Kabar Pipit di Pucuk Harap

Kabar Pipit di Pucuk Harap

Kabar Pipit di Pucuk Harap
Oleh: Evamuzy

Angin subuh menggelitik kaki hingga membangunkan Nona. Menuruni anak tangga berbahan kayu, dengan pelan menuju tanah yang basah oleh embun. Masih dengan gaun berenda warna biru langit sepanjang mata kaki. Seperti biasa, hendak menemui angin, sekadar menyapa, atau terkadang pula berdansa.

Jari-jari kaki yang tak bertutup kain, berjinjit di atas tanah tempat tumbuh akar-akar bunga azalea. Nona tersenyum sendiri, lalu suara itu menghentak jantung. Suara yang selalu dia rindukan. Tak jauh, sekadar dua langkah dari belakang punggung.

“Ehem … kau ingin melihat fajar denganku, Nona?” tanya pria rupawan itu dengan kedua tangan disembunyikan di belakang badan.

“Tuan ….” Nona membalikkan badan, tersenyum melihat siapa yang datang. Meski dia tak datang dengan sebuket mawar atau lili, tetap saja ada bintang-bintang berkelip indah di hati.

“Fajar, Tuan? Mengapa tidak membawaku untuk melihat senja saja? Kudengar dari mereka kalau warna senja sangat indah,” kata Nona penuh semangat. “Dan mereka yang saling mencintai sering bersama-sama melihatnya.” Kali ini nada suaranya sengaja direndahkan. Tak besar nyali sampai Tuan harus mendengar.

“Nona, dengar! Gelap baru saja pulang dan kau berharap melihat senja? Itu masih sangat lama. Aku mengajakmu sekarang!”

“Nona hanya ingin membuktikan kata mereka. Tolong Tuan turunkan kembali nada suaranya.” Nona kecewa dengan sambutan kurang bersahabat Tuan.

“Nona …,” suaranya melembut, “warna fajar tak kalah rupawan, dan dia selalu berhasil memberikan harapan baru untuk sebuah luka.”

“Luka?”

“Iya. Nona akan membutuhkan itu suatu saat nanti.”

“Aku tak mengerti. Tuan bicara apa?”

“Lupakan! Kita akan berangkat sekarang. Nona boleh memegang ujung bajuku saat kesulitan menaiki bukit nanti. Apa kau paham, Nona? Kau siap sekarang?” Tuan bersiap-siap. Memberi kode agar Nona mengikutinya.

“Tunggu! Jika Nona akan terjatuh, bolehkah ulurkan tangan Tuan?”

“Pasti.”

***

Di atas rerumputan rendah yang basah, titik-titik embun masih betah menempati pucuknya. Menyaksikan sang Surya malu-malu memperlihatkan rona pada semesta. Dia masih menutup separuh wajah dengan kelambu serupa kapas putih terurai. Nona tersenyum manis dan terkejut saat ada tujuh selendang warna warni terlukis di wajah langit. Membentuk busur, tempat para bidadari siap meluncur ke bumi. Ya, begitu kata mereka.

“Lihat, Tuan! Ada pelangi. Bukankah ini terlalu pagi untuk mereka datang? Dan tidak habis hujan ‘kan sekarang?”

“Nona … dengarkan. Ternyata semesta pun mengerti, dengan siapa diriku saat ini. Dan pelangi itu bentuk lain dari rasa yang bergemuruh di hatiku, Nona. Untukmu ….” Tangan Tuan meraih jemari Nona dan menatapnya dalam.

Ah, sial! Nona berhasil dibuat terlena oleh konspirasi hati dan pikirannya. Mereka saling berjabat tangan dan membuat kesepakatan, sebuah khayalan.

“Pelukisnya bebas bermain dengan tujuh warna itu kapan saja, Nona,” jawab Tuan datar. Matanya tetap lurus ke depan. Tak acuh dengan sepasang mata yang sedang lekat memandang.

Nona bangun dari lamunan. Bagai kembali pulang dari ramai pasar malam, setelah di sana dipaksa turun dari komedi putar dengan tidak sopan. Si Penunggu Karcis menyebalkan!

Langkah kaki Nona mundur dari tempat berdiri Tuan. Merengut, menghentakkan kakinya menjauh dari sang Pria Rupawan.

Semakin jauh dari tempat Tuan menikmati lukisan alam, sepasang mata Nona terpesona oleh burung pipit kecil dengan jubah seukuran badan, berwarna warni indah coretan alam. Tepat di hadapannya, lincah berjengkat-jengkit di atas dahan rendah. Cantik.

Perlahan Nona semakin mendekati, diulurkan jemari lentik menggapai si burung pipit.

“Hai, Nona.”

“Hai, Cantik.”

“Nona sedih?”

“Tidak.”

“Nona kecewa?”

“Tidak.”

“Nona terluka?”

“Tidak. Mengapa kau tanya demikian, burung kecil yang cantik?”

“Aku melihat itu, Nona.”

“Kau sok tahu.”

“Apakah jika kusampaikan sebuah kabar, aku akan semakin terlihat sok tahu di depan Nona?”

“Apa itu?”

“Sungguh kau ingin mendengarnya, Nona?”

“Iya.”

“Nona …,” Raut wajah si Burung pipit mengubah sendu, “singgasana Tuan telah terisi seorang Ratu. Berhentilah menghidupkan namanya di hatimu. Pelan-pelan Itu hanya akan membuatmu serasa terbunuh.”

“Benar. Kau sok tahu!”

“Baiklah. Kita akan lihat. Mana yang akan kalah. Kabar dariku atau harapan milik Nona? Jika ternyata aku yang benar. Semoga fajar akan menyembuhkan lukamu. Sekarang, lihatlah! Nona semakin jauh saja, dia tak mencari keberadaanmu.” (*)

 

Evamuzy. Gadis penyuka dunia anak-anak dan es krim rasa cokelat.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata