Bertha dan Donatnya

Bertha dan Donatnya

Bertha dan Donatnya
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Bertha duduk bersimpuh di atas lantai dengan kesendiriannya. Anak-anak sedang  tertidur lelap di kamar, jadi ia mempunyai sedikit keleluasaan gerak. Tak ada yang mengganggunya sama sekali dengan rengekan atau tangisan. Mungkin mereka sedang bermimpi berada di sebuah taman bermain, menikmati ayunan atau bergantian menuruni perosotan bersama anak-anak kecil lainnya. Bertha berharap kedua buah hatinya meneruskan mimpi indah di siang ini.

Di hadapan kedua lututnya telah berjajar beberapa bahan pembuat kue dan peralatan memasak lengkap. Termasuk sebuah baskom dan nampan tipis yang dialasi selembar koran bekas. Kemarin sore Vania—anaknya yang sulung—terus merengek kepada Bertha, minta dibuatkan donat. Katanya, ia iri melihat Lulu sedang menikmati kue berbentuk lingkaran yang dibuatkan ibunya. Sebenarnya Vania juga dibagi oleh mereka, tetapi mungkin ia mempunyai keinginan yang lain.

“Nanti Mama belikan di warung Bu Parjo, sayangku,” Bertha berusaha meredam rengekan anaknya.

“Nggak mau ah, nggak enak!”

“Memangnya kenapa?” Bertha bertanya dengan lembut.

“Itu lho, Ma, bagian atasnya nggak kayak yang dijual di Mall. Aku ingin banyak pilihan. Macem-macem!”  Gadis kecilnya mencoba menjelaskan secara sederhana

“Oh, itu—yang topping-nya kayak di Mall?”

“Iya, ada yang pink, hijau, sama cokelat.”

“Oke—nanti Mama buatkan.”

Ya Tuhan, gadis kecilnya mempunyai selera yang tinggi. Ia harus mengakali sebisa mungkin. Toh, sebuah panganan yang lezat tak harus merogoh kocek dalam-dalam.

Bertha segera memulai, satu setengah kilogram tepung terigu langsung dimasukkan ke dalam baskom sekaligus. Ups … Butiran-butiran halusnya beterbangan ke mana-mana, bahkan menyergap hidungnya yang bangir. Ia batuk-batuk kecil, seharusnya tadi Bertha melakukan dengan perlahan saja. Sejenak ibu muda itu menghentikan kegiatannya, menunggu hempasan debu-debu terigu yang melayang mengendap kembali. Dia terlihat senyum sendiri. Mungkin teringat akan sesuatu. Sekilas mata Bertha terpejam, lalu menarik napas, ingatannya terseret mundur jauh ke belakang, sepuluh tahun yang silam. Entah mengapa ia merasa kenangan masa lalunya menjadi sesuatu yang begitu indah untuk dikenang kembali.

Tiga kilo tepung terigu yang dimasukkan Bertha remaja ke dalam baskom dengan terburu-buru, membuat debu-debu halusnya menghambur ke udara. Sekejap hempasannya membuat wajah dan bulu matanya berselimut kabut putih. Ibu dan abangnya tertawa terbahak-bahak. Suara mereka membangunkan keheningan malam yang senyap. Gadis belia itu terlihat seperti badut yang belum selesai bersolek! Ini kali pertama ia belajar membuat donat. Betapa cerobohnya ia tadi. Harusnya Bertha menyadari bahwa kegiatan pertama-tama yang  dilakukan setelah bangun dari tidur adalah mencuci muka, bukan langsung berlari meninggalkan ranjang dan menuang tepung. Ya, itu pengalaman pertamanya. Dia tersenyum kembali mengingatnya.

Bertha mencoba mengumpulkan dan memunguti kembali potongan-potongan mozaik ingatannya yang berserakan satu per satu. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar, sudah terlampaui begitu lama. Setelah bekerja dan menikmati kariernya yang cemerlang, menikah, memutuskan untuk resign setelah melahirkan anak kedua. Kesibukan sebagai ibu rumah tangga memang sungguh menyita waktu. Hampir tak ada waktu untuk membuat rainbow cake atau brownies kukus kesukaannya. Jari-jemarinya mungkin telah kehilangan sentuhan layaknya dahulu pernah ia miliki.

Apa lagi membuat sebuah adonan yang tepat dan pasti “mengembang”, sungguh bukanlah hal yang mudah. Seorang chef yang sangat mahir mengolah masakan pun belum tentu sepiawai seorang pastry chef, pembuat kue. Begitu juga sebaliknya. Setiap orang memiliki keahlian yang berbeda.

“Ah, seandainya Ibu masih ada, aku bisa bertanya,” keluhnya.

Wanita muda itu mulai mencoba mengumpulkan keberanian. Pelan-pelan mengingat kembali apa yang harus dilakukan. Dimulai dengan menuangkan gula pasir dan sedikit taburan ragi pengembang di atas tepung terigu; memasukkan isi beberapa butir telur yang telah dipecahkan. Kemudian diaduk-aduk menggunakan jari-jemari saja. Adonan masih terasa kering, belum meliat seperti tanah yang lengket. Bertha lalu menumpahkan segelas susu cair sedikit demi sedikit pada timbunan bahan-bahan tadi, agar meresap dan menyatukan semua bahan. Tak lupa ia menambahkan beberapa sendok mentega secukupnya. Kini jari-jemarinya mulai menggantikan fungsi mata, merasakan kekenyalan dan kepadatan tepung dengan cara menguleni hingga membentuk menjadi sebuah bongkahan besar yang padat. Bertha kemudian  membanting adonan tersebut berulang-ulang ke lantai hingga menjadi kalis.

Selesai. Peluh membasahi sekitar pelipisnya. Bongkahan adonan tadi dimasukkan ke dalam baskom dan ditutupi dengan selembar kain. Pukul 14.30. Ia baru saja melihat jam di dinding, memastikan waktu yang tepat untuk memulai kembali. Sekarang tinggal menunggu saja selama empat puluh lima menit, untuk membiarkan adonan donat menjadi benar-benar sempurna.

“Hmm, capek juga rasanya,” ia mengeluh dalam hati. Tetapi … ingatannya mulai membayang kembali di pelupuk matanya. Ya—ibunya pernah melakukan hal yang sama, bahkan bertahun-tahun lamanya. Selepas kepergian ayahnya, mereka bertiga bahu membahu memperjuangkan hidup. Lepas tengah malam, di saat orang lain tengah tertidur lelap menikmati mimpi yang memikat. Mereka harus bangun dari tidur yang sungguh nikmat. Pekerjaan inilah yang mampu membuat mereka bertahan hidup, bahkan bisa menghantarkan Bertha dan abangnya hingga ke perguruan tinggi. Kedua sudut matanya mulai membasah. Ada putaran waktu yang pernah terlupa. Waktu-waktu berharga yang telah menempa dan membentuk dirinya hingga menjadi pribadi yang tangguh. Ah, sekarang ia jadi merindukan sosok ibunya. Wanita yang mempunyai hati sekuat baja.

***

Jam dinding telah menunjukkan tepat pukul 15.30 dan sore sebentar lagi datang. Adonan telah menjadi kalis. Ia harus bergegas, membuat satu bentuk serupa cincin dengan cetakan. Tetapi kali ini lebih mudah. Tak membutuhkan waktu yang lama, sekejap di atas koran yang telah dilumuri taburan terigu halus, telah berbanjar rapi tiga baris donat mentah yang siap untuk digoreng.

Tak! Suara pemantik kompor menyala. Dalam hitungan beberapa menit, minyak minyak goreng telah mengeluarkan uap panas. Dicemplungkannya satu demi satu adonan berbentuk bundar. Dan tak lama, aroma sedap yang menarik hidung telah menyebar ke seluruh penjuru ruang. Bertha menghirup baunya, menikmati dalam-dalam. Diangkatnya segera donat yang telah matang. Ia ingin mencobanya. Ada rasa penasaran yang tak terhingga. Dicobanya secuil sambil meniup-niup karena kepanasan.

“Oh, Tuhan. Betapa lezatnya! Rasanya mirip seperti buatan Ibu,” teriaknya dalam hati. Senyumnya mengembang. Ia puas. Donat pertama yang dibuat untuk anak-anaknya terlahir sempurna.

***

Vania dan Ghiffari telah bangun dari tidurnya. Bau harum panganan yang menguar ke seluruh ruangan telah membangunkan mereka dari mimpinya. Di atas meja, di atas sebuah piring lebar. Beberapa donat beraneka topping menarik siap tersaji, menantang mata dan mengundang liur yang sangat.

Dua orang anak kecil sekejap langsung mendekat dan menghampiri wadah lebar tadi.

“Ma, ini apa, Ma? Donat buatan Mama, ya? Aduh, ini yang pink—cantik banget. Aku coba, ya!” Si Sulung terkejut melihat sedikit kejutan menyenangkan di sore ini.

“Aku mau—aku mau,” Ghiffari juga tak mau ketinggalan. Di tangan kanan dan kiri anak bungsunya, tergenggam dua donat rasa green tea dan dark chocolate.

“Enak, enak,” gadis kecilnya makan sambil bicara, dengan mulut yang monyong penuh isi.

“Mama—pintar, deh.”

“Jangan berebutan, ya! Mama masih menyisakan banyak kok, di atas kulkas,” ia mengingatkan anak-anaknya.

Bertha melihat dua belahan jiwanya sedang menikmati donat buatannya. Seandainya ibunya masih bisa melihat kedua cucunya sedang menikmati resep warisannya, dia pasti tersenyum bahagia. Air mata Bertha meleleh, ada kerinduan yang berjarak dan tak mungkin tersampaikan lagi.

Ibu mungkin sedang duduk-duduk sore di taman surga, pikirnya. Pasti ia sedang menikmati segelas kopi setengah manis dan beberapa potong donat terlezat sajian Tuhan.

“Setangkup doaku yang tak pernah habis untukmu Ibu, terima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untuk kami di waktu itu,” Bertha berdoa dalam hati, “Terima kasih juga atas kue-kue penuh cinta, yang kau buat setiap hari di setiap penghujung malam. Sepotong kue kehidupan berbentuk lingkaran yang bernama donat.”

“Sekali lagi terima kasih Ibu, untuk sesuatu yang tak mungkin pernah kubayar lunas!”

 

Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata