Di Beranda A1

Di Beranda A1

Di Beranda A1
Oleh: Fitri Fatimah

Mutia, sahabatku, sudah berulang kali bilang bahwa aku lebih baik tidur di musala saja. Kali pertama dia bilang adalah ketika aku mengeluh tentang Dek Iim, santri yang tidur di sebelahku di beranda kamar A1, yang punya gaya tidur macam latihan silat: tendang sana tendang sini, tangannya juga terkam sana terkam sini. Aku baru tahu bahwa ada orang yang bisa tidur seatraktif itu. Padahal sudah kuletakkan guling di tengah-tengah antara kami, sebagai batas pemisah, biar kalau dia mau beraksi, beraksi saja di area tempat tidurnya sendiri, tidak usah ajak-ajak aku, terima kasih. Sayangnya tengah malam, selalu guling itu tahu-tahu raib dan Dek Iim kembali merangsek ke teritorialku, mulai latihan silat lagi. Haduh, bagaimana aku bisa tidur kalau alamat babak belur begini.

Mutia yang akhirnya merasa kasihan mendengar keluhanku—padahal dari tadi ketawa-tawa. Hah, pikirnya deritaku ini lucu apa—dia kembali mengusulkan supaya aku tidur di musala saja, di sana tempatnya lapang, dan dijamin aku bakal dapat teman sebelah yang tidurnya sopan, anteng, bahkan seanteng bidadari di surga. Siapa, tanyaku. Dia menunjuk hidungnya sendiri. Halah.

Tapi untunglah solusinya tidak sampai harus begitu. Aku tidak perlu pindah ke musala, ternyata yang pindah malah Dek Iim sendiri. Karena sebenarnya Dek Iim memang bukan anak kamar A1. Dia adalah anak baru dan sebagaimana anak baru lainnnya, mereka semua khusus ditempatkan di kamar pelokalan. Selama ini Dek Iim menumpang tidur di sini karena kebetulan dia punya mbak, bukan mbak kandung, tapi mbak yang orangtua Iim menitipkan Iim padanya. Jadi karena si mbak ini sudah dititipi Iim, dia berkewajiban menjaga, mengurus, membimbing, intinya, kamu seakan jadi induk ayam yang harus mau sabar dibuntuti ke mana-mana. Termasuk dibuntuti numpang tidur seperti ini.

Aku tidak tahu apa alasan Dek Iim, mungkin dia tidak akur dengan teman sekamarnya, atau, sederhana saja, sama seperti perasaaanku ketika dulu jadi anak baru, ketika pertama masuk ke kamar pelokalan, aku heran apakah ini sungguh kamar untuk santri atau bangsal pasien rumah sakit—saking muram auranya. Semua anak di dalam tampak sibuk tersedu-sedan, merengek tidak kerasan. Mungkin Dek Iim juga tidak kerasan. Aku jadi tidak tega untuk mengusir dia.

Untunglah kemudian pengurus bertindak tegas dengan mengultimatum, santri yang tidak tidur di kamarnya sendiri (kalau di musala tidak apa-apa, musala area netral), supaya kembali ke kamarnya masing-masing. Aku lupa sangsinya kalau tidak menurut apa, tapi pasti berat, mungkin melibatkan pemotongan masa libur atau menghafal surat Al-quran. Duh, berat, kan.

Akhirnya aku punya masa-masa tidur yang tentram dan sentosa. Berangkat tidur sebagaimana mestinya, menjelang mimpi, bangun dengan tubuh segar. Ah, alhamdulillah.

Tapi rupanya aku tidak dibiarkan terlalu lama dalam “tentram dan sentosa” itu, karena Yang Maha Kuasa sayang aku, maka diberilah aku cobaan.

Dari santri yang tidur di beranda kamar, yang jumlahnya bisa dihitung jari, mereka punya bermacam-macam alasan, seperti mungkin karena takut gelap. Karena selepas jam sepuluh malam nanti, ketika bel jam tidur berbunyi, lampu-lampu di kamar akan dimatikan, tetapi di beranda tidak. Ada juga yang tidur di beranda karena terpaksa, karena tak kebagian tempat tidur lagi di dalam. Tak pernah ada ceritanya kelebihan ruang kalau di pesantren, selalu tentang terlalu sempit dan berdesak-desakan.

Pernah ada situasi ketika semua penghuni A1 diwajibkan berkumpul, ketua kamar hendak menyampaikan pengumuman. Dan sungguh itu bukan pengalaman yang asyik. Bayangkan, kamar yang ukurannya tak seberapa lebar, dengan lemari berbaris di sepanjang sisi dinding; bantal-bantal yang disumpalkan secara paksa di balik pintu; deretan pakaian yang digantung memenuhi langit-langit sehingga kalau mendongak, tampaknya kamu melihat pelangi dan kelelawar bertandang. Lalu di antara semua kesesakan itu, terjejallah dua puluh kami, memangnya kamu masih bisa bernapas?

Karena aku tidak mau harus berdesak-berdesakan seperti pindang, akhirnya aku memilih tidur di beranda kamar saja.

Hanya saja tidur di beranda berarti setiap malam sebelum menghampar kasur lipat, aku harus terlebih dulu mengepel lantai keramiknya. Karena di baris paling selatan, di perbatasan antara kamar A1 dan A2, di atas keramik tempat tepatnya aku tidur, penuh lelehan kuah rujak. Aku bosan mengomel-ngomel supaya habis hah-huh kepedasan, teman-teman harusnya juga beres-beres, bukan malah tiba-tiba sibuk apa dan meninggalkan petis, cobek, biji cabai, dan banyak lagi, dan lalu jadi aku yang kebagian getahnya. Aku sampai harus pinjam kain pel pada pengurus divisi kebersihan. Kusumpahi mereka sakit perut lalu pusing cari antre toilet. Iya, iya, astaghfirullah, kuralat serapahku.

Lalu ada hari yang berkebalikan dari hari biasanya, ketika seisi kamar jadi lengang. Kamu bisa mondar-mandir di dalam tanpa perlu terbentur santri lain. Biasanya ini terjadi ketika banyak santri minta izin pulang, entah dengan alasan sakit atau ada acara keluarga. Hal ini membuat teman seperjuanganku yang tidur di beranda, yang jumlahnya tidak seberapa itu, tidak mau melewatkan kesempatan dan langsung pindah ke dalam, menggantikan tempat mereka yang pulang. Dan percaya atau tidak, satu santri izin pulang, biasanya beberapa hari kemudian ada lagi yang ikut pulang, lalu ada lagi, seolah soal pulang ini menular—ya memang benar kalau kasusnya sakit mata atau korengan. Jadi tiba-tiba teman seperjuanganku makin menyusut, menyusut hingga habis sama sekali. Tinggal aku sendirian yang masih menghampar kasur lipat di beranda.

Aku pernah dengar cerita bahwa di bawah pohon besar—aku tidak tahu namanya, tapi cabangnya kokoh dan lebat, yang kalau ada angin menghempas, putik-putik bunga putihnya akan berjatuhan seperti keping salju—yang ada di samping musala, dan masih kelihatan hingga beranda A1, katanya ada perempuan berambut panjang memakai baju putih, berdiri di sana. Lalu tak jauh dari pohon, di lubang pembuangan pembalut, di sana juga berdiri perempuan berambut panjang, hanya saja bajunya bukan putih, melainkan merah hasil darah yang menyebar dari punggungnya. Kalau ada santri yang kesurupan, santri-santri yang lain pasti akan menunjuk pohon itu, berbisik dengan takut bahwa penunggu di sanalah yang sedang berulah.

“Pasti tidak tidur semalam!” tebak Mutia, sahabatku, sambil menggebrak bangku tempat aku merebahkan kepala. Kontan aku melotot sebal padanya. Dia hanya nyengir tak bersalah. Ah, tapi kemudian kuceritakan apa yang membuatku sampai terkantuk-kantuk begini. Setelah mendengarkan, Mutia berdecak sambil geleng-geleng. Katanya, kok bisa aku masih percaya pada cerita yang hanya hasil bualan itu. Aku tidak masuk akal, tidak kuat iman. Tengik sekali dia. Lagi pula, dia melanjutkan, kalau memang aku penakut kenapa tidak tidur di musala saja, di sana banyak Al-quran, dijamin setan tidak akan berani dekat-dekat.

Aku tidak menyahut. Kalaupun aku memang penakut, aku tentu gengsi untuk mengakuinya.

Aku tetap bertahan di beranda A1, selimut kutudungkan hingga menutup sekujur tubuh, di dalamnya aku gemetar yang bukan karena dingin. Syukurlah sebelum aku mati ketakutan, satu per satu santri yang izin pulang akhirnya datang. Dan mereka teman seperjuangan yang sempat mengkhianatiku, harus dengan tahu diri berjuang di beranda kembali.

Sebenarnya kalau nanti kejadian seperti ini terulang lagi, yang kuperlukan hanya sabar. Mereka yang izin pulang toh pasti kembali. Izin pulang dengan alasan ada acara keluarga hanya diberi waktu satu hari oleh Bu Nyai. Untuk sakit tiga hari, kalau sakit berlanjut maka hubungi pengurus, dan pengurus akan memberi waktu tambahan tiga hari lagi. Tiga hari kemudian belum juga sembuh, orangtua harus sowan langsung ke Bu Nyai, memintakan izin anaknya. Intinya, mereka pasti kembali.

***

Lalu musim hujan tiba. Aku bukan anak pramuka yang dapat mengerti firasat alam. Hujan yang turun seenak udelnya bikin aku gelagapan. Kalau di siang hari mungkin aku masih bisa mengerti: mendung dan langit kelabu. Itu  berarti aku harus sedia payung dan menunda jadwal mencuci, atau kalau sudah telanjur berarti aku harus segera mengamankan cuciannya ke bawah atap apa saja yang belum diserbu santri lain. Tetapi kalau malam, aku telat memahami bahwa tak ada bintang berarti ada awan mendung yang menutupi. Jadi ketika aku masih lelap-lelapnya dalam mimpi, lalu tahu-tahu langit mengguyur bumi, mengguyur atap beranda A1, dan tetesnya sudah rembes menyapu kakiku, aku tergeragap.

Teman-teman di sampingku, dengan kegesitan seadanya, segera mengemasi bantal lalu menyelinap ke dalam kamar, berebut celah—mendesak-desak—untuk kembali menyambung tidur. Dan sementara aku, aku masih belum selesai dengan tergeragapku.

Maksudku, aku memang tidak akan pernah menang adu lomba gesit dengan mereka. Sementara mereka cukup mengemasi bantal, barang bawaanku tidak hanya sejumlah itu. Ada kasur lipat, bantal dan guling, selimut, buku-buku, nasi bungkus untuk sahur nanti, jam tangan, balsem ….

Aku mengambil payung yang tergantung di tiang, membuka dan menjadikannya tameng di depanku—yang duduk meringkuk memeluk lutut, menggigil, masih di beranda A1.

Aku tahu bahwa besok ketika aku mengeluh pada Mutia, sahabatku, dia mungkin akan memandangku dengan aneh. Kenapa aku membiarkan diri terlihat menyedihkan, maksudnya, aku bisa saja meninggalkan barang-barangku di beranda, atau mengamankannya lebih dulu ke kamar, lalu berlari-lari sedikit ke musala. “Apa kubilang! Mestinya dari dulu kamu tidur di musala saja,”  semburnya pasti. Bahwa dia heran sendiri kenapa aku selalu bersikeras untuk tetap tidur di beranda A1, padahal sudah banyak cobaannya.

Bagaimana bisa kujelaskan pada Mutia, sahabatku, bahwa terlepas dari cobaan-cobaan yang sudah kuceritakan sebelumnya, belum lagi kalau kamu mau menghitung dengkur atau gemeretak gigi yang sambung menyambung dari beranda sebelah; atau aroma kaos kaki yang dibawa angin hingga semilir di hidungku; atau bahwa kadang di tengah malam aku suka dibikin terkejut oleh suara kelontang, ulah kucing yang mengais makanan di bak sampah. Bagaimana bisa kujelaskan, aku tidak yakin sahabatku ini akan mengerti, bahwa meski banyak cobaannya, aku tetap akan tidur di beranda A1 adalah karena aku ingin istikamah. Bahwa siapa tahu malam ini malaikat sedang menebar nur, cahaya, jadi kalau aku pindah tempat tidur … ya, ya, aku konyol kalau berpikir malaikat akan sampai salah-salah lalu jatahku tertukar, tapi kembali lagi, aku hanya ingin istikamah.

Untuk sementara ini, gemuruh hujan yang jatuh di atap meredam segala bunyi. (*)

 

Fitri Fatimah, asal Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata