Si Pembuat Boneka
Oleh : Halimah Banani
Pria itu masih duduk menatap boneka kayu keenam belas yang gagal dibuatnya. Sudah beberapa kali orang-orang, terutama kedua orangtuanya, menasihati agar dia berhenti melakukan pekerjaan tidak berguna tersebut—yang ditekuninya hampir delapan tahun. Namun, sampai uban kesekian tumbuh di antara rambut hitamnya, dia tidak menghiraukan dan terus menerus membuat boneka kayu. Percaya suatu hari dia bakal menciptakan boneka yang sempurna. Sebuah boneka yang memiliki rupa seperti manusia.
“Berhentilah menghabiskan uang dan pergi ke pasar! Boneka-boneka itu tidak menghasilkan apa pun selain membuat kita kelaparan!” sindir ibunya di satu pagi.
Si Pembuat Boneka—begitu biasa orang-orang memanggilnya—bangkit. Disambarnya topi dan jaket juga syal merah di stand hanger. Dia keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menerobos dinginnya angin musim salju. Dia berjalan, tetapi bukan ke pasar. Tidak ada yang lebih dia sukai dibandingkan membuat boneka kayu, padahal di rumah persediaan gandum hanya tersisa beberapa butir—saking sedikitnya.
Pada pohon-pohon yang menjulang tinggi di hutan tempatnya berada kini, dipilihnya satu yang paling bagus. Batangnya kokoh berisi, daging pohonnya tidak terlalu cokelat, dan ditebasnya pohon tersebut dengan kapak yang biasa dia simpan di sebuah pondok yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Pondok tempatnya membuat boneka kayu.
“Kali ini aku akan membuat boneka kayu yang sempurna,” begitu terus yang diucapkannya setiap kali hendak menebang satu pohon.
Maka setelah pohon tadi selesai ditebang, dia membawanya ke pondok—setelah memotongnya menjadi beberapa bagian. Dia mulai bekerja, menciptakan boneka kayu seperti yang ada dalam bayangannya. Jika kali ini gagal lagi. Jika nanti orang-orang memintanya berhenti membuat boneka kayu lagi. Maka dia tidak akan menyerah. Dia akan terus membuat boneka kayu. Puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan. Sampai dia betul-betul dapat membuat boneka kayu yang sempurna dan menunjukkan kepada orang-orang tentang kekuatan mimpi.
Sayangnya, sampai boneka ke-88, dia masih gagal, dan umurnya sudah tidak semuda dulu. Uban telah menggantikan seluruh rambut hitamnya. Ibunya juga sudah mati beberapa tahun lalu. Namun Si Pembuat Boneka tetap membuat boneka yang ke-89. Tangan keriputnya tak mau menyerah untuk memahat mimpi-mimpi yang diciptakannya sewaktu muda, ketika pertama kali dia belajar membuat boneka kayu.
“Akhirnya selesai juga.” Si Pembuat Boneka menelengkan kepalanya. Memandangi mahakaryanya dengan bangga. Dia tahu tidak ada mimpi yang sia-sia. Lihatlah sekarang, di hadapanku sudah duduk boneka kayu yang sempurna.
Meski Si Pembuat Boneka telah menciptakan boneka yang sempurna, tetapi senyumnya hanya mampu bertahan sebentar. Hatinya merasa hampa. Dia belum menikah karena selama ini sibuk membuat boneka kayu. Tidak ada istri sama dengan tidak ada anak. Sehingga kini dia berandai-andai: Boneka kayunya bisa menjadi manusia.
***
Langit tampaknya luluh dengan segala usaha Si Pembuat Boneka. Boneka kayu yang diberi nama Pinokio itu hidup. Tangannya, kakinya, kepalanya, matanya, semua bisa bergerak. Bahkan Pinokio bisa bicara.
“Anakku hidup!” seru Si Pembuat Boneka senang.
Dipandanginya Pinokio lekat-lekat. Kedipan matanya berjeda lama dari satu kedipan ke kedipan selanjutnya. Dia percaya tidak percaya. Dia takjub. Dia tidak tahu harus berkata apa dan memulai segalanya dari mana. Dia … dia hampir gila rasanya. Tersenyum, tertawa sebentar, tersenyum lagi, kemudian memeluk Pinokio erat.
“Panggil aku Pa … pa,” ucapnya setelah melepaskan pelukannya dari Pinokio.
Pinokio menatap Si Pembuat Boneka. Bingung. Barangkali Pinokio tidak mengerti apa yang sedang diucapkan seseorang di hadapannya. Bisa juga Pinokio masih belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Dia tak ubah bayi yang baru dilahirkan. Namun bedanya dia sudah besar. Usianya mungkin setara dengan anak tujuh tahun.
“Ayo, panggil aku Pa … pa,” ulang Si Pembuat Boneka. Wajahnya berseri-seri. Senyumnya masih mengembang selebar saat pertama dia melihat Pinokio bergerak.
“Pa … pa,” Pinokio mengikuti ucapan Si Pembuat Boneka.
Bukan main senangnya Si Pembuat Boneka. Saat ini dia punya anak. Benar-benar punya anak. Anak yang diciptakannya sendiri, tanpa seorang istri.
Maka malam selanjutnya, saat salju pertama turun, diajarkannya Pinokio banyak hal. Berbicara, bergerak dengan leluasa, dan masih banyak lagi. Si Pembuat Boneka berharap Pinokio tidak kesepian sama sepertinya, itulah sebabnya Si Pembuat Boneka berencana mencipatakan teman untuk Pinokio. Dia juga meminta Pinokio untuk berteman dengan anak-anak sebayanya.
“Kamu bisa mengajak mereka untuk bermain ke sini. Ajaklah temanmu sebanyak-banyaknya,” pesan Si Pembuat Boneka.
***
“Di mana?”
Pinokio diam. Dia tahu ada sesuatu yang salah dengan Si Pembuat Boneka. Terlebih ada sesuatu yang salah yang telah dibuatnya.
“Tidak ada,” jawabnya pelan.
Si Pembuat Boneka menatap Pinokio, terutama ke arah hidung panjangnya. Dia tahu Pinokio berbohong, dan tidak dilanjutkannya lagi bertanya. Dia langsung memangku Pinokio, lantas memotong hidungnya dengan gergaji kecil.
“Nah, sekarang sudah kembali seperti semula.”
“Pohon itu,” ucap Pinokio. Kali ini Pinokio tidak berbohong. Hidungnya tidak memanjang seperti tadi.
“Pohon yang bagus.”
Segera Si Pembuat Boneka berjalan ke pohon yang ditunjuk Pinokio. Dibawanya serta kapak yang biasa dia pakai untuk menebang pohon. Dia akan menciptakan teman untuk Pinokio. Teman wanita yang tampak anggun dan cantik. Pasti Pinokio akan suka, pikirnya.
“Papa, jangan!”
Si Pembuat Boneka menghentikan langkahnya. Dia menoleh. “Kenapa?”
“Aku tidak butuh teman.”
“Bukankah kamu suka bermain?”
“Ya, tapi ….”
“Tapi apa?”
“Aku …,” Pinokio setengah berpikir, dia memilah-milah kalimatnya agar hidungnya tidak memanjang seperti tadi. “Aku senang bermain dengan teman-temanku yang sekarang.”
“Karena itulah, kamu pasti akan lebih senang jika memiliki satu teman lagi,” sahut Si Pembuat Boneka. Dilanjutkan langkahnya menuju pohon yang ditunjuk Pinokio. Kemudian diayunkannya kapak.
Prak!
***
Setelah menciptakan seorang anak yang telah dia beri nama Pinokio, sekarang Si Pembuat Boneka tersenyum bangga. Dia sudah mencipatakan adik, ah tidak, dia menciptakan teman untuk Pinokio. Seorang teman wanita yang tampak sangat cantik. Bajunya merah berenda, rambutnya sebahu dan dicat kuning, dan pipinya terdapat bola-bola berwarna merah jambu.
Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi maka boneka itu akan hidup sama seperti Pinokio.
“Di mana?”
“Aku sudah menyuruhnya pergi.”
Si Pembuat Boneka menatap Pinokio, kemudian dia mengangguk pelan. Rupanya Pinokio sudah pintar merangkai kata agar hidungnya tidak memanjang. Dia tersenyum bangga, tetapi juga sedang memutar otak. Memikirkan kalimat yang menjebak Pinokio agar berkata jujur. Mengatakan apa yang ingin didengarnya.
“Lalu, apa dia sudah pulang?”
Pinokio terdiam. Jika dijawab sudah, Si Pembuat Boneka akan tahu kalau Pinokio berbohong. Namun jika dijawab belum, maka Si Pembuat Boneka akan melakukan hal yang sama seperti biasanya. Mengayunkan kapak.
“Kamu menyembunyikan Jenny?”
“Tidak, Papa.”
Sial! Pinokio terlepas berbohong. Hidungnya memanjang beberapa sentimeter. Tak perlu kata apa pun untuk membuat hidungnya bertambah panjang lagi, Si Pembuat Boneka tentu tahu dengan jelas. Dia tidak suka jika Pinokio berbohong, maka dia tidak lagi melanjutkan pertanyaan. Dia hanya mengambil gergaji kecil di saku bajunya, memangku dan memotong hidung Pinokio setiap kali boneka kayu itu berbohong.
“Pinokio, kamu tidak akan bisa berbohong. Kamu dilahirkan dari darah anak-anak tidak berdosa. Itu sebabnya kamu tidak bisa berbohong. Berbohong adalah dosa,” jelas Si Pembuat Boneka sambil tersenyum hangat.
Pinokio menunduk. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Si Pembuat Boneka. Di satu sisi Pinokio tidak ingin membuat papanya kecewa. Di sisi lain Pinokio tidak ingin teman-temannya mati.
“Baiklah, aku akan mencari anak itu sendiri.”
Lagi, saat Si Pembuat Boneka mencari dan menemukan teman Pinokio yang bersembunyi, maka Pinokio hanya bisa memejamkan mata. Tak lama kapak di tangan Si Pembuat Boneka terayun.
Prak!
***
Ini hari yang bersalju. Satu, dua, tiga, Pinokio terus berhitung. Menghitung berapa banyak temannya yang mati. Semakin mendekati gerhana bulan, maka akan semakin banyak temannya yang mati. Jadi diambilnya kapak yang biasa dipakai Si Pembuat Boneka. Dihancurkannya boneka kayu wanita yang sudah siap hidup dengan menyerap lebih banyak darah teman-teman bermainnya.
“Apa yang kamu lakukan?” seru Si Pembuat Boneka yang baru masuk sambil membawa kantong karton berisi dua potong roti dan sebotol bir.
“Aku tidak butuh teman, Papa!”
“Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan hidup sepertimu!”
“Dan sebentar lagi teman-temanku akan habis.”
Si Pembuat Boneka murka. Ini pertama kalinya Pinokio menjadi anak yang tidak baik. Pinokio melawan kata-kata papanya. Maka diseretnya Pinokio dan dikurungnya di kamar. Si Pembuat Boneka berteriak dan berjanji tidak akan membukakan pintu sampai berhasil membuat teman untuk Pinokio. Setelah itu dia kembali menengok boneka kayunya. Memperhatikan bagian-bagian apa saja yang perlu diperbaikinya.
***
Entah sudah berapa banyak teman yang mati. Selama dikurung di dalam kamar, Pinokio beberapa kali mendengar Si Pembuat Boneka mengayunkan kapaknya. Malam ini sepertinya Si Pembuat Boneka akan mengayunkan kapaknya lagi, karena Pinokio bisa mendengar jerit salah satu teman dekatnya. Anak itu berteriak, “Tolong! Tolong!”
Pinokio berusaha membuka pintu kamar. Gerhana bulan akan muncul malam ini—begitu yang didengarnya dari Si Pembuat Boneka. Jika tidak dihentikan, maka Si Pembuat Boneka akan membuat lebih banyak boneka lagi, dan dia akan semakin kehilangan teman.
Prak!
Suara kapak terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali. Pinokio menendang-nendang pintu. Bagaimanapun caranya, dia harus keluar dari ruangan yang hanya terdapat dipan dan meja juga lentera. Benar, dia harus keluar. Jika pintu tidak bisa dihancurkan, maka tidak ada salahnya membakar rumah. Membiarkan api menyambar dipan, meja, dinding, pintu, jendela, dan segalanya termasuk Si Pembuat Boneka dan boneka kayu wanitanya.
Maka Si Pembuat Boneka berlari, menuju rumahnya begitu melihat asap hitam membubung tinggi. Pikirannya dipenuhi dengan Pinokio. Dipenuhi dengan boneka wanitanya yang hampir selesai diubahnya menjadi manusia. Anak-anaknya dalam bahaya.
***
Pinokio menggendong Gabriel—kawannya—menuju desa dengan kaki kanan yang patah. Sedangkan dari kejauhan, dia melihat orang-orang berkumpul, memegang obor. Meneriaki nama Gabriel.
“Ayah!” panggil Gabriel.
Ayah Gabriel langsung menengok, berlari menghampiri Gabriel dan Pinokio. “Kamu baik-baik saja?”
“Iya. Pinokio menyelamatkanku saat hendak diterkam harimau.”
Pinokio terdiam. Dia bisa melihat hidung Gabriel tidak memanjang seperti hidungnya. Gabriel bebas berbohong, dan anak itu baru saja berbohong kepada ayahnya dan semua orang yang berkumpul mengelilingi mereka.
Ayah Gabriel tersenyum menatap Pinokio. Mengusap lembut kepala boneka kayu itu. “Kamu memang anak baik.”
Lagi, Pinokio hanya diam. Dia tidak tahu kenapa bisa disebut anak, seolah-olah dia adalah manusia. Yang Pinokio tahu dia hanyalah boneka kayu yang nakal. Yang Pinokio tahu kalau tadi, saat dia berusaha menemukan Gabriel, Si Pembuat Boneka berlari memasuki rumah, meneriaki namanya. Yang Pinokio tahu dia hanyalah boneka kayu yang membunuh penciptanya. Membunuh papanya. (*)
Jakarta, Januari 2019
Halimah Banani, penulis asal Jakarta. Bisa disapa melalui alamat surel lyaakina@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata