya ingin dia turun. Kebijakan yang diambilnya sangat merugikan kepentingan kami. Kami ingin ada pergantian pemimpin, sebuah suksesi. Ia harus diturunkan segera,” lelaki paruh baya yang berada di hadapannya memulai bicara, sedikit menjelaskan pandangannya.
“Ya, Kami yakin bisa. Pasti bisa. Tetapi tunggu saja. Kami memang bisa menciptakan kesempatan atau peluang, tetapi kami tidak bisa menciptakan keajaiban. Kami menunggu titik lengahnya. Itu yang harus Anda mengerti.” Tuanku mencoba membuat lawan bicaranya mengerti dengan situasi sebenarnya.
“Berapa yang Anda minta?” Lelaki paruh baya bertanya dengan santai. Seolah ia ingin mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya.
“Tergantung … berapa lama waktu yang kita butuhkan, dan siapa ia yang sebenarnya, juga mereka yang berdiri di belakangnya. Selain itu kita harus mulai menciptakan dan membentuk opini baru secara terus-menerus. Itu termasuk pengeluaran tambahan. Jadi sebaiknya, siapkan saja uang Anda. Semakin cepat semakin bagus, kita sudah bisa memulai bekerja,” tuanku menjawab dengan lugas.
“Berapa yang Anda inginkan?” Lelaki paruh baya, pemilik perusahaan properti terbesar ini, mulai tertarik kata-kata yang diucapkan oleh tuanku.
“5% saham Anda, dan yang lain-lain termasuk soal term pembiayaannya, biar pengacara saya yang menjelaskan,” jawab tuanku sambil menengok ke arahku.
Lelaki paruh baya tergagap, ia tak menyangka bahwa pertanyaannya akan mendapatkan jawaban yang sungguh tak terduga. Melepaskan saham gratis begitu saja kepada seseorang yang baru dikenal, sungguh di luar kewajaran! Lelaki paruh baya berdiri mengenakan jasnya. Udara ruangan presiden direktur yang sebenarnya sudah dingin oleh pendingin udara seolah menjadi bertambah dingin dari yang seperti biasanya. Terlihat sekali wajahnya menunjukkan kejengkelan. Tetapi sekaligus ia juga berpikir, siapa lelaki itu?
Tuanku kembali berkata, tetapi kali ini ia lebih menyerupai seorang duru yang sedang menerangkan pelajaran kepada muridnya.
“5% untukku terlalu sedikit dari yang seharusnya saya minta kepada Anda. Jangan lupa, kita juga sedang berbisnis. Ada untung dan rugi. Tetapi saya tahu, ada satu konsorsium dari beberapa perusahaan milik teman-teman Anda yang terkena masalah dan mereka ingin bergabung, kan? Anda tidak mungkin mau membayar dengan uang Anda sendiri. Anda tekan saja mereka, dengan balas meminta berapa persen saham kepemilikan perusahaan mereka seperti cara saya tadi. Mudah saja kan … saya tak perlu meminta dari mereka satu per satu. Atau saya yang harus melakukannya? Ingatlah! Kepentingan Anda adalah bisnis jangka panjang.”
Lelaki paruh baya tersenyum, seolah baru mendapatkan pencerahan. Ia berdiri mendekati tuanku, menyalami, dan kemudian memeluknya.
“Oke. Anda tak usah khawatir. Saya suka Anda. Satu jabatan komisaris telah saya siapkan untuk orang seistimewa Anda. Bergabunglah dengan kami sesegera mungkin. Senang berbisnis dengan Anda.” Kali ini Ia tertawa lebar. Senyumnya lebih menyerupai serigala. Lelaki paruh baya akhirnya juga mengerti ia bicara dengan siapa.
Aku cuma tersenyum tipis, malas untuk tertawa. Logika pengusaha: rugi satu dapat lima, rugi lima dapat lima belas, dan seterusnya. Ini bukan bisnis kelas recehan. Ini bisnis gurita. Aktornya seekor gurita dan sang sutradara juga bukan sembarang gurita. Seekor gurita yang sangat, sangat besar. Cengkeraman tentakelnya menghisap dan menjalar ke mana-mana. Dari balik gedung parlemen, pembuat kebijakan, makelar demo, orator ulung, opportunis, pengusaha yang rakus, pengangguran banyak acara, akademisi, bahkan beberapa pemilik media penyiaran. Semua orang yang bisa dimanfaatkan. Atau mungkin saja bisa sampai kepada pucuk pimpinan paling teratas di negeri ini?
***
Kami bersantai sejenak di sebuah kafe untuk menikmati dua gelas kopi. Membahas apa saja yang telah kami bicarakan dengan pengusaha tadi. Sambil menunggu datangnya pesanan kami, aku menanyakan sesuatu.
“Kenapa Anda meminta saham 5% barusan?”
“Ah, anak muda. Kamu jangan terlalu naif. Dua tahun lagi aku akan pensiun. Aku bosan membuat keriuhan. Kau pikir hidup sebagai agen rahasia tidak mendebarkan. Aku juga seorang pria yang ingin hidup tenang bersama istri, anak dan cucuku nanti. Terkadang hati nurani ini juga bertanya. Yang kita lakukan ini benar atau tidak? Kau pasti tahu itu! Pada satu titik aku mulai jenuh dengan pekerjaanku ini. Aku suka padamu, suatu saat nanti engkau yang akan meneruskan bisnis sampingan ini,” ia bercerita seolah dari dalam hati. Lalu ia tersenyum dan kali ini aku bebas memandang tatap matanya. Tak ada rasa sangat ingin tahu yang seperti biasa. Ini adalah pekerjaan sampingan di luar pekerjaan utama.
“Mengapa mereka merekrutmu? Aku pikir seorang lulusan Harvard, School of Law tak sulit untuk menemukan karir yang cemerlang di sana?” Ia bertanya sambil menghirup kopinya.
“Aku dendam dengan negeri ini, mereka membantai habis keluargaku tahun ’98. Hanya itu. Alasan yang sangat pribadi sebenarnya. Mereka menawariku pekerjaan ini jauh hari sebelum aku lulus. Setelahnya, baru aku mendapatkan pendidikan dasar intelijen yang sebenarnya selama setahun di Langley, Virginia. Kemudian mereka mengirimku ke sini. Ada sesuatu yang menarik sepertinya. Sesuatu yang baru tumbuh di negeri ini. Terorisme, fundamentalisme, mungkin juga ada perubahan strategi kebijakan politik luar-negeri Amerika setelah tragedi World Trade Center. Entahlah … aku tak boleh mengatakan kepadamu. Tetapi mereka menginginkan hubungan yang lebih intens antara aku denganmu, sebagai penghubungku di sini, begitu perintah dari kantor pusat. Mereka mengirimku untuk membantumu sekaligus menggali lebih dalam informasi-informasi penting darimu, hanya itu tugasku, lainnya ialah melakukan apa yang mereka perintahkan saja,” tukasku.
“Tetapi mengapa Mossad juga sangat ingin merekrutmu? Itu yang aku belum mengerti!” Ia bertanya, tapi wajahnya tak lagi datar seperti biasanya.
“Negeri ini negeri yang sangat besar. Negeri yang sangat kaya. Dan mayoritas penduduknya muslim. Kalian terlalu naif tidak menyadarinya! Mereka selalu mengikuti setiap perubahan yang terjadi di sini. Memantau dari kejauhan. Sementara ini, aku hanya diminta untuk membuat laporan saja, atau membuka relasi. Tetapi aku belum pernah mengiyakannya. Tuan pasti melihat warna kulitku yang secerah orang keturunan Asia Timur. Tentu saja aku mempunyai kesetiaan kepada leluhurku,” jawabku santai sambil menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya.
“Anda mencoba merekrutku? Berapa lama Anda bergabung dengan mereka?” Aku balik bertanya menirukan gayanya.
“Mereka merekrutku setelah peristiwa Santa Cruz, Timor-timur. Jabatan struktural-ku di militer memang telah dicopot. Ini murni keputusan politis, bukan sebenarnya. Aku tak pernah terbukti bersalah. Lalu aku ditarik ke bagian intelijen. Karirku telah telah tamat sebenarnya. Aku serupa hantu tanpa nama. Aku kecewa. Tiba-tiba mereka datang dengan menawarkan imbalan dan beberapa penawaran menarik. Tugasku hanya satu: menjalin ikatan yang rahasia dengan teman–temanku yang masih berdinas. Ternyata begitu banyak kepentingan yang ikut bermain. Makelar senjata, salah satunya. Dan siapa yang tak tergoda dengan uang. Begitulah cara aku merekrut mereka,” matanya menerawang, tenggelam ke dalam masa lalu.
“Dan CIA?” aku terus bertanya.
“Ya, mereka satu paket tentunya, Seperti satu keping uang logam dengan dua relief yang berbeda. Satu kesatuan. Tak lama aku bergabung dengan Mossad, CIA menawarkan kerja sama. Tentu masih dengan satu penghubung yang sama, sang agen ganda. Ah, sudahlah! Habiskan segera minumanmu. Masih ada satu orang lain yang hendak kita temui. Papa minta saham, kau mengerti kan siapa orangnya? Ia ingin menggunakan jasa kita. Ayo kita pergi. ”
***
Semakin lama berada di negeri ini aku semakin berubah. Kebencian dan dendam kesumat yang telah lama bersemayam dalam hati, kini kian menipis dan terkikis. Tuanku mengajarkan banyak hal dan banyak permainan. Permainan baru itu ternyata mendapatkan banyak uang. Dan aku menikmati permainan baru itu.
Kosa kata:
CIA: Dinas rahasia Amerika Serikat.
Mossad: Dinas Rahasia Israel.
Agen ganda: Seorang agen rahasia yang secara sembunyi-sembunyi menjadi dua agen sekaligus, dengan motif tertentu.
Peristiwa Santa Cruz: insiden penembakan massal yang terjadi di pemakaman Santa Cruz.
Karna Jaya Tarigan. Seorang penikmat film spionase, 007 dan The Borne Series. Pengagum Michael Crichton, the man who inspired him to write a novel.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata