Amputasi
Oleh: Fitri Fatimah
Pada sebuah masa, manusia mulai kehilangan anggota tubuhnya: dari ujung rambut sampai mata kaki ada saja yang tidak ada. Ada yang buntung tangannya sebab enggan mengulurkan tangan dan berbagi sedekah. Ada yang buntung kakinya sebab malas bergerak untuk bekerja, ia hanya terus diam bagai terpasak pada tanah. Ada pula yang tak berkepala, hidup tanpa akal dan logika, hidup hanya setara hewan yang mengandalkan insting. Ada yang hidup tanpa tulang rusuk bagian kiri. Tulang rusuk yang dahulu kala telah dititipkan pada seorang gadis entah siapa, ia cari dalam kembara. Sayangnya dalam perjalanan itu ia tersesat dalam pencocokan-pencocokan tulang rusuk. Ada pula yang kehilangan mata, buta terhadap kenyataan. Ada pula yang kehilangan telinga dan hidung. Ada yang kehilangan mulut, hak bersuaranya telah hilang disumpal penguasa dengan rupiah. Dan yang lebih parah, ada yang hidup tanpa hati, ada lubang kosong dekat jantung tempat seharusnya hati berada. Mereka tak berperasaan, tak memiliki rasa simpati apalagi empati, begitu mudah menodongkan pistol apalagi cuma untuk menarik pelatuknya. Manusia bukan lagi manusia sebab mereka tak lagi berperikemanusiaan.
Bisa saja sebenarnya anggota tubuh yang hilang mereka pasangkan tangan buatan, kaki buatan, kepala buatan, hati buatan, donor mata, tapi sebagaimana kain yang sobek tak akan lagi sama sekalipun ditambali perca, begitu pula manusia dengan anggota-anggota tubuh palsunya.
Lalu kemudian ada seorang pemuda bernama Mukhlis, ia yang entah bagaimana masih memiliki anggota tubuh lengkap, tak ada satu pun anggota tubuhnya yang tumbang atau tercerabut dari asalnya. Seseorang dengan anggota badan lengkap menjadi anomali di antara semua manusia tak berbadan lengkap. Dia menjadi satu di antara seribu, menjadi pengecualian di antara keseragaman. Keberadaannya menjadi tatap keheranan. Orang-orang bertanya kenapa badannya tak ada yang hilang: matanya masih sepasang, kaki tangannya lengkap kanan kiri, kepalanya masih bertengger di leher, tulang rusuk kirinya bahkan telah ditemukan. Dan hatinya masih berada di tempat seharusnya. Orang-orang bertanya apa yang berbeda darinya sehingga dia tak sama dengan mereka? Apa kelebihannya? Apakah tubuhnya terbuat dari emas dan platina sehingga waktu tak melekangkannya? Apakah tubuhnya terbuat dari kerasnya baja? Atau apakah terbuat dari karet, bisa bongkar pasang sesuka-suka. Barangkali semua itu benar. Barangkali itulah yang membuat mereka dan dia tak sama. Sebab mereka hanya terbuat dari tanah yang sewaktu-waktu dapat larut dilamun air. Sementara Mukhlis terbuat dari segala keistimewaan itu, duga mereka.
Mulailah mereka beramai-ramai mencoba mentransplantasi tubuh untuk menjadi sesempurna Mukhlis: mereka menancapkan besi baja pada tubuh mereka, menyuntikkan silikon dan segala cairan rumit lainnya. Tapi bahkan setelah semua proses itu, mereka sendiri sadar bahwa diri mereka tak bisa menyamai Mukhlis. Bahkan kini mereka lebih menyerupai boneka dan robot, penuh aksesoris pretelan.
Mulailah lagi mereka mencari tahu. Apa rahasia Mukhlis? Apa komposisi tubuhnya? Hingga lama-lama rasa penasaran itu berubah jadi rasa iri. Mereka mulai menyalahkan Mukhlis atas keberbedaannya. Mengecam kelebihannya yang tak bisa mereka miliki. Apalagi ketika kemudian kata-kata yang keluar dari mulut Mukhlis tak sama dengan kata-kata mereka, bertentangan dengan apa yang mereka sebut sebagai kebenaran umum, maka mereka tak bisa menoleransi lagi. Cukup raga saja yang tak sama.
Mulailah ramai-ramai mereka mengunjuk rasa Mukhlis. Spanduk-spanduk dan plakat yang bertuliskan kata cerca mereka usung mengelilingi jalanan, agar semua orang tahu bahwa Mukhlis bukan lagi kesempurnaan, ia kecacatan.
Ramai-ramai pula—mereka tak berani kalau main sendiri—mereka arak Mukhlis ke alun-alun kota. Dengan penuh berang mereka lucuti pakaian Mukhlis hingga dia bugil di lapangan. Mereka terkesiap melihat tubuh polosnya yang amat bersih, tak ada setitik pun bercak. Mereka makin marah sebab tubuh di balik pakaian mereka sendiri juga tak sebanding dengannya. Tubuh mereka penuh kutil dan daki. Dengan amarah yang berapi-api mereka mengeroyok Mukhlis, menghujaninya dengan pukulan. Lalu ada salah satu di antara mereka yang merangsek maju dengan pisau di tangan, mengiris mulut Mukhlis sebagai protes atas kata-katanya yang tidak sepakat. Lalu muncul lagi tangan-tangan lain, kali ini dengan gergaji, parang, kapak, dan bermacam benda tajam, mereka memutilasi tubuh Mukhlis seperti sedang menyembelih hewan kurban. Katanya hendak dijadikan cendera mata yang akan mereka pajang di depan rumah, sebagai bukti bahwa mereka pernah menjadi pahlawan yang berhasil menumpas kejahatan. Selain itu, daging itu juga hendak diteliti di laboratorium, hendak dibongkar apa saja kandungannya. Barangkali dugaan mereka benar bahwa Mukhlis terbuat dari emas atau besi atau pula karet.
Berhari-hari kemudian setelah hasil autopsi itu keluar, mereka lagi-lagi dibuat tercengang. Tak ada satu pun kandungan Mukhlis yang mendekati dugaan mereka. Tak ada emas, besi atau pun karet. Ternyata Mukhlis sama-sama terbuat dari tanah seperti mereka. Jadi apa yang membuatnya berbeda? Lagi-lagi mereka bertanya. Dan kali ini pertanyaan itu akan selamanya jadi misteri. Misteri yang terkubur bersama genangan darah yang telah mengering di alun-alun kota.
Mukhlis kini hanya tinggal nama.
Sumenep, Maret 2016.
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. Ia sering menghalu dengan ngelunjak.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata