Pungkasan Dendam
Oleh: Eda Erfauzan
Aku pandang lagi wajah bersih di depanku. Wajah manis yang dulu sering kutimang. Bocah yang tawa dan tangisnya mampu membuatku melakukan apa pun. Ia tak pernah meminta dan aku tak pernah sungguh-sungguh tahu apa yang paling diinginkannya. Mungkin karena ayahnya–putraku—sudah memenuhinya. Kini dia datang, bersimpuh di kakiku dengan derai air mata dan sebuah permintaan yang sungguh menghimpit dada. Kenapa tak sekalian ia meminta nyawaku?
Dia memintaku bertemu dengan musuh besarku dan berlapang hati melupakan pertikaian yang sudah mendarah daging. Memupus dendam yang berkelindan, hingga membakar dua keluarga yang terus berseteru dan nyaris membuat mereka jadi abu.
Kita, sudah semakin menua. Usia pun mungkin tak lagi lama. Demi masa depan cucu-cucu, aku mengharap kita bisa berdamai.
Pesan itu dibawanya dari laki-laki yang cucu perempuannya telah menambat hati cucuku.
Dengan berat hati kuanggukan kepala, binar matanya menyalakan kembali semangat tua yang mulai redup.
Entah bagaimana awalnya, perseteruan dari Kakek menurun ke Bapak, lalu padaku. Laki-laki yang kini mengajakku bertemu dan berdamai dengan semua torehan luka adalah seteruku. Si rambut jagung hasil panggangan sinar mentari yang kemudian dicat permanen hingga menjadi ciri khasnya: rambut kuning kemerahan.
Keluarga Basar dan keluarga Desta selalu berhadapan, siap berperang karena sebagai tuan tanah mereka masing-masing punya pengikut—yang terikat dengan budi dan sumber penghidupan.
Berawal saat Kakek masih muda, ketika batas tanah kami bergeser sekian meter oleh keluarga Desta. Kakek meradang, tetapi Desta ngotot hingga patok itu maju mundur antara tanah kami dan tanahnya. Lalu lumbung padi kami terbakar, tanah pertanian diracun hingga bertahun-tahun tidak menghasilkan apa pun. Hanya rumput yang dapat tumbuh. Menurut ahli yang didatangkan Kakek, struktur dan kontur tanah telah berubah karena racun kimia. Genderang perang pun berbunyi dan para centeng mulai menemukan pekerjaannya. Hati yang terbakar iri, dendam, dan amarah tak mudah dijinakkan. Jadilah keluarga kami laksana bensin dan api.
Perebutan wilayah terjadi lagi di masa aku dan si rambut jagung muda. Bukan, bukan lagi area pertanian yang kami perebutkan, melainkan ladang rezeki dari bisnis pemerasan berkedok keamanan, juga perempuan.
Tarik ulur anggota di wilayah yang telah disepakati bersama menjadi suatu hal yang biasa. Utara dan barat kota Wahili adalah wilayahnya, timur dan selatan kerajaanku, sementara area pusat tak tersentuh. Hingga suatu hari dia menipu anak buahku dengan menitip barang yang ternyata barang haram dan dibuat seolah milikku. Saat barang itu ada di markas, aparat datang menangkapku dengan barang bukti yang berada dalam lemari ruang kerja.
Darah mudaku menggelegak saat tahu itu ulahnya. Aku bersumpah, sekeluar dari jeruji akan kubalas kebusukannya hingga tuntas.
Hari kebebasanku tiba bertepatan dengan pesta pernikahannya. Ia melolong saat usai pesta karena mendapati si pengantin memilih mengakhiri hidup—setelah kuhinakan dengan mencederai kehormatannya.
Dendam bergulir laksana bola salju yang menggelinding, kian besar dan menggulung apa saja. Hatiku remuk ketika ibu anakku memilih menjadi perisai untukku saat serangan si rambut kuning.
Hari ini kami bertemu karena cinta telah menyatukan bagian dari darah daging kami. Meski sesungguhnya dari dasar hati, aku tak bisa menerima. Berdamai, berdampingan dengan orang yang telah menumpahkan darah dalam keluargamu … ah, tak sesimpel pikiran anak-anak muda yang sedang jatuh cinta, walau tak terpungkiri ada rasa bangga melihat ketulusan mereka.
Hanya berdua, tak ada pengawal dan tanpa sepengetahuan siapa pun, pertemuan yang awalnya akan dihadiri seluruh keluarga, entah kenapa membuatku dan si rambut jagung membuat rencana berbeda sebagai pembuka.
Berjabat tangan, saling mengukir senyum yang terasa artifisial, dan dalam hitungan detik berubah jadi tarikan sinis, saling mengejek, lalu menjadi sumpah serapah. Entah siapa yang memulai, yang kutahu kami sama-sama terjatuh dengan tubuh bersimbah darah. Pisauku tepat menancap di jantungnya dan clurit dari balik punggungnya menebas leherku.
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan hingga kini masih menyukai dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata