Senja (bagian 1)
Oleh: Lutfi Rose
Semburat senja mengiringi sang mentari beranjak ke peraduan. Semilir angin sore menerpa wajah sendu perempuan berparas manis, sederhana, bergamis merah jambu. Secangkir kopi terhidang di atas meja, menyekat duduk dua orang insan yang tengah dirundung gundah.
“Aku tahu Abang, ini semua yang kamu nantikan sejak lama,” sang wanita membuka perbincangan.
Lelaki itu, menyeruput kopi hitam dengan hikmat. Membiarkan wanita di depannya menatap penuh keraguan. Dia menarik napas dalam, mengumpulkan udara mengisi rongga yang terasa semakin sesak.
“Apakah Adek mengizinkan?” ucapnya di sela keheningan yang mencengkeram rasa.
Sekali lagi ucapan itu seolah tenggelam dalam gemerisik angin sore.
Terkadang apa yang sangat didamba di waktu lampau, menjadi bumerang di masa kini.
Kania, perempuan yang dibesarkan di antara rindangnya pepohonan jati dan semerbak aroma tanah sawah, tak serta merta mampu mencerna apa yang sedang diinginkan suaminya. Sebuah pilihan berat baginya, menahan atau melepaskan. Jikalau bisa ditahan, apakah semua akan tetap sama? Namun jika harus dilepas, hatinya pasti perih teriris, pilu.
“Abang masih mencintainya?” pertanyaan yang sebenarnya ragu untuk disampaikan. Namun rasa penasaran atas sebuah pernyataan tegas dari lelaki yang sudah lima belas tahun ini mengayuh biduk bersama. Memaksa wanita pendiam itu berterus terang.
“Aku telah memilihmu, Dek. Sejak malam itu, aku sudah mengikhlaskan dia. Dan menyisihkannya di antara masa lalu.” Lelaki itu berusaha menahan segala gejolak keraguan di dadanya. Berharap perempuan yang menyerahkan hidup pada lelaki pilihan orang tuanya tanpa syarat apapun itu berhenti bertanya.
Cairan bening tak mampu lagi dibendung Kania. Entah tangis haru ataukah pilu. Dia percaya cinta tak pernah bisa dibunuh, hanya bisa berubah rupa membentuk rasa baru, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi manusia. Apakah lelaki di hadapannya ini sepenuh hati bertutur, atau hanya sekadar menghibur. Apalagi ini kisah cinta masa lalu yang belum dituntaskan.
Terbukti sudah jika dunia tak seluas daun kelor. Meski Fajar telah merantau jauh setelah menikah, mengubur kenangan jauh di perut bumi yang terdalam, mengadu nasib di kota Serambi Mekah bersama gadis pilihan orangtua. Tetap saja takdir masih bisa menguak kisah lamanya.
Dia tak pernah menyangka jika Pak Yakob, pemilik kebun di mana dia menjadi mandor, adalah ayah Senja, gadis yang dia tinggalkan dengan sekeping hati yang terbelah. Si gadis, yang telah menautkan hati sejak mereka masih berseragam abu-abu, dan menjadi separuh napasnya.
Lelaki yang beranjak senja itu memohon padanya untuk menikahi Senja. Gadis yang bersikeras menanti kedatangannya di saat semua orang sudah patah arang. Dia selalu meyakini, lelaki yang dicintainya akan datang mengembalikan separuh hati yang dibawa ketika pergi.
Namun, apakah pantas dia kembali. Atau lebih tepatnya, apakah layak menduakan istrinya, yang begitu sabar menjahit hati yang robek dengan perhatian dan ketulusan. Rasa cinta yang dia musnahkan sekian lama, rasa rindu yang ditekan sepenuh jiwa, haruskah menghancurkan sosok sempurna di hadapannya.
Siapa yang tahu jalan takdir manusia. Pak Yakob ternyata orang asli Tanah Rencong. Alih-alih mengobati luka anaknya, membawa pulang ke tanah kelahiran, malah dipertemukan dengan pemuda yang siang malam dinanti anak gadisnya. Sudah hilang akal melihat anak gadis melajang di usia yang terbilang melebihi matang. Kalaupun harus jadi yang kedua, dia rela, asal buah hatinya bahagia.
***
Udara masih sangat dingin ketika lelaki berkulit cokelat dan berambut cepak itu melangkahkan kakinya menuju rumah berhalaman luas. Jaket tebal yang dikenakan tak cukup melawan dingin. Giginya tampak sedikit gemeletuk. Harusnya dia mendengar peringatan istrinya tadi seusai Subuh. “Berangkatlah agak siangan, Bang! Cuaca dingin sedang pada puncaknya. Tak baik naik motor di udara sedingin ini,” dia bicara sembari memberikan jaket tebal dari bahan kulit kerbau yang berwarna hitam.
Pria keras setangguh karang itu merasa tak bisa menunggu mentari menyapa pagi. Jarak rumah Pak Yakob tidak terlalu jauh, tak sampai setengah jam dia mengendarai motor. Meski motor itu sudah tak baru lagi, tetapi masih cukup tangguh jika dilajukan 70 kilometer per jam.
Sekarang rumah bergaya klasik, khas peninggalan zaman Belanda, berdiri kokoh di hadapan Fajar. Terakhir sekitar sebulan lalu, dia datang kemari. Saat itulah dia tak sengaja bertemu dengan Senja, yang langsung pingsan dan menjatuhkan nampan berisi dua cangkir kopi yang hendak disuguhkan. Dia sendiri tak kalah kaget, belasan tahun tak melihat sosok itu: gadis yang masih berwajah sama seperti ketika Fajar mengucapkan kata perpisahan. Hanya saja badannya bak pohon kekurangan air, meranggas dan kering. Lingkaran hitam menghias mata hitam bulatnya, pipi tirus yang selalu menyungging senyum pun makin menirus. Ditambah sebuah kenyataan bahwa sang gadis masih melajang, membuat rasa bersalah di dalam dada makin merisaukan.
Fajar iba!
Andai waktu bisa diputar kembali—mengulang pertemuan malam itu, memperbaiki alur kisah mereka berdua. Harus diakui, rasa rindu itu masih tersisa. Namun pantaskah? Kembali menyambung benang asmara bersama, sama saja dengan menjilat ludah sendiri.
Seorang lelaki membuka pintu setelah Fajar mengetuk beberapa kali.
“Fajar? Alhamdulillah … akhirnya kamu bersedia datang juga.” Wajah Pak Yakob tampak semringah.
Fajar mengikuti lelaki tambun itu masuk ke ruang tamu.
“Duduklah! Akan aku panggil Senja untuk menemuimu,” dia bicara sambil berlalu.
Tak lama gadis masa lalu itu, telah duduk di hadapan Fajar. Wajahnya tampak lebih segar dari terakhir kali mereka bertemu.
“Kamu sudah baikan, Sen—ja?” Fajar terbata berucap.
Senja masih diam, dia merapikan letak dress yang dikenakan. Lalu kembali menatap Fajar. Sebuah anggukan sebagai jawaban.
Lelaki berkulit gelap itu menghela napas dalam, diusapnya wajah yang mulai berpeluh di antara udara dingin pagi. Aneh, dia mengibaskan jaket bagian depan, mengusir rasa gerah yang tiba-tiba menyergap.
“Sampai kapan kamu akan menunggu, Senja?”
“Sampai kamu mau menikahiku.” Mata lelaki itu terbelalak mendengar jawaban perempuan di hadapannya.
Hening. Cukup lama mereka bersenandika sendiri.
Sejurus kemudian Fajar mulai bicara, “Aku tak mungkin menduakan istriku, walaupun dia mengizinkanku.” Kembali dia diam, mencari aksara indah menebus rasa bersalah. “Aku tahu, sangat tahu—kamu sangat mencintaiku. Tapi …,” Fajar menjeda kalimatnya.
“Tapi apa, Jar? Kamu masih meragukanku?” Wajah Senja mulai memerah, tak sabar.
“Cobalah untuk mengerti! Seandainya kamu di posisinya … adakah seorang wanita di mana saja yang mau berbagi cinta suaminya dengan wanita lain?”
Senja menunduk, mencerna apa yang disampaikan Fajar.
“Kamu tak akan tahu betapa hancurnya ketika harus berpisah denganmu. Ya—dia. Dia, istriku yang memberi semangat baru, yang mampu mengangkat jiwaku yang telah rapuh dari dekapan keputusasaan. Sabar menantiku hingga bisa membuka hati untuknya,” lanjut Fajar.
Perempuan sederhana itu makin menunduk pilu. Fajar memalingkan pandangannya, menekan rasa iba yang mulai mengusik hatinya.
“Cobalah untuk mengerti sekali lagi. Dunia yang luas ini jangan kau ubah menjadi sesempit hatimu. Masih banyak lelaki baik yang mampu mencintaimu dengan tulus. Jauh lebih baik dariku—lelaki yang tak mampu memenuhi janjinya,” satire Fajar.
Senja menangis terisak, tapi dia tahu apa yang dikatakan Fajar benar. Dia tak pernah membuka hatinya untuk laki-laki lain. Kali ini bukan lagi cinta yang dia tangisi tetapi kebodohannya—menanti sesuatu yang tak pasti selama ini.
Fajar berdiri, membiarkan hatinya tak pernah utuh kembali. Meninggalkan gadis yang dikasihinya menangis tersedu—sendiri. (*)
Lutfi Rose, perempuan kelahiran Malang ini, adalah seorang ibu dari tiga orang putri dan seorang putra. Baginya menulis adalah hobi dan menjahit adalah profesi. Akun FB-nya Lutfi Rosidah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata