Titik Balik
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
“Aku seorang penulis,” katanya ketika kami pertama bertemu di lantai tiga Perpustakaan Soeman Hasanuddin, Pekanbaru. Musim kemarau, awal semester pertama kuliah, dan aku sedikit berjungkit ketika ia tiba-tiba mendekatiku yang mengisi sudut meja bundar, melirik buku yang kuambil, sambil bertanya, “Kau mau jadi penulis?”
“Hm.”
“Penulis sebagai pekerjaan utama? Atau?”
“Entah. Aku belum memutuskan. Aku cuma suka menulis.”
Aku tidak mengharapkan interaksi lebih lanjut—kudoakan saja semoga wanita dengan rambut gelombang diikat satu itu duduk diam, mengobservasi isi perpustakaan, seperti tipikal penulis yang kutahu—tetapi ia justru mendekat dan menceritakan banyak hal. Banyak konsep. Aku sembilan belas tahun kala itu, sedangkan ia barangkali telah menginjak umur empat puluhan, tetapi ia sangat cerewet serta kekinian, sampai-sampai aku risi dan berniat beranjak dari tempat tersebut. Sialnya, ia justru mengikuti dan membeo di sampingku hingga aku turun ke lapangan parkir utama Perpustakaan Soeman Hasanuddin.
Itu pertemuan awal kami. Selanjutnya, kami kerap bertemu di perpustakaan yang sempat dinobatkan sebagai yang terbaik se-Asia Tenggara tersebut. Ia masih cerewet, sedangkan aku masih berusaha menghindarinya. Aku kian terbiasa dengan sikapnya, bahkan tidak segan memanggilnya dengan “kau” alih-alih memakai sapaan formal. Ia sendiri seperti tidak mempermasalahkannya dan justru makin seenaknya sendiri saat bersama denganku. Ia bahkan tidak segan memperlihatkan bungkusan rokoknya padaku, di semester terakhir kuliah, hingga aku berkomentar, “Kau merokok.”
“Dan, kau tidak pakai rok.”
Wanita itu tergelak. Aku mendengkus.
Di luar itu, ia—yang tidak mau menyebutkan namanya—cukup terbuka untuk berbagi pengalaman, meski, yah, ia mengatakannya dengan wajah tidak serius. Ini cukup menghibur, sekaligus membuatku penat manakala ia datang di saat aku frustrasi dan bertanya, “Bagaimana perkembangan tulisanmu?”
Itu adalah Oktober yang mendung ketika aku membuka detik.com, membaca berita perihal Hanum G. Pratama yang kembali meluncurkan karya terbaru. Lantai tiga tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang plontos di rak berisi arsip-arsip Melayu, dan aku tidak mempermasalahkannya. Justru bagus kalau pengunjung tempat ini sedikit, karena aku bisa menguasai meja bundar ini sendirian, menetralisir kekacauan neuronku akibat ditolak oleh enam penerbit sekaligus. Ini hal yang biasa dalam dunia kesusastraan, tetapi tetap saja membikin efek negatif bagi psikologisku, dan untuk normal kembali biasanya butuh semadi cukup lama. Tanpa parasit. Tanpa suara-suara sok tahu.
Itu mauku.
Aku tengah menyandarkan kepala di lipatan tangan, memandang tetes air di dinding kaca, menikmati lagu klasik yang terputar khusus untuk pengunjung lantai tiga, ketika suara familier itu memecah kemafhumanku.
“Hei! Bagaimana perkembangan naskahmu?”
Aku serta-merta duduk tegak, memandangnya yang datang dengan rambut basah. Ia tersenyum singkat, lantas beringsut duduk di sampingku, tanpa izin melihat naskah yang terlampir di layar laptop.
Aku memalingkan wajah. “Ditolak lagi.”
“Tidak apa. Bukankah dengan begini aku bisa membaca dan merevisi naskahmu lagi?”
“Terserah.”
Ia langsung mengeksploitasi laptopku, seperti biasa, sedangkan aku memilih menelusuri tiap detail tempat ini. Diresmikan tahun 2008, Perpustakaan Soeman Hasanuddin menawarkan arsitektur megah dan unik bagi para pengunjung. Jika dilihat dari kejauhan, ia menyerupai buku yang dibuka pada bagian tengah. Ada pilar berlapis multipleks atau plywood yang menopang sekelilingnya. Dinding luarnya terbuat dari kaca sehingga para pengunjung dapat dengan leluasa melihat pemandangan di luar perpustakaan, seperti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh atau kendaraan yang meninggalkan tempat parkir.
Bagian dalamnya didesain sedemikian rupa untuk menyamankan pembaca. Ada banyak fasilitas di sini, tetapi aku paling suka dengan WiFi gratis di seluruh penjuru lantai. Hal lain yang kusukai adalah karpet bulu lembut cokelat muda. Itu warna favoritku, sebagai informasi, dan menikmatinya sendirian—dengan sedikit pengunjung, maksudku—membuatku tenang, seolah tempat ini memang diperuntukkan untukku.
Aku dan karya gagalku.
“Bagaimana bukumu?” tanyaku akhirnya.
“Lancar. Tidak terlalu serius seperti buku sebelumnya, sih, tapi aku sangat menikmati proses pengerjaannya. Kuharap pembaca juga merasakan hal yang sama.”
Aku diam sejenak sambil menyandarkan tubuh. Memandang langit-langit lantai teratas. “Apa kau pernah berpikir tujuanmu menulis?”
“Sering. Dulu. Tapi, aku sudah berhenti. Itu pemikiran tidak berguna,” balasnya sambil memainkan kursor.
Aku menghela napas.
“Awalnya kupikir, aku menulis agar tulisanku dapat dibaca. Agar orang-orang mengetahui pemikiranku. Aku ingin mengubah sesuatu dengan tulisanku. Tapi, setelah ditolak enam kali, aku jadi bertanya, apa betul hanya itu tujuanku menulis? Bukan hal yang lebih manusiawi, seperti … uang, mungkin?”
“Kuberi tahu satu hal: kau mulai tidak fokus.” Ia meregangkan tubuh, lantas menjauhkan laptop. “Aku sudah sekilas membacanya. Karakter tulisanmu kuat sekali. Kalau diikutkan kontes, aku langsung mengenalinya hanya membaca beberapa kalimat serta tema cerita. Tapi sekali lagi, kau kurang luwes menulisnya.” Ia mengangkat bahu. “Lumrahnya, anak muda itu punya pikiran yang luar biasa. Kau salah satunya. Tapi, kau masih menulis untuk dirimu sendiri, bukan untuk pembaca.”
“Itulah yang ingin kutanyakan: Kalau kita menjadi penulis, apakah kita mesti memenuhi selera pasar agar mendapatkan banyak uang? Apakah harus mencari topik mainstream agar diterima masyarakat? Apa kita mesti berpura-pura agar mendapat uang dari pembaca?” Aku meraih laptop, membaca ceritaku sekilas. “Dewasa ini banyak sekali tulisan yang mengedepankan selera pembaca mainstream sampai lupa kaidah sebenarnya dari karya sastra. Apa aku … harus jadi begitu agar diterima masyarakat?”
Ia mengibaskan tangan. “Kau terlalu jauh. Maksudku, yang kurang luwes adalah bahasanya, bukan materinya. Tugas penulis itu memahamkan pembaca. Cobalah berkaca pada beberapa nama besar yang materinya antimainstream: apakah mereka meruwetkan materi yang memang sudah rumit? Atau mereka menyederhanakannya sehingga tema sesulit apa pun dapat dinikmati pembaca?” Aku mendengarkannya saksama. “Itulah yang belum kulihat dari tulisanmu.”
“Kalau sudah dikomersialkan, kau memang bukan lagi menulis untuk dirimu sendiri. Kau menulis untuk masyarakat.”
Aku bergeming, mengingat semua kegelisahanku selama ini: masalah klise yang kerap diceritakan orang-orang. Aku ingat konsep keluarga dan mimpi. Aku ingat pandangan aneh orang-orang ketika kuceritakan malam-malam yang kulewati dengan kucuran keringat dingin. Aku ingat tujuan awalku menulis.
“Aku … menulis supaya tetap waras. Aku menulis agar semua trauma, kemarahan, dan kekecewaanku berkurang, agar orang-orang tahu apa yang kurasakan. Agar aku dipahami. Agar mereka mengerti bahwa dunia tidak hanya berisi hal-hal baik.” Intensitas air hujan berangsur turun ketika aku menambahkan, “Lalu, tiba-tiba orang-orang menyukai tulisanku yang seperti itu. Mereka menyebutnya sebagai ciri khas. Mereka mengasosiasikan tulisanku sebagai aku. Mereka memberikan identitas pada tulisanku. Dale Carnegie bilang bahwa nama, identitas, punya arti penting bagi seseorang … yang membedakan dengan orang lain. Identitas itu pembeda dan kupikir … aku tetap bertahan pada gaya tulisanku karena tidak ingin disamakan dengan penulis lain.”
Aku pencerita baik secara tekstual, tapi sangat jelek secara praktik. Menyebalkan memang.
“Aku ingin pembaca mengenali tulisanku sebagai aku. Karena itu, aku takut untuk berubah. Ini hanya perasaanku, tetapi bagiku, kian lama, para penulis idealis akan mengendurkan tulisannya, lantas ketika mereka melakukan itu, seketika publik mengecap bahwa mereka telah tumpul, jiwanya telah mati, dan sebagainya. Aku takut kehilangan diriku sendiri bila berubah.”
“Tuh, kau mengakui sendiri bahwa kau memperhatikan pembacamu,” balasnya cepat. Ia menyilangkan tangan, tipikal kalau hendak ceramah, lantas berkata, “Dengar, ya, manusia hidup diperbudak oleh sesuatu, sadar atau tidak, entah itu oleh agama, pekerjaan, atau orang lain. Tapi, itu kembali lagi ke kita, mau jadi budak dari sesuatu seperti apa.
“Kalau sekarang mau idealis, mengikuti kata hatimu, ya, silakan berselancar di aliran sastra yang kausukai. Kalau mau menggila di genre psikologi, silakan. Kalau mau berputar-putar di genre surealis, silakan. Kalau mau main petak umpet di genre misteri, silakan. Dunia literasi adalah milikmu … tetapi kau juga jangan melupakan tugas menulis untuk memahamkan orang lain.”
Wanita itu telah berusia nyaris lima dekade, kuprediksi, tetapi perkataannya sangat bebas. Acuh tidak acuh. Dan, aku benci mengakui bahwa sikap seenaknya sendiri itulah yang beberapa kali mengurangi kepanikanku. Aku sendiri juga heran. Apa karena kami punya pemikiran serupa di beberapa hal? Atau karena sarannya sesuai dengan apa yang kuinginkan? Entahlah. Aku tidak tahu pasti.
“Kau tahu? Peraih Nobel Sastra 2017, Kazuo Ishiguro, berkata bahwa ia iri pada dirinya saat muda, karena punya ide yang tidak biasa, liar, dan imajinatif, daripada dirinya yang sekarang. Itu sudah jadi pernyataan tersendiri bahwa makin lama, manusia hidup dalam kotak—sangkar yang mereka buat dari ketakutan untuk mengambil keputusan—dan memang hukumnya seperti itu.” Seorang wanita yang memakai kaca mata berantai datang dari lantai dua ketika ia melanjutkan, “Aku yang dulu juga tidak jauh berbeda darimu. Pikiranku seperti benang ruwet. Tapi, aku cukup beruntung karena bisa menerjemahkannya sedikit-banyak ke tulisan dan karena itulah aku bisa berkata sebanyak ini padamu.”
“Kalau sekarang?”
“Tulisanmu sekarang dengan saat kau masih SMP sama, tidak?”
“Tentu tidak.”
“Nah, itu dia. Hidup ini dinamis. Ada fase progresif dan regresif. Ini hanya masalah waktu. Dan, soal penulis idealis yang mengendurkan tulisannya … itu juga termasuk masalah waktu.”
Ia mengambil napas. Lelah berceramah, mungkin.
“Manusia itu hidup bukan sebagai garis paralel, melainkan sebuah kurva. Semua kurva selalu mempunyai titik balik. Ada yang titik baliknya tidak terlalu kentara, tetapi ada juga yang berbeda 180 derajat, dan itu lumrah terjadi.” Pandangannya tiba-tiba menjadi sayu. “Kau masih muda. Nikmati apa yang kau bisa nikmati. Kalau memang mau meliar, menjelajahi banyak hal, lakukan saja. Sendi-sendi serta pikiran orang muda selalu punya keunikan serta keistimewaan tersendiri. Jadi, manfaatkan saja.”
Hujan berangsur reda ketika ia sampai pada penutup ceramah.
“Anak muda itu biasanya idealis. Kalau maunya A, ya A. Kalau B, ya B. Tapi, di saat bersamaan, mereka juga selalu ingin mencoba sesuatu.”
“Mm.”
“Ya?”
“Kau sangat cerewet, seperti biasanya.”
“Baik, baik, aku tahu hal itu. Kau tidak perlu mengulangnya.”
Kami diam cukup lama.
Aku kembali melihat ceritaku, sedangkan ia meraih ponsel, lantas berbenah, hendak pergi.
Aku mematikan laptop sambil menawarkan diri, “Mau kubelikan rokok? Sebagai tanda terima kasihku hari ini.”
“Aku sedang mengurangi nikotin, sebagai informasi.”
“Kenapa?”
Ia tertawa jenaka.
“Sebuah titik balik … kau tahu maksudku, ‘kan?” (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001. Sekarang duduk di bangku kelas XI SMA Negeri 1 Ponorogo.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata