Wanita yang Digantungi Kematian

Wanita yang Digantungi Kematian

Wanita yang Digantungi Kematian
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Syakira mengaku ia takut pada kematian. Itu dikatakannya saat berada di kelas delapan usai salat Zuhur berjemaah, ketika para gadis asyik membicarakan ketakutan masing-masing. Kala itu, beberapa orang memuji kedewasaan serta pikiran jangka panjang Syakira, sedangkan lainnya—diam-diam—tersenyum meremehkan. Dalam kondisi seperti ini, ada dua persepsi yang ditujukan orang pada Syakira. Pertama, mereka yang memahami bahwa Syakira adalah anak yang berbeda. Kedua, mereka yang menganggap Syakira aneh dan meremehkannya. Kematian adalah ketakutan paling wajar dan universal bagi manusia, barangkali itulah yang mereka pikirkan. Aku sendiri tidak berpikir banyak dan menjadi golongan pertama: Syakira punya pola pikir yang berbeda dibanding teman-teman sebayanya.

Namun, aku baru memahami ia takut pada kematian setelah ia menjadi korban selamat atas peristiwa tsunami Selat Sunda.

Kala itu, aku diminta untuk datang ke RS Puri Cinere, salah satu rumah sakit rujukan bagi para korban peristiwa nahas tersebut, sebagai salah satu tahap trauma healing. Ada banyak orang yang terduduk di ranjang rumah sakit dengan mata membola serta napas tersengal-sengal, tetapi Syakira punya permasalahan psikologis tersendiri: thanatophobia. Ia meraih tangan seorang perawat kuat-kuat, lantas menangis minta diselamatkan. Tubuhnya gemetaran hebat. Wajahnya pucat pasi. Ia terus-terusan meracau perihal burung gagak yang terlihat dari jendela lantai dua, tsunami susulan, serta infeksi yang bisa saja ia dapat akibat terapung selama empat jam di atas laut.

“Aku tidak mau mati, Suster … aku tidak mau mati.

Butuh waktu amat lama untuk meyakinkan Syakira bahwa ia telah aman, tidak ada indikasi tsunami susulan yang cukup besar hingga mencapai tempat tersebut. Ia baik-baik saja dan gagak itu bukan berarti apa-apa. Fakta bahwa kami adalah teman SMP merupakan faktor lain yang membuatnya manut dan bisa menghela napas—kendati ia cukup terkejut ketika pertama mengetahui kedatanganku.

Tidak ada interaksi lagi setelah itu. Aku melakukan pengecekan terhadap korban lain yang berpotensi mengalami trauma—ada seorang ibu yang bernasib seperti Syakira dan akhirnya menolak menyentuh air—sembari menunggu wanita berambut panjang itu tenang. Ia kembali meracau beberapa kali—bahkan nyaris pingsan ketika salah seorang perawat membicarakan korban meninggal yang telah ditemukan—sebelum akhirnya mau berbicara denganku tentang racun yang bercokol dalam dirinya.

“Aku sudah merasakannya sejak kecil,” ungkapnya dengan suara bergetar, “kadang, aku bangun di malam hari dengan dada sesak, membayangkan bila aku tidak ada esok nanti. Kadang, bila melihat kecelakaan, aku membayangkan ada di sana dan menjadi salah satu korban. Sering juga aku merasa mual bahkan ingin pingsan bila menghadiri sebuah pemakaman.”

Syakira berkata, semua bermula setelah ia dan teman-temannya mengalami kecelakaan dalam perjalanan karyawisata. Ia mendeskripsikannya sebagai waktu paling berisik karena mendengar teman-temannya menangis, mengeluh sakit, bahkan memanggil orangtua masing-masing. “Aku berpikir tentang kucingku yang belum sempat mandi; PR dan drama antarkelas yang belum selesai; ulang tahun yang tinggal menghitung minggu … bagaimana bila aku pergi dengan sekian tanggung jawab menggunung, kemudian dilupakan.”

Ia sedikit-banyak bisa mengatasinya, kendati lebih sering menghabiskan waktu di rumah serta beberapa kali mengalami insomnia. Namun, peristiwa itu datang begitu saja dan kembali mengacaukan kubah kecil yang dibangun susah payah. Dari ceritanya, aku bisa membayangkan ketakutan agung ketika Syakira terapung di tengah laut—langit memelukmu, tetapi tidak mengantarkanmu ke daratan—dengan mayat di kanan-kiri; kaki serta tangan menjadi dingin; air laut masuk silih berganti lewat mulut, hidung, serta telinga; membayangkan dirinya tidak pernah ditemukan hingga napas penghabisan. Bulu romaku meremang dan aku mengamini pernyataan tersiratnya: semua orang takut dilupakan, karena itu, bersamaan, mereka juga takut pada kematian.

Ini bukan lagi kasus trauma pascabencana, melainkan fobia yang memburuk karena alasan tertentu.

Kuputuskan untuk menangani kawan lamaku itu secara intensif. Kuanjurkan untuk selalu bercerita perihal ketakutannya serta berpikiran positif. Aku menyarankan agar ia menelepon bila merasa over-panic terhadap hal-hal tertentu atau menginap bila memang ia tidak dapat mengatasinya dengan baik—toh, di umur dua lima ini aku juga belum menikah. Kadang, itu membuatnya tenang … kadang juga tidak.

Aku memakluminya. Menangani penderita gangguan psikologis membutuhkan kesabaran serta ketelatenan ekstra. Itu hal biasa. Namun, perempuan yang bekerja di bagian marketing salah satu perusahaan ternama itu tampaknya telah jengah—ia mengaku nyaris kehabisan napas saat tidur lantaran bermimpi tenggelam berkali-kali.

Syakira ingin tidur nyenyak, hidup normal, dan melupakan gambaran laut lepas dengan orang mengapung di sana-sini … sampai lupa sebuah paradoks bahwa semakin banyak kau ingin melupakan, maka semakin banyak pula kau mengingatnya.

“Bolehkan aku menginap? Aku takut … aku mati sebelum melihat fajar.”

Jika dihitung, itu adalah kali keempat belas ia meminta menginap. Seperti biasa, aku mengiyakan, membiarkannya bercerita dengan aku sesekali memberikan saran. Memastikan ia terlelap tanpa alis berkerut, lantas baru beranjak tidur. Sebelum tidur, aku mengingat kembali semua pasienku, membiarkan rasa prihatin bertandang, lantas bertanya-tanya: Sanggupkah aku menyelamatkan mereka?

Aku ingat, di awal karier sebagai psikiater, seorang penderita bipolar datang. Ia berkata akan menikah, tetapi calon mertuanya tidak ingin mempunyai menantu seorang berkepribadian ganda (benar, ini yang ia katakan). Ia seorang perempuan dua puluh dua tahun dengan eyesmiles menawan dan kuupayakan yang terbaik agar ia sembuh. Sayangnya, hingga menjelang pernikahan mereka, kondisinya tidak juga membaik sehingga sang mertua membatalkan paksa pernikahan mereka.

Perempuan itu bunuh diri dua hari kemudian.

Itu adalah kematian pertamaku. Aku meminta maaf berulang kali pada Allah bahkan menyertakan namanya dalam doa setelah salat. Seorang teman sejawat menghibur, berkata bahwa itu bukan salahku, juga bukan salahnya. “Ia kalah melawan dirinya sendiri … dan itu tidak bisa disalahkan, Syifa.”

Aku merenung amat lama, lantas bangkit beberapa hari kemudian. Kupahami bahwa kematian adalah hal wajar di bidang kesehatan dan tidak ada yang dapat disalahkan bila memang kedua pihak telah melakukan usaha maksimal. Akan tetapi, sambil memandang tetes embun dari pepohonan depan rumah, aku bertekad untuk berusaha keras menyelamatkan mereka … serta mendoakan kesembuhan dan kesehatan mereka.

Pukul tiga dini hari, aku mengambil air wudu. Salat Tahajud. Berdoa untuk banyak hal, termasuk Syakira.

Usai salat Tahajud, kutemukan ia mematung di ambang pintu. Termangu.

“Apa banyak-banyak salat bisa menyembuhkan fobia seseorang?” tanyanya kemudian. Aku mendongak, melihat matanya yang kentara sayu. Lelah, barangkali. “Pak Jamal, guru agama kita, berkata bahwa Alquran adalah obat terbaik dan hanya kepada Allah-lah kita berpulang, berkeluh kesah. Jadi, apa karena itu aku tidak bisa lepas dari fobia ini? Apa itu karena aku bukan orang yang cukup beriman, Syifa?”

Syakira menggigit jemarinya, tanda tengah gelisah. “Kalau begitu, apakah jika aku mati, aku akan masuk neraka?”

Aku diam, khidmat mendengarkan penuturan Syakira.

Aku tahu, Syakira bukan berasal dari keluarga agamis. Ia belajar agama—mengaji, salat Duha, salat Tahajud—dari sekolah. Ia bahkan sempat absen saat pondok Ramadan kelas tujuh dengan dalih belum lancar membaca Iqro’. Kondisi tersebut bertahan sampai kelas delapan, sehingga Pak Jamal memintaku serta beberapa gadis lain untuk membantu Syakira. Ini berhasil dalam beberapa aspek tertentu, tetapi tidak cukup mampu mengubah kebiasaan Syakira sepenuhnya.

Bagi mayoritas orang, latar belakang itu pastilah menjadi alasan terbesar fobianya yang tidak kunjung sembuh, tetapi sebagai psikiater, aku tahu itu adalah pernyataan yang salah.

“Dulu, aku pernah merasa sangat, sangat, sangat sedih. Itu karena orangtuaku lebih menyetujui saya di Kedokteran Gigi ketimbang Psikologi. Klise memang, tetapi perintah orangtua adalah perintah Allah, ‘kan?” Aku menaruh mukena di lemari kayu, kemudian memandangnya. “Di sepertiga malam itu, kupejamkan mata, membayangkan Allah tengah memandang dan mendengarkanku. Aku anggap dunia berhenti hanya untuk mendengarkan ceritaku—bahwa inilah dunia milikku. Lalu, aku—memakai bahasa Arab, memang, tapi saat itu aku seolah berbicara pada Allah. Kuceritakan semua itu pada-Nya … dan sesekali aku pun memaki.”

Aku tersenyum lembut. “Itu membuat hatiku tenang selama beberapa waktu. Namun, begitu mengingat bahwa menuruti egoku sama saja menjauhkan rezeki serta membuatku menjadi anak durhaka, tiba-tiba saja semua menjadi melankolis.”

“Tapi kau bisa mengatasinya … bahkan menjadi seorang psikiater.”

“Ya, tapi poin pentingnya bukan itu,” sergahku cepat. “Aku tidak mengatakan bahwa agama merupakan obat mutlak atas fobia, depresi, atau gangguan psikologis lain. Tapi, ia bisa menjadi salah satu tiang serta jawaban atas keresahan kita. Kita beribadah untuk bercerita pada Tuhan, bukan sekedar menuntaskan kewajiban. Pikiran semacam itu sedikit-banyak membantu kita hidup, ‘kan?”

Syakira menahan napas.

“Lalu, untuk surga-neraka … aku bahkan tidak tahu harus berkata apa. Itu sudah kebijakan Allah … yang tidak bisa kita jangkau.”

Syakira mengikutiku yang duduk di karpet berwarna merah marun.

“Ada sebuah ayat di Alquran—aku tidak akan membaca ayatnya, juga tidak akan menyebutkan nama suratnya—yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan apa yang manusia usahakan. Dan, usaha tersebut pada dasarnya adalah untuk dirinya sendiri.” Aku melipat tangan, kembali tersenyum. “Kalau aku, daripada memikirkan cara mati serta bakal masuk mana, lebih memilih melakukan yang terbaik, yang kusukai, selama aku hidup.”

Karena hanya dengan melakukan segala hal semaksimal mungkin setiap waktunya, kita tidak akan merasa menyesal ketika akhirnya harus pergi.

Syakira mengernyitkan dahi, sedangkan aku lekas menambahkan, “Tapi, semua kembali pada tiap individu. Tiap orang punya mekanisme menghadapi ketakutan serta menyelesaikan masalah masing-masing. Itu semua tidak dapat dipaksakan,” Aku menghela napas, “tapi aku percaya bahwa semua orang pasti ingin bahagia … dan keputusan tersebut ada di tangan masing-masing kita.”

Aku menelan ludah, mengingat sang perempuan penderita bipolar.

“Kita memegang kontrol atas diri kita sendiri.”

Ada hening yang canggung sebelum Syakira membuka mulut, “Tapi aku bertarung dengan ketakutan ini bertahun-tahun … dan aku selalu kalah. Aku tidak berguna, saya bukan pengontrol atas diri saya sendiri.”

Aku meraih jemarinya. “Ini memang proses yang sangat panjang dan melelahkan, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Orang-orang pernah mengalami kekalahan dalam hidup mereka dan itu hal wajar. Justru, itu adalah kesempatan bagi kita untuk bangkit. Lagi dan lagi.”

Kala itu, aku melihat mata Syakira yang bercahaya amat terang.

Aku sendiri tidak yakin dapat melihat cahaya itu esok, esok, serta esok hari, tetapi itulah proses. Proses yang pelan tetapi bisa dilewati … dengan beberapa syarat, pasti.

“Langkah paling penting dalam menghadapi ketakutan adalah membuka hati … dan percaya bahwa diri kita bisa melakukannya.” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply