Senja (bagian 3)
Oleh: Lutfi Rose
Lantunan sholawat Badar terdengar merdu, mengiringi prosesi temu pengantin pagi ini. Seorang lelaki dan perempuan yang sudah tak bisa dibilang muda lagi, sedang berjalan bersisian mengenakan busana adat Jawa. Wajah kedua pengantin tampak merona bahagia, meski tak dapat dimungkiri ada gamang dalam sorot mata pengantin pria.
Bagi Fajar, keputusan menikahi sang perempuan bagaikan buah simalakama. Sebuah pilihan antara hati dan tanggung jawab. Masih diingatnya perbincangan dengan wanita yang sekarang sedang duduk di salah satu sudut tenda biru. Wanita berlesung pipit, mengenakan gamis dan sebuah kerudung berwarna putih.
“Aku tahu, Abang, ini semua adalah garis Sang Pencipta. Aku akan ikhlas,” ucap Kania di penghujung malam.
“Mengapa Adek memilih keputusan itu?” ucapnya di sela gemuruh hujan yang tumpah sedari sore.
“Karena aku mencintaimu, Bang. Bukankah cinta tidak pernah menguasai, tetapi cinta itu melengkapi, dan aku berharap kamu merasakan hidup yang lengkap,” Kania berucap tenang, tetapi penuh penekanan.
“Meski kamu terluka?”
Fajar berdiri dari duduknya, bergeser, melipat lutut di hadapan Kania, menggenggam kedua tangan istrinya, kemudian mengecup keningnya lembut. Ditatapnya perempuan yang tak pernah marah sekali pun selama mereka hidup bersama. “Mampukah kamu lewati malam tanpaku?”
Istrinya mengangguk. “Malam tanpamu adalah malam di mana kamu meraih harapanmu. Aku akan kuat, asal kamu bahagia.”
Fajar merengkuh tubuh istrinya dalam dekapan. Terdengar isak perlahan yang tampak berusaha disembunyikan. Sebuah janji mulai ditanam dalam hati Fajar, menjaga kepercayaan yang diperolehnya.
***
Lelaki dengan pakaian pengantin yang masih lengkap, mendekati sosok perempuan di sudut sofa ruang tamu.
“Maafkan aku, Dek!” Fajar menggenggam tangan Kania dan mengecup keningnya.
“Tak apa, Abang. Bukankah hidup itu tak kekal? Apalagi sebuah harapan akan kamu dapatkan melalui dia,” Kania tampak menguatkan diri.
“Pergilah! Temui pengantinmu dan berikan haknya,” ucapnya sambil beranjak pergi. Dia menarik tangan dari genggaman Fajar lalu mengusap kedua ujung mata saat telah memunggungi suaminya.
Fajar berdiri menuju kamar pengantin. Hatinya gamang, rasa bersalah pada istrinya dan rasa tak tega membiarkan kekasihnya merana. Begitu baik hati istrinya, demi memenuhi harapannya memiliki keturunan yang tak kunjung datang hingga tahun kelima belas pernikahan mereka, dia rela membagi cintanya.
Pintu kamar pengantin tertutup rapat. Lelaki itu menggenggam gagang pintu dan membukanya. Tampak perempuan dengan pakaian pengantin—kebaya dan jarit panjang—duduk di tepi ranjang. Senyum merekah saat melihat kedatangan suaminya.
Tak bisa ditampik aura bahagia menaungi kedua insan yang telah memendam kerinduan sekian lama. Meski angka tahun sudah berganti belasan kali, tetapi rindu itu tak jua bisa terobati.
Fajar mendekat, menyentuh pipi Senja yang menunduk malu.
“Aku bantu?”
Perempuan itu mengangguk pasrah.
Dengan lembut Fajar membuka satu per satu hiasan kepala istri barunya, membuka rambut yang digelung dengan hati-hati. Dia baru sadar jika rambut itu sekarang menjadi tipis saat melihat sebuah sisir dipenuhi dengan rambut rontok. Dulu rambut itu begitu tebal dan halus, dia suka sekali menyentuh dan membelainya ketika siang sepulang sekolah.
“Rambutmu tipis sekali sekarang, Sa—yang,” ucap Fajar pada Senja yang duduk di hadapannya.
“Iya, rontok sekali akhir-akhir ini.”
“Kamu terlalu sibuk memikirkanku, ya?” goda Fajar, “sampai tak sempat merawat diri.” Fajar membalikkan tubuh kekasihnya, menyentuh kedua pipinya, menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.
Digenggamnya tangan perempuan yang pernah memiliki separuh jiwanya itu. “Apakah kamu bahagia sekarang?”
Senja mengangguk, tersipu. Matanya berbinar bahagia tatkala tangan Fajar meraih, menyandarkannya di dadanya. “Jangan menangis lagi, aku tak akan meninggalkanmu.” Fajar menyentuh dagu istrinya, kemudian mencium lembut kedua pipinya bergantian.
Sesaat mereka saling memeluk.
Kemudian Fajar berdiri. “Aku ganti baju dulu, kamu juga gantilah dengan baju yang lebih nyaman!” perintahnya.
Belum jauh Fajar beranjak, Senja merintih kesakitan. Fajar kaget dan kembali duduk. Tangan istri mudanya itu meraih dan menahan tangannya ketika dia akan mencari bantuan ke luar.
“Te—tap—lah di si—ni!” ucap Senja terbata.
Perempuan yang masih mengenakan kebaya pengantin itu memegang dadanya. Napasnya tersengal, susah untuk berkata-kata. Fajar mengangkat lalu merebahkan tubuhnya di pembaringan, menggenggam tangan dan mencoba mendengarkan ucapan senja.
“Aku harus memanggil Bapak, aku tak tahu harus berbuat apa, Senja.” Fajar panik.
Senja mengatur napas tersengalnya, lalu berkata, “te—ri—ma ka—sih.” Senja batuk, darah keluar dari mulutnya. Fajar semakin panik, tetapi genggaman tangannya tak juga dilepaskan.
Fajar berteriak sekeras mungkin, meminta pertolongan. Pak Yakob dan Kania masuk tergopoh-gopoh. Lelaki tambun itu segera menelepon dokter keluarganya.
Lima belas menit berlalu ketika dokter masuk ke dalam kamar. Pak Yakob mondar-mandir di ruang tengah. Sesekali pria dengan rambut yang berwarna putih itu mengepalkan tangan, menepuk paha berusaha mengurangi rasa khawatirnya.
Dari dalam kamar dokter kembali ke luar. “Kita harus membawa anak Bapak ke rumah sakit. Kondisinya drop,” pemuda berkacamata itu menginstruksikan.
Pak Yakob mengangguk, segera menuju garasi mengeluarkan mobil. Sedangkan Fajar mengangkat tubuh ringkih Senja yang belum juga sadarkan diri, diiringi Kania yang juga tampak khawatir di sebelahnya.
Mobil melaju dengan kencang. Semua wajah tampak tegang. Beberapa kali Dokter Fadli yang duduk di bangku samping Pak Yakob menepuk bahunya. Mengingatkan agar lebih hati-hati menyetir dan tenang. Fajar terus membaca ayat suci sambil memeluk Senja, Kania mengusap peluh di dahi suaminya dan sesekali menenangkan lelaki itu.
Sampai di rumah sakit, Senja langsung dibawa ke ruang ICU. Kondisi Senja belum juga membaik hingga satu jam sesudahnya. Semua orang berkumpul, duduk di bangku besi di depan Unit Gawat Darurat. Kania terus mengusap lengan Fajar yang menopang dahi dengan kedua tangan. Dan Pak Yakob tampak gelisah dan tanpa sepatah kata pun.
Mereka serempak berdiri saat pintu ICU dibuka. Dokter Fadli bersama rekannya keluar dengan ekspresi lelah.
“Maaf, kami sudah berusaha,” Dokter Fadli berujar penuh penyesalan.
Pak Yakob langsung menjatuhkan dirinya di lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan sekarang luruh membasahi kedua pipi. Apa yang selalu dia takutkan, kini menjadi kenyataan. Sedangkan Kania memegangi suaminya yang tergugu dalam pelukannya.
***
Tanah merah akhirnya menjadi akhir penantian Senja. Gadis yang akhirnya meraih impiannya, menikah dengan kekasih hati.
Malam makin pekat, tatkala semua tetangga dan kerabat pamit pulang ke rumah masing-masing setelah usai pengajian untuk Senja. Pak Yakob keluar dari kamar, menghampiri Fajar di sofa ruang tengah.
“Fajar, maafkan Bapak,” ucap lelaki lanjut usia itu sambil duduk di samping Fajar.
“Ini takdir, Pak. Bukan kesalahan Bapak. Tak perlu minta maaf.” Fajar tersenyum getir.
“Tapi Bapak sudah menyembunyikan kondisi Senja yang sesungguhnya. Bapak hanya ingin dia bahagia, meski hanya sesaat.” Pak Yakob menyerahkan secarik kertas pada Fajar.
“Apa ini, Pak?”
“Senja menitipkan surat itu untukmu sebelum kalian melangsungkan pernikahan. Jika ada sesuatu dengannya, dia ingin kamu membacanya.” Pak Yakob berdiri saat surat sudah diterima Fajar, memberi waktu untuk menantunya membaca pesan terakhir Senja.
Perlahan Fajar membuka surat itu, sesaat dia menahan napas, menekan debaran jantung yang makin menderu.
Fajar ….
Saat surat ini kamu baca, mungkin aku sudah tak di sampingmu lagi. Maafkan, jika aku tak berterus terang tentang sakitku dari awal. Aku tak ingin banyak hal, hanya sebuah janji suci dari lelaki yang kucintai. Mungkin di dunia kita tak sempat bersama, tetapi dengan ikatan itu ada harapan kita akan bersama di dunia abadi kelak. Bahagialah bersama Kania, dia wanita terbaik yang dihadiahkan Tuhan untuk lelaki terbaik pula. Aku akan bersabar hingga saat bersamamu nanti.
Wanita yang akan selalu menunggumu, Senja.
Fajar meremas surat di tangannya, bibirnya bergetar saat berucap, “Aku mencintaimu, Senja.” (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang menghapus kata menyerah dalam aksaranya. Akun fb, Lutfi Rosidah. Akun instagram, Lutfi_Rosidah. Akun wp Lutfi Rose.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata