Kerikil Tajam di Perempatan

Kerikil Tajam di Perempatan

Kerikil Tajam di Perempatan
Oleh: Arnosa

Mentari muncul begitu cepat. Hawa dingin yang menusuk kulit berganti pelukan hangatnya sinar mentari . Manusia hilir mudik mengadu nasib. Seperti biasa, setiap pagi berangkat kerja dengan motor kesayangan. Di tengah perjalanan, lampu merah memaksa tangan ini menekan handrem. Saat menunggu lampu berganti hijau, ada yang menarik mata ini melihat ke sebelah kiri.

Ada seorang perempuan, usianya menjelang senja. Wajahnya yang suram, memperlihatkan betapa kelam hidupnya. Bajunya berwarna hitam, dengan motif bunga mawar berwarna merah muda, berbanding terbalik dengan mendung di wajahnya.

Setiap ada kendaraan yang berhenti, wanita itu selalu menengadahkan tangannya ke pemilik kendaraan. Dengan wajah memelas, suaranya yang parau dan kulit tak lagi selembut kain sutra. Banyak yang bersimpati melihatnya. Entah memberi beberapa koin ratusan, selembar uang ribuan, bahkan beberapa lembar uang seribuan.

Lamunanku dibuyarkan oleh suara klakson dari kendaraan di belakangku. Lampu hijau yang sedari tadi sudah menyala seakan memarahiku. Kulajukan motor matik kesayangan, menyusuri padatnya jalan. Pikiran ini masih melayang. Begitu tegarnya hati wanita itu. Di mana laki-laki yang bernama suami begitu tega menyuruh istrinya memeras keringat.

Di kelas, suara anak yang riuh tak kuhiraukan. Konsentrasiku terpecah. Wanita itu, betapa kuatnya dia. Betapa kecilnya aku. Aku yang masih sering mengeluh dengan pekerjaan ini. Oh, ternyata aku perempuan yang rapuh. Bekerja di dalam ruangan, tanpa sengatan mentari. Lagi-lagi, kekagumanku akan sosok wanita paruh baya semakin besar.

Suara bel pulang kusambut dengan riang. Kuambil kunci, kulajukan motor seperti kecepatannya Valentino Rossi. Suara demo di perut ini yang tak bisa kutahan. Kuhentikan Vario ini di depan warung langgananku.

Aku duduk di kursi dekat kaca. Saat asyik dengan gawai yang aku pegang, mata ini dikejutkan dengan sesosok wanita yang pernah kulihat. Dia turun dari mobil mewah berwarna merah.

Whaat? Apa benar itu wanita yang tadi? Kugosok mata ini berkali-kali. Ya, masih melekat di ingatanku, wajahnya yang sendu, baju itu lengkap dengan coraknya, suaranya yang parau khas di telingaku. Bacaan istigfar, sampai bacaan taawuz pun keluar berkali-kali dari mulut ini. Seakan-akan melihat kuntilanak keluar di siang bolong. Wanita itu memesan makanan bak orang kaya, dua bungkus nasi daging.

Bungkusan kecil sudah ada di tangan. Aku keluar bersama wanita tadi. Kubuntuti mobil mewah itu. Jalanan yang padat tak kuhiraukan. Mobil itu masuk di dalam rumah yang terbilang tidak sederhana. Rumah lantai dua. Dua sejoli itu turun. Senyumnya melebar kala mengeluarkan recehan demi recehan, lembaran demi lembaran dari dalam kantong. Kantong itu, ya, kantong itu, kantong berwarna biru, yang sudah memperdaya rasa ibaku. Sumpah serapah mengalir deras dari mulut.

Bongkahan batu yang ada di depanku langsung kuambil. Aku ingin melempar batu ini tepat di wajah mereka. Tangan ini sudah berada di atas kepala. Siap melempar. Tetapi, segera kuhentikan. Aku tidak boleh berbuat seperti ini. Batu yang ada di genggaman tangan segera aku buang. Mesin motor kuhidupkan. Perut yang kosong sekarang sudah penuh. Penuh dengan kegetiran dan kekecewaan. Dunia oh dunia. Ternyata pandangan kita tidak selalu benar.(*)

Tentang Penulis:

Arina Novita Sari. Pada tanggal 9 Nopember 1986 dia dilahirkan dari seorang ibu yang sayang padanya. Karena kasih sayang dan bimbingan dari ibunya, sekarang dia bisa berhasil seperti sekarang. Dia menjadi seorang guru di SDN Mrican 4 Kota Kediri. Profesi menjadi guru sudah mandarah daging di tubuhnya. Ibunya yang seorang guru membuat dia bercita-cita menjadi seorang guru. Menulis sudah menjadi hobinya semenjak SD. Menjadi penulis hebat adalah salah satu tujuan hidupnya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply