Laela oh Laela
Oleh: Ayu Candra Giniarti
Laela atau yang sering disapa Ela, berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Matanya sembab, suara isak yang tersisa masih terdengar jelas.
Setibanya di rumah, selalu ada yang menyapa dengan hangat.
“Kenapa, Nduk? Kok, kamisesegen.”[1]
Mbah Yati membelai rambut cokelat pirang itu dengan lembut.
Lagi-lagi Ela menggeleng lemah. Selalu begitu saat ditanya mengapa. Mbah Yati pun tak pernah memaksanya bercerita. Sapaan itu selalu berakhir pelukan dan isak tangis keduanya.
Seakan lelah menangis, Mbah Yati tertidur memeluk cucunya itu.
***
Matahari belum terbit, suara azan subuh masih terdengar jelas. Kokok ayam silih berganti, kicau burung bersahut-sahutan. Mbah Yati membuka matanya, lupa dengan tangisnya. Ia bangun dari tempat tidurnya, mengambil air wudu dan salat di musala dekat rumah.
Sapaan hangat warga padanya membuat ia lupa pada tangis yang selalu pecah di malam hari. Meskipun begitu, warga sudah paham betul. Banyak warga yang merasa iba. Tapi begitulah Mbah Yati, selalu tampak semringah dan hangat saat bertemu tetangga.
Salam terucap dari bibir umat-Nya. Doa-doa telah ditutup dengan harapan yang dinanti dengan keikhlasan.
“Mbah, masak mboten? Kalau tidak masak, nanti saya ke rumah ya, Mbah. Nganter sayur pindang, tadi masak sebelum ke musala.” Lik Tarmi menawarkan, sambil melipat mukena.
“Ora masak. Ya, boleh.” Mbah Yati menerima tawaran itu dengan senang hati. Sayur pindang adalah sayur kesukaannya. Asin, asam dan sedikit pedasnya sudah terasa, hingga ia menelan ludah. Mungkin Mbah Yati lupa, kemarin malam tidak makan.
Mereka jalan pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Mbah Yati menyapu halaman rumah yang dipenuhi tanaman dan bunga. Ia rajin menyirami tanaman dan bunga-bunga itu. Rumahnya asri, baunya wangi bunga melati dan kenanga. Kebetulan saat itu melati dan kenanga Mbah Yati berbunga. Baunya menusuk hidung setiap orang yang melewati rumahnya.
“Mbah, nih sayurnya.” Lik Tarmi datang membawakan sayur pindang yang dijanjikannya.
“Yo, suwun, yo,” ucap Mbah Yati.
“Nggih, Mbah, sami-sami,” jawab Lik Tarmi.
Mbah Yati masuk rumah dan bersiap makan sayur pindang. Ia mengambil dua piring, menyendok nasi untuknya dan untuk Laela, cucunya. Mbah Yati mengambil dua gelas lalu menuangkan air minum dari kendi. Ia duduk, menunggu cucunya datang.
Semakin lama Mbah Yati semakin gelisah. Laela belum juga datang. Ia berjalan ke luar rumah, menanyakan kepada setiap tetangga yang kebetulan lewat depan rumah. Hingga pada saat Mbah Yati melihat Lik Tarmi, ia teriak memanggil-manggil Lik Tarmi.
“Tarmi! Tarmi! Ndelok Ela ora? Aku ngenteni ket mau ora teko-teko! Padahal arep dak jak mangan sayur pindang seko awakmu.”[2]
Lik Tarmi tidak sanggup menahan air mata, ia memeluk Mbah Yati dan berkata, “Sudah to, Mbah … diikhlaskan. Kasihan Ela kalau Mbah seperti ini terus.”
“Tapi kemarin malam Ela datang. Dia nangis, dari jalan setapak sana itu sudah nangis. Aku krungu, kok! Tekan omah dak elus-elus rambute.”[3]
Tangis Lik Tarmi semakin menjadi, ia memeluk Mbah Yati semakin erat seraya membaca istigfar.
***
“Mbah Yati! Mbah Yati! Ela, Mbah! Ela….”
Mbah Yati tergopoh-gopoh mengikuti langkah Pak Sarno yang memberitahukan ada penemuan mayat di jalan setapak. Warga desa digemparkan dengan kabar itu.(*)
Keterangan:
[1] Menangis tersedu-sedu
[2] “Tarmi! Tarmi! Lihat Ela tidak? Aku menunggu dari tadi, belum datang-datang! Padahal mau kuajak makan sayur pindang darimu.”
[3] “Aku dengar, kok! Sampai rumah kuelus-elus rambutnya.”
Tentang Penulis:
Ayu Candra Giniarti, penikmat hujan. Baginya, setiap rintik hujan mampu menyemai ribuan kata dalam imajinasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata