Asa yang Sirna
Oleh : Eda Erfauzan
Jarak dua meter dari ruang dokter ke kursi tunggu seperti jarak terpanjang yang harus kutempuh. Tubuh terasa lemas, tak bertenaga, mata ini pun terasa perih menahan air mata yang berlesakan keluar.
Duduk sendiri di ruang tunggu sungguh membuatku tak mampu menahan kepedihan. Sembilan tahun menunggu, dua kali keguguran, harusnya hari ini menjadi luar biasa karena kelahiran buah hati kami.
Kupejamkan mata, membiarkan bulir-bulir itu luruh membasah, mengalir dari sela-sela jari yang menutupi wajah.
Masih jelas awal kuncup itu tumbuh, saat Winda termangu di depan pintu kamar mandi.
“Dua garis, Mas,” ujarnya dengan wajah sulit diartikan.
Aku mengernyit, “Artinya?”
“Positif, aku hamil.”
Sebuah jackpot di pagi hari, kupeluk ia dengan suka cita.
“Terus, kenapa murung gitu?” Kujawil hidungnya.
“Aku takut ….”
Winda menyurukkan kepala makin dalam. Kukecup ujung kepalanya. Pengalaman dua kali keguguran rupanya masih membuatnya trauma.
“Kita sudah belajar dua kali, insya Allah yang ini akan lebih baik.” Kusentuh perutnya yang masih rata.
Semua memang berjalan baik, hitungan minggu dan bulan terus bertambah.
Ah, sempat juga aku dipaksa pulang kantor sebelum waktunya karena Winda ingin telur asin. Dia hanya ingin aku yang membeli. Hanya satu butir, tak boleh lebih. Dan dia tak mau menunggu hingga jam kantor usai karena akan butuh waktu lama untuk sampai rumah.
Kali lain tengah malam ia ingin martabak telur. Susah-susah mencari tukang martabak, begitu dapat yang dinikmati hanya cukanya, martabaknya sama sekali tak disentuh.
Ajaibnya perempuan ngidam tapi selalu ada haru, kehangatan serta rasa sayang yang menjalar kian pekat tiap berhasil memenuhi keinginannya.
Pemeriksaan rutin dari bulan ke bulan menunjukan hasil yang bagus. Bahkan melalui pemeriksaan USG empat dimensi, calon bayi kami terlihat seperti tertidur, nyaman dalam tempat yang kokoh. Detak jantungnya adalah irama terindah yang pernah kudengar.
Saat itu pun tiba, genap 40 minggu kehamilan, Winda mulai merasakan kontraksi dengan jeda yang makin pendek.
Sembilan jam menunggu—dengan hati seperti gelombang—hingga pintu ruang operasi terbuka, tetapi bukan dokter yang keluar.
“Pak Wishnu, ditunggu Dokter Gunadi di ruang praktiknya,” ujar suster sambil kembali memakai maskernya.
Seribu tanya menggayuti, apakah terjadi sesuatu dengan istriku? Anakku?
“Winda baik-baik saja, setelah kondisinya stabil akan dipindah ke ruang perawatan.”
Dokter Gunadi menatapku seperti menimbang sesuatu. Dokter spesialis obgyn yang menangani Winda mulai kehamilan pertamanya, sudah seperti seorang bapak untuk kami.
“Anak saya …,” ragu aku memulai saat dokter itu menarik napas dan memutar pena di tangannya.
“Ada masalah pada plasenta. Winda mengalami Solusio Plasenta Previa, di mana plasenta bayi terlepas dari dinding rahim sebelum waktunya.”
Kepalaku terasa kosong, hati ini mendadak kebas. Artinya? Penjelasan panjang lebar dokter seperti gema yang memantul, tak jelas kutangkap. Intinya kami kehilangan lagi.
Dokter Gunadi menepuk bahuku sebelum berlalu. Seperti mati rasa saat aku melangkah ke pintu, lalu kebas itu meluruh ketika gambar bayi mungil dalam dua telapak tangan di dinding ruang tertangkap mata.
Argh …! Ada rasa marah sekaligus tak berdaya.
Terbayang kamar bernuansa biru lembut di sebelah kamar tidur kami, berkas-berkas yang telah kutandatangani untuk memastikan junior kami akan tumbuh di lingkungan dan pendidikan terbaik. Tefakur lama dalam hening dan lengangnya ruang tunggu dengan hati remuk juga rasa hampa.
Suara azan dari masjid di samping rumah sakit terdengar syahdu, mengetuk sekaligus membasuh hati hingga terasa kelu. Ya Allah, apakah besarnya harapan kami memiliki seorang putra telah menumpulkan rasa itu? Membuat kami lupa melibatkan-Mu dalam rencana-rencana kami. Merasa pasti dalam ketidaktahuan tentang hari esok dan nanti.
Begitu sombong menjadi makhluk seakan kamilah yang berkuasa, seolah semua karena usaha kami lalu dengan yakinnya membuat ini itu padahal bayi kami yang lahir pun belum.
Inikah teguran untuk ketergelinciran kami? Kuusap wajah, bergegas ke arah masjid dengan istigfar mengiringi langkah. Mencoba ikhlas dan pasrah, ada hati yang perlu dikuatkan setelah ini. Perempuanku yang telah tiga kali mempertaruhkan nyawa untuk amanah yang belum Dia perkenankan kami raih. (*)
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan hingga kini masih menyukai dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata