Setiap Hujan

Setiap Hujan

Setiap Hujan
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

“Aku akan muncul tiap hujan turun, lho.” Saat Yook Sungjae mengatakan hal itu, aku sekadar tersenyum miring, sangsi ia dapat melakukannya. Bukannya karena ia tukang bohong—Yook Sungjae tidak akan mengingkari perkataannya sendiri—tetapi itu karena aku tahu, mustahil ia melakukannya.

Sayangnya, aku mesti menarik kata-kataku, membiarkan pemuda berambut hitam itu mengejekku berulang kali, sebab dia benar-benar datang setiap turun hujan. Hujan pertama di musim panas, dia tiba-tiba saja berlari membawa sekotak foto polaroid yang diambil saat kami SMP. Berikutnya, ia justru mengajakku bermain baseball kendati petir menggelegar pun angin bertiup kencang. Lalu, saat ini—di halte bus yang sepi—ia tersenyum lebar seraya duduk di sampingku, membeo perihal aku yang sempat disebut Es Berjalan karena ekspresi dinginku.

“Kau tahu apa ucapan Kim Jisoo, anak kelas sebelas yang sok ganteng itu? Aku sempat berpikir untuk menembak Kim Sohyun, tetapi berpandangan dengannya sudah membuatku serasa diterkam singa! Duh, selera humorku memang payah karena terpingkal mendengar hal itu!” Tawa Sungjae bergema, mengalahkan rintik hujan sore itu. Aku mendengkus, berharap bus segera datang sehingga aku bisa pemuda itu. Namun, ia justru menepuk kepalaku tanpa permisi. “Jadi, berusahalah tersenyum, oke? Kau tidak mau jadi perawan tua, ‘kan?”

Just shut up and be a good boy, Yook.”

Sungjae mengangkat kedua tangannya. “Okay, okay, you’ll have it.

Kala itu, seketika pendengaranmu sekadar menangkap derum kendaraan yang beradu dengan hujan, kecipak orang berlari untuk berteduh, serta Sungjae yang menyenandungkan nada Rain Sound—lagu lawas favoritnya. Waktu berjalan lambat. Aku seolah dihipnotis ketika irama lagu ballad itu memenuhi kepala, sampai tidak sadar bus yang kutunggu telah sampai. Beruntung, Sungjae lekas memutus senandungnya, menepuk pundakku keras sembari menyebutku pelupa, bahkan mengataiku bakal sendirian seumur hidup. Aku tidak menanggapinya. Aku tidak punya waktu menanggapinya. Aku lekas masuk, mengisi tempat duduk nomor dua di sisi kanan.

Yoon Sungjae masih di halte bus. Ia tersenyum lebar, seperti biasa, lalu melambaikan tangan. Sementara, aku beralih meneliti tiap detail di bus ini, menikmati keramaian kecil ketika dua orang remaja bertengkar lantaran hal sepele.

***

Ini sangat klise. Kau bisa menertawakannya. Akan tetapi, aku dengan tegas menyatakan bahwa kami—aku dan Sungjae—tidak kenal dekat pada awalnya. Kami hanya dua remaja yang belajar di sekolah serupa dan bepergian dengan bus umum satu jurusan. Itu berlangsung amat lama hingga suatu kejadian membuat kami selalu pulang bersama.

Itu berawal dari aku yang ketiduran hingga pemberhentian terakhir dan ia, yang masih berambut blonde norak, menemaniku menunggu bus selanjutnya dengan dalih tengah hujan deras. Sekali lagi, kami tidak begitu dekat, tetapi ia mengoceh sepanjang waktu, berkata bahwa aku tidak akan mendapat pacar jika mengurus diri sendiri saja tidak bisa. “Bukan urusanmu,” tanggapku sarkas, tetapi ia justru tertawa.

“Yah, tapi udara seperti ini memang membuat banyak orang mengantuk, sih. Tidak heran kau tidur amat lelap selama perjalanan.”

Aku memutar mata. “Aku memang mudah ketiduran kalau sudah hujan. Jadi, maaf saja, aku memang tidak akan mendapat pacar, seperti yang kaubilang.”

Selanjutnya, ia bertingkah seolah itu adalah masalah besar dan berkata akan menjagaku agar tidak ketiduran. Aku mengabaikannya. Namun, esoknya, tiba-tiba ia duduk di sampingku dan kembali mengatakan hal itu. Lagi, lagi … dan tahu-tahu kami jadi dekat, terlebih setelah satu kelas di bangku SMA. Ia menjadi sangat sombong dan kerap menepuk kepalaku seperti anak kecil. Ia juga selalu mengikutiku dan melontarkan banyolan garing dengan dalih membuatku tertawa. Sungjae menyerupai radio rusak yang begitu diputar ke tombol off justru bertambah keras dan aku dengan tololnya mempersilakan radio itu hadir dalam hidupku.

Sayangnya, beberapa orang tidak menyukai kondisi itu dan mulai mengatakan hal-hal menyebalkan di belakang kami. Aku, sih, menulikan diri. Namun, ketika gadis centil dari kelas atas mencemoohku dan kami nyaris berkelahi di lorong siswa—yang untungnya segera dilerai Sungjae—aku lekas berkata, “Go off, Yook. I’ll feel more comfortable without you by my side.”

Really? You’ll miss me, i guess.”

Ia tersenyum. Aku mendengkus.

Tidak banyak yang kupikirkan saat itu kecuali keinginan untuk hidup tenang. Sungjae benar soal balok es berjalan serta gadis dengan probabilitas berpacaran sangat rendah. Aku tidak suka keramaian, seperti keributan yang terjadi ketika kami sering bersama. Aku hanya mau kembali seperti dulu. Ini egois memang, tetapi—kala itu—kupikir keputusan macam ini tidak akan melukai pihak mana pun.

Aku baik-baik saja. Sama halnya dengan Yook Sungjae.

Esoknya, dia tidak naik bus bersamaku. Begitu pula esok harinya. Lagi, lagi, dan lagi. Ia masih rutin masuk—bahkan bertambah cerewet—tetapi ketika kabar itu menyebar—seperti film dramatis yang memancing penontonnya untuk menangis—tak peduli dengan langit yang menghitam serta memuntahkan air, aku lekas pergi ke tempat paling kuhindari setelah kematian Ibu, mendapati ia terduduk seraya berkata, “Tuh, ‘kan, kau betulan rindu padaku?”

“Kau tidak cerita kalau kau sakit.”

“Memang tidak. Sakit itu cuma buat orang yang sudah menyerah; kalau aku, sih, tidak akan menyerah!”

Dia masih saja membeo. Menyebalkan. Dan, aku seketika menangis sambil mengumpatinya yang bersikap seolah ini adalah hal biasa.

Ia panik, memintaku tenang, tetapi aku menjauh dan mengumpat berkali-kali. Air hujan menampar jendela dengan keras ketika ia merengkuhku dengan tubuh bau obatnya. “Kenapa, sih? Aku tidak akan mati. Aku, ‘kan, sudah bilang bahwa aku kuat … jadi jangan menangis.” Ia menepuk kepalaku seperti biasa. “Iyaa, mungkin aku akan jarang pulang bersamamu. Ini musim penghujan. Aku takut kau akan ketiduran sampai pemberhentian terakhir kalau tidak bersamaku, karena itu aku akan sembuh. Aku tidak pernah mengingkari janji, ingat?”

Saat itu, ia berkata akan muncul tiap hujan turun dan aku menanggapi, “Bodoh.”

Yook Sungjae memang bodoh … dan aku berkali lipat lebih bodoh karena mempercayai ucapannya.

Beralih jauh setelah kejadian itu, tatkala aku kembali tertidur di bus menuju rumah, telingaku kembali menangkap senandung yang amat kuhapal. Rain Sound. Kubuka mata, mendapati ia sudah duduk sembari menyenandungkan lagu serupa. Aku menghela napas, lantas memejamkan mata.

***

“Aku akan muncul tiap hujan turun, lho.”

Aku membuka mata. Tempat duduk di sampingku kosong. Layar di atas sopir sudah menunjukkan pemberhentian keempat. Tempat tinggalku. Beruntung sekali aku tidak tidur sampai pemberhentian terakhir.

Begitu keluar dari bus, hujan sudah berhenti. Mendung perlahan hilang, memberikan celah bagi sinar matahari. Toko daging di sisi kanan jalan sudah tutup, tumben sekali, dan dari dindingnya yang terbuat dari kaca hitam, kulihat refleksiku seorang diri. Selalu begitu. Dan, akan selalu seperti itu.

Air mataku mengalir. Aku berjongkok, menahan isak yang membuat dadaku sesak, mengumpati dia yang tidak juga hilang kendati sudah empat bulan berpulang.

Ketika hujan turun, aku merindukanmu. Ketika hujan reda, aku menangis mengingatmu. (*)

 

Note: Fanfiction of Yook Sungjae (BtoB) and Kim Sohyun (actress)
Ide orisinal dari penulis. Penulis hanya meminjam nama dan tidak mengambil keuntungan apa pun dari tulisan ini.

Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply